Kenzie mendesah berat. Entah berapa kali lagi ia harus merutuki kebodohannya. Andai saja tadi ia lebih berhati-hati membersihkan meja, maka tidak mungkin segelas kopi itu tumpah lalu mengotori tumpukan berkas di sekitarnya.
Seharusnya bukan sesuatu yang rumit jika yang kotor adalah tumpukan kertas biasa. Kenzie bahkan baru mengetahui bahwa salah satu dari tumpukan kertas tersebut adalah proposal rapat.
"Kenzie, kamu dipanggil Pak Ang. Disuruh menghadap beliau ke ruangannya sekarang," ucap Dirga, atasan Kenzie di jajaran cleaning service.
"Baik, Pak," balas Kenzie diikuti embusan napas berat. Sudah mengerti kenapa sang direktur memanggilnya. Apalagi jika bukan menegurnya bahkan mungkin memecatnya atas insiden ketumpahan kopi.
"Nggak apa-apa, Ken. Tetap berpikir positif. Pak Ang nggak mungkin mecat kamu cuma gara-gara berkas yang ketumpahan kopi." Tampaknya Dirga memahami isi pikiran Kenzie.
"Seharusnya tidak akan sampai begitu, Dir. Masalahnya yang ketumpahan kopi bukan berkas biasa. Itu berkas isinya materi rapat."
"Udah, tetap berpikir positif. Materi itu masih bisa di-print ulang. Pak Ang pasti menyimpan salinannya."
"Ya, semoga saja."
Kenzie melangkahkan kakinya dengan ringkih. Hatinya berkecamuk antara takut dan khawatir. Jika akhirnya keputusan direktur adalah memecatnya, apa mau dikata. Memang sudah begitulah nasibnya. Namun, salahkah jika ia meminta satu kesempatan lagi? Pasalnya, hanya di sinilah ia bisa mendapatkan taraf hidup yang lebih layak. Kenzie juga punya dua orang lain yang harus diisi perutnya.
Bercampur perasaan gamang Kenzie mengantukkan sendi engsel jari-jarinya ke permukaan kayu bercat cokelat