PopNovel

Reading Books on PopNovel APP

Istri CEO Muda

Istri CEO Muda

Author:EKA DJ

Updating

Introduction
Hanna Saraswati memutuskan untuk menikah muda demi mewujudkan mimpinya. Dia meminta bantuan sahabatnya, Gibran Mahardika untuk mencarikan jodoh untuknya. Gibran terpaksa mengikhlaskan Hanna menikah dengan sepupunya. Laki-laki berusia 30 tahun, berwajah tampan, dan mapan. Brian Kendrick, seorang CEO muda yang sukses dalam karirnya. Namun, kehidupan percintaannya tidak sesukses karirnya. Hanna dan Ken membuat kesepakatan pernikahan. Hanna merasa seperti mimpi bisa melangsungkan pernikahan yang sangat megah. Pernikahan yang berhasil membungkam mulut tetangganya yang suka bergunjing tentang. Usai menikah, Hanna tinggal di rumah Ken. Mampukah Hanna menjalani kehidupan barunya sebagai Istri CEO Muda? ~Cover by Canva~
Show All▼
Chapter

Kesuksesan akan membungkam

mereka yang pernah merendahkan.

~Hanna Saraswati~

~•~

KRING... KRING... KRING....

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Hanna dan Gibran bergegas meninggalkan kelas menuju tempat parkir. Hanna seperti biasa selalu menumpang mobil Gibran karena jalan ke rumahnya searah dengan rumah Gibran.

Siang ini, Gibran mengajaknya mampir ke rumah makan cepat saji yang lokasinya tidak terlalu jauh dari sekolah mereka.

“Kamu, tunggu di sini! Aku aja yang pesan makan!” ujar Gibran.

Hanna hanya mengangguk dan membiarkan Gibran berlalu dari hadapannya.

Saat menunggu Gibran, tiba-tiba pikiran Hanna kembali pada kejadian tadi pagi. Saat Hanna hendak berangkat ke sekolah, tetangganya bergunjing tentangnya dan nasib buruk yang menimpanya.

“Percuma cantik dan berprestasi, jika nggak bisa lanjut kuliah. Pasti masa depannya suram. Lulus SMA kalau nggak jadi buruh pabrik ya pelayan restoran.”

Pergunjingan itu cukup menganggu pikiran Hanna. Hanna bertekad ingin membungkam mulut mereka dengan kesuksesannya.

BRAK....

Suara seseorang menggebrak meja membuyarkan lamunan Hanna.

“Kamu kenapa, Han?” tanya Gibran yang sudah duduk di hadapannya.

Hanna hanya menggelengkan kepalanya.

“Yuk, makan!” ajak Gibran sambil membagikan nasi ayam kentucky, kentang, dan milo yang berada di atas nampan.

Hanna segera menyantap makan siangnya hingga tandas. Tak ada perbincangan, keduanya fokus menikmati makan siangnya.

“Aku perhatikan ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Han. Ada apa?” tanya Gibran usai menandaskan makanan dan minuman miliknya.

Hanna hanya menggelengkan kepalanya, lalu meneguk milo miliknya.

Hening. Tak ada percakapan di antara keduanya. Gibran memerhatikan Hanna dengan seksama. Dia bisa melihat ada yang berbeda dengan sahabatnya. Wajah Hanna tampak lesu dan tatapan matanya seperti orang yang sedang bingung.

“Han, kamu mau nonton nggak?” ujar Gibran mencoba memecah keheningan. Hanna hanya menatap Gibran sesaat, lalu menunduk lagi.

“Aku traktir deh, Han!”

“Serius? Emang kita mau nonton apa?”

“Serius! Kamu mau nggak nonton Imperfect?” Hanna mengangguk setuju. Senyum sumringah terpancar di wajah Hanna.

“Oke. Aku traktir nonton Imperfect sekalian pop corn dan makan malam, tapi ada syaratnya, Han!”

“Apa?” tanya Hanna dengan nada lesu.

“Jangan ngaret! Kamu suka ngaret kalau diajak jalan. Setiap aku jemput pasti kamu belum siap-siap.” Gibran berpura-pura kesal dengan memanyunkan bibirnya.

Tawa Hanna meledak melihat ekspresi Gibran.

“Kamu nggak cocok manyun-manyun gitu! Kamu kira kamu keren?” Hanna meledek Gibran sambil tertawa puas.

“Fyi, aku emang keren! Lihat, berapa banyak cewek yang ngantri!”

“Yakin? Keren kok jomblo?” Hanna tidak bisa mengontrol tawanya, dia benar-benar puas bisa meledek sahabatnya.

“Kamu sendiri juga masih jomblo.” Gibran tidak mau kalah dan ikut meledek sahabatnya.

Mereka tertawa bersama menertawakan nasib mereka.

“Fyi, aku jomblo karena komitmen!” ujar Hanna.

“Sama.”

“Tapi, sekarang aku mau dong dikenalin sama teman kamu yang tajir, Bran!”

