"Ingin aku kembali ke Keluarga Casirim?"
Di trotoar depan pintu masuk sebuah restoran di Cankarta, Febrian Casirim mengenakan seragam pelayan pesan antar makanan berwarna kuning. Ekspresi wajahnya tampak dingin.
“Ya, Tuan sudah mengatakan. Asalkan Pak Febrian bersedia kembali ke Keluarga Casirim, maka semua aset triliunan Keluarga Casirim akan berada di bawah kendali Pak Febrian.” Seorang pria tua yang mengenakan jaket abu-abu itu berbicara dengan nada hormat di depan Febrian.
“Heh… aset triliunan?” Febrian menertawakan dirinya sendiri dan menghela napas dengan santai, “Kalian Keluarga Casirim ternyata benar-benar kaya.”
Seolah bisa merasakan sindiran dalam kata-kata Febrian, pria tua itu bertanya tanpa daya, "Pak Febrian, apakah Anda masih memikirkan kejadian tiga tahun lalu?"
Melihat Febrian tidak berbicara, Zainal Casirim, kepala pelayan Keluarga Casirim itu tersenyum pahit, "Pak Febrian, memang benar Tuan telah melakukan kesalahan tiga tahun lalu. Tetapi dalam tiga tahun terakhir ini, Tuan telah membayar harga yang cukup tinggi untuk hal itu. Mengapa Pak Febrian tidak bersedia memberikan sebuah kesempatan kepada Tuan?"
“Kesempatan?” Febrian mencibir. Ingin supaya dia memberikan kesempatan kepada Zunaidi Casirim, tetapi apakah Zunaidi pernah memberi kesempatan kepada Ibunya?
Febrian tidak akan pernah melupakan bagaimana Ibunya meninggal karena sakit tiga tahun lalu.
Keluarga Casirim memiliki aset triliunan, tetapi Zunaidi bahkan tidak mau mengelurakan dua miliar saja untuk pengobatan Ibunya. Bahkan Febrian menjadi seperti anjing yang berlutut di depannya dan memohon belas kasihan. Zunaidi sama sekali tidak tergerak, dan hanya menyaksikan Ibu Febrian meninggal karena sakit.
Sekarang, Zunaidi menginginkan sebuah kesempatan? Ah…
Febrian menggelengkan kepalanya dengan ekspresi mengejek.
"Apakah Pak Febrian bersedia menjadi staf pesan antar makanan seumur hidup?" Zainal mendesah dan bertanya ketika melihat Febrian yang sama sekali tidak tergerak. Dia tahu selama tiga tahun ini Febrian meninggalkan Keluarga Casirim, kehidupan yang dijalaninya benar-benar tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dia menjadi menantu Keluarga Antoro. Bukan hanya karena statusnya yang rendah, dia juga mengalami tekanan dari Keluarga Antoro. Kehidupannya sekarang sangat berbeda dengan kehidupannya dulu di Keluarga Casirim, bagaikan bumi dan langit.
“Lebih baik mengantarkan makanan daripada mati.” Kata Febrian sambil tersenyum ringan.
Ekspresi Zainal berubah, lalu dia berkata, "Pak Febrian, apa maksud perkataan Anda?"
“Tidak ada maksud apa-apa.” Febrian menggelengkan kepala, “Zainal, kamu bisa kembali dan memberitahu Zunaidi. Cepat atau lambat aku akan kembali ke Keluarga Casirim, tetapi jelas bukan karena aset triliunan itu!"
Zainal terkejut, lalu melihat bayangan punggung Febrian yang menjauh. Ekspresi kebingungan semakin tampak di wajahnya...
Di sepanjang jalan, hati Febrian dipenuhi kegalauan.
Sejak lahir, dia tinggal di Keluarga Casirim. Tetapi karena statusnya sebagai anak haram, dia tidak pernah diterima di sana. Bahkan pelayan Keluarga Casirim pun dapat memaki dan menghinanya.
Awalnya, Febrian mengira bahwa seumur hidupnya, dia akan menjadi belatung di Keluarga Casirim. Tetapi setelah Ibunya jatuh sakit tiga tahun yang lalu, barulah dia menyadari bahwa Keluarga Casirim bahkan tidak akan memberinya kesempatan untuk menjadi belatung!
Malam itu Ibunya sakit parah, dan Febrian berlutut di depan Keluarga Casirim bagaikan seekor anjing. Memohon belas kasihan mereka untuk menyelamatkan nyawa Ibunya, tetapi tidak ada seorangpun yang bersedia memberikan bantuan.
Ekspresi mereka semua sangat dingin.
Akhirnya sang Ibu meninggal.
Febrian putus asa. Semenjak saat itu, barulah dia menyadari bahwa dirinya dan Ibunya bahkan lebih rendah daripada semut di mata Keluarga Casirim!
Pada hari itu, Febrian meninggalkan Keluarga Casirim.