“Hah? Serius?” Hanna menganggukan kepalanya.

“Kamu sehat?” Gibran kembali bertanya sambil memegang dahi Hanna dengan tangannya.

“Sehat. Kamu kira aku sakit?” Gibran menganggukkan kepalanya.

“Aku serius, Bran! Kenalkan aku sama cowok tajir, dong! Nggak harus seumuran dengan kita! Pria berumur juga nggak masalah.”

“Serius? Emang, buat apa?”

“Mau aku ajak nikah!”

Pernyataan Hanna bagai petir di siang bolong yang tepat menyambar relung hati Gibran. Tubuh Gibran terasa lemas seiring dengan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Hah? Serius?” Hanna menganggukkan kepalanya.

Hening. Gibran berusaha menetralkan rasa nyeri yang bergemuruh di dalam dadanya.

“Gimana, Bran?”

“Kamu mau menikah muda?” Hanna menganggukkan kepalanya sambil memamerkan senyumnya.

“Kenapa tiba-tiba?”

“Aku ingin kuliah.”

“Kamu bisa ikut beasiswa, Han! Kenapa, kamu nggak berusaha dengan mendaftar beasiswa daripada memutuskan untuk menikah muda?” Hanna menggelengkan kepalanya.

“Beasiswa bisa menjamin kuliahku, tapi belum tentu akan menjamin hidupku!”

“Kenapa kamu jadi matre, Han? Kamu bukan seperti Hanna yang aku kenal selama ini.”

“Aku punya alasan yang belum bisa aku ceritakan sama kamu.”

“Jujur, aku kecewa!”

Mendengar pernyataan Gibran, Hanna juga merasa kecewa. Sahabat yang selama ini selalu menemaninya tidak mau membantunya.

“Kita pulang, yuk!” ajak Hanna sambil berdiri dan berjalan lebih dulu. Hanna meninggalkan Gibran di belakangnya.

Hanna memutuskan untuk berjalan kaki daripada masuk ke dalam mobil Gibran.

“Han, tunggu!” Hanna tidak mempedulikan panggilan Gibran. Dia terus berjalan tanpa melihat jalan.

“Hanna!” teriak Gibran yang melihat Hanna hampir ditabrak mobil sedan berwarna hitam.

Seorang laki-laki berusia 30 tahun turun dari mobilnya.

“Lain kali, hati-hati!” tegur laki-laki berjas hitam itu dengan nada dingin.

“Maaf,” ujar Hanna sambil menundukkan kepalanya karena takut.

“Oke.”

“Kamu baik-baik aja kan, Han?” tanya seseorang yang suaranya tidak asing bagi Hanna. Gibran.

“Iya.” Hanna menatap Gibran sambil menganggukkan kepalanya.

Hanna bersyukur, Gibran datang di waktu yang tepat.

“Loh, Kak Ken!” ujar Gibran begitu menyadari sepupunya Brian Kendrick yang nyaris menabrak Hanna.

“Cewek kamu?” Hanna segera menggelengkan kepalanya.

“Bukan, Kak. Dia sahabatku. Maaf, dia sedang ada masalah. Makanya kurang fokus.”

“Putus dari pacarnya?”

“Bukan. Dia ingin nikah muda, tapi nggak punya pasangan,” ujar Gibran sambil tertawa pelan. Tawanya seketika lenyap begitu melihat tatapan dingin sepupunya.

“Oh. Aku balik dulu, ya!” ujar Ken sebelum kembali ke mobilnya. Gibran menganggukkan kepalanya, lalu membiarkan sepupunya berlalu dari hadapannya.

Gibran mengajak Hanna masuk ke dalam mobilnya.

“Bran, itu tadi siapa?” tanya Hanna penasaran.

“Dia, kakak sepupuku.”

“Dia sudah menikah belum?” Gibran menggelengkan kepalanya.

“Dia punya pacar?”

“Nggak tahu sih kalau soal itu, kenapa?”

“Dia keren, tajir, dan kelihatan mapan. Kenalin aku sama kakak sepupu kamu, dong!” Gibran melirik sinis ke arah sahabatnya. Dia seperti melihat sosok Hanna yang berbeda dari biasanya.

“Kamu yakin?”

“Iya, kenapa?”

“Dia angkuh dan dingin.”

“Nggak masalah asal di mau sama aku! Eh, gimana dia bakalan mau sama aku kalau kamu nggak mau ngenalin aku ke dia,” gerutu Hanna berpura-pura kesal pada sahabatnya.

“Oke. Besok, aku tanya ke dia. Aku nggak janji ya bakalan ngenalin kamu ke dia!”

“Iya.”

“Tapi, aku perlu tahu alasan kamu yang lebih masuk akal memutuskan untuk menikah muda.”

“Iya. Aku janji bakalan cerita setelah siap.”

“Aku bakalan ngenalin kamu sama dia setelah mendengar cerita kamu!"

Hanna terdiam mendengar pernyataan Gibran.