Pada hari itu, Febrian bersumpah bahwa suatu hari nanti dia pasti akan kembali ke Keluarga Casirim, dan menggunakan kekuatannya untuk membuat semua orang di Keluarga Casirim menyesal dan berlutut di depan makam Ibunya!
Tetapi bagaimanapun juga, itu hanyalah pemikiran orang muda yang sembrono. Akhirnya dia meninggalkan Keluarga Casirim. Hari kedua setelah tiba di Cankarta, Febrian dikejar dan akan dibunuh oleh sekelompok orang. Jika bukan karena Wahid Antoro yang menolongnya, pasti dia telah menjadi mayat.
Tanpa dipikirkan juga sudah tahu. Sekelompok orang yang akan membunuhnya itu tidak bisa dipisahkan dari Keluarga Casirim.
Febrian sangat rendah dan kecil bagaikan semut di hadapan keluarga besar itu.
Setelah menjadi menantu Keluarga Antoro, kehidupan Febrian berangsur-angsur menjadi tenang. Meskipun ribuan orang menertawakannya, tetapi dia tetaplah seorang manusia.
Namun, ketenangannya terusik kembali. Keluarga Casirim tiba-tiba mencarinya lagi.
Bahkan memintanya untuk kembali dan mewarisi aset triliunan Keluarga Casirim.
Generasi ketiga keluarga besar Casirim memiliki lebih dari seratus pria. Bagaimana mungkin warisan itu akan jatuh ke tangan seorang anak haram seperti dirinya.
Tidak diragukan lagi, ini pasti adalah rencana mereka.
Febrian yang dulu sangat rendah bagaikan anjing, hari ini bernilai triliunan.
Rencana ini tampak tidak masuk akal!
“Febrian!” Saat Febrian mengerutkan kening dan berpikir, seorang wanita cantik yang mengenakan gaun putih muncul di depannya. Wanita itu memiliki fitur wajah yang elok, tubuhnya yang tinggi dan ramping membuatnya tampak begitu anggun. Dia tampak begitu bersinar, sehingga membuat mata yang memandangnya menjadi cerah. Benar-benar kecantikan yang menakjubkan.
Wanita itu adalah istri Febrian, Marlina Antoro.
"Ada apa, Marlina?"
Saat melihat Marlina, wajah Febrian kembali penuh dengan senyuman. Tidak peduli apapun yang terjadi, asalkan Marlina ada di sana, suasana hatinya akan segera membaik tanpa alasan yang jelas.
Namun ekspresi Marlina tampak agak dingin. Dia hanya melirik Febrian dan berkata ringan, "Ayo ikut aku ke kuil. Upacara pemujaan leluhur akan segera dimulai."
“Pergi ke kuil?” Febrian membuka mulutnya. Dia baru ingat, kemarin Marlina berkata kepadanya bahwa hari ini adalah upacara pemujaan leluhur Keluarga Antoro. Semua orang di Keluarga Antoro harus mengikutinya upacara itu.
Hanya saja...
Febrian menundukkan kepala dan melihat seragam layanan pesan antar makanan berwarna kuning di tubuhnya, lalu merasa malu. Dia baru saja mengantarkan makanan, dan tadi Zainal juga mencarinya. Sehingga dia belum mengganti pakaiannya.
Untuk upacara pemujaan leluhur yang begitu sakral, dia tidak bisa mengenakan pakaian yang mencolok seperti itu.
“Marlina, bisakah kamu menungguku pulang dan berganti pakaian?” Febrian berkata dengan malu.
Marlina tampak kesal, "Apa yang kamu lakukan dari tadi! Bukankah kemarin aku sudah memberitahumu kalau hari ini ada upacara pemujaan leluhur?"
“Aku… aku lupa.” Febrian menundukkan kepala seperti anak kecil yang melakukan kesalahan.
"Ya sudah, tidak perlu ganti baju. Toh, tidak ada yang memperhatikanmu. Ayo langsung pergi saja, Kakek dan yang lainnya sudah menunggu." Marlina berkata dengan tidak sabar. Hatinya merasa sangat tidak puas terhadap Febrian. Bagaimana pria itu bisa melupakan hal yang begitu penting.
“Oke….” Febrian ingin mengatakan sesuatu, tetapi Marlina telah berbalik dan pergi. Akhirnya, dengan terpaksa dia segera mengikuti istrinya.
Keluarga Antoro adalah keluarga yang terkenal di kota Cankarta. Purnama Antoro adalah seorang pejabat penting di sepanjang sejarah pemerintahan. Sejak Purnama mendirikan Keluarga Antoro hingga saat ini, sejarahnya sudah lebih dari 2000 tahun.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir Keluarga Antoro telah mengalami penurunan dan tidak lagi memiliki kejayaan seperti sebelumnya, namun di Cankarta tidak ada seorangpun yang berani meremehkan Keluarga Antoro.
Upacara pemujaan leluhur tiga tahunan itu juga merupakan salah satu kegiatan terpenting Keluarga Antoro.
Setelah Febrian dan Marlina tiba di kuil, ternyata sudah ada banyak orang yang berdiri di sana.
Marlina menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju kuil leluhur, dan Febrian mengikutinya dari belakang. Tetapi ketika sampai di pintu gerbang, dia dihentikan oleh sebuah tangan besar.
“Tunggu! Febrian, mengapa kamu masuk?” Pemuda yang menghalangi Febrian bernama Habib Antoro, dia adalah kakak sepupu Marlina. Habib melipat tangan di dadanya dan menunjukkan ekspresi mengejek.
"Mendoakan leluhur." Febrian memandang Habib dengan bingung. Semua anggota Keluarga Antoro harus hadir pada upacara pemujaan leluhur. Karena dia sudah masuk ke dalam Keluarga Antoro, tentu saja dia bisa dianggap sebagai Keluarga Antoro.
“Mendoakan leluhur?” Habib mencibir, “Siapa yang kamu doakan? Di sini memang ada upacara pemujaan, tetapi untuk leluhur Keluarga Antoro. Jadi apa hubungannya denganmu?”
Maksud sebenarnya adalah bahwa Febrian adalah orang luar dan tidak layak untuk memasuki kuil leluhur Keluarga Antoro.
“Habib! Apa maksudmu?” Wajah cantik Marlina menjadi dingin.
Habib melirik Marlina dan berkata, "Tidak ada maksud apa-apa. Hanya saja, orang luar dan anjing tidak diperbolehkan masuk ke kuil leluhur Keluarga Antoro."
Jika kata-kata barusan hanyalah sindiran, maka kalimat orang luar dan anjing tidak diperbolehkan masuk adalah penghinaan secara terang-terangan.
Bagi Febrian itu tidak masalah. Dia bahkan pernah menerima penghinaan yang lebih kejam.
Sebaliknya, bukan demikian halnya dengan Marlina. Ekspresi di wajahnya terlihat buruk karena sangat marah. Bagaimanapun Febrian adalah suami sahnya!
"Febrian adalah suamiku, atas dasar apa kamu mengatakan dia adalah orang luar!"
"Suamimu? Hahaha." Seolah-olah mendengar lelucon besar, Habib tertawa dengan keras, "Marlina, apakah hati nuranimu yang berbicara. Apakah kamu benar-benar menganggap sampah ini sebagai suamimu? Kamu kira aku tidak tahu. Kalian telah menikah selama tiga tahun, tetapi sama sekali belum pernah tidur bersama."
Belum pernah tidur bersama setelah tiga tahun menikah?
Begitu mendengarnya, banyak anggota Keluarga Antoro di dalam kuil yang menunjukkan senyum penuh makna. Mereka memandang Febrian dengan tatapan mengejek, dan tidak mengerti betapa bodohnya Febrian. Selama tiga tahun dia telah bersama Marlina, seorang wanita yang sangat cantik. Tetapi sekalipun tidak pernah tidur bersama. Apakah sebenarnya masalah pria yang tidak berguna itu?
Wajah Marlina berubah. Memang dia dan Febrian telah menikah selama tiga tahun. Jangankan berhubungan seks, bahkan pria itu tidak pernah memegang tangannya. Awalnya, dia pikir hanya sedikit orang yang tahu tentang hal itu. Tetapi sekarang, tampaknya semua orang di Keluarga Antoro telah mengetahuinya.
“Marlina, kamu masuk duluan. Aku tiba-tiba ingat masih ada pesanan makanan yang belum kukirim.” Febrian memaksakan diri untuk tersenyum. Dia bisa menghadapi ejekan semua orang di Keluarga Antoro, tetapi dia tidak mau Marlina terlibat karenanya.
Melihat ekspresi Febrian yang berpura-pura acuh tak acuh, Marlina merasa sakit hati. Dia telah menikah selama tiga tahun. Meskipun di lubuk hatinya dia tidak pernah menganggap Febrian sebagai suaminya, tetapi Febrian memperlakukannya dengan sangat baik. Tidak peduli angin atau hujan, Febrian akan selalu tepat waktu mengantar dan menjemputnya bekerja. Bahkan saat dia marah, Febrian selalu menghadapinya dengan senyuman.
Di hadapan Marlina, pria ini seolah mati rasa. Dia tidak pernah marah, selalu menyesuaikan diri dengannya, bahkan selalu melindunginya...
Seiring berlalunya waktu, perasaan mungkin bisa timbul.
Lapisan kabut tiba-tiba muncul di mata indah Marlina. Mengapa kamu begitu baik padaku...
Febrian menarik napas dalam-dalam dan berbalik untuk pergi. Menyadari bahwa dia hanya akan dipermalukan jika terus berdiri di sini.
Tetapi begitu dia berbalik, terdengar suara tegas di belakangnya, "Dia masuk, aku masuk!"
Begitu suara itu terdengar, Febrian merasa tangannya digenggam erat oleh tangan kecil yang lembut itu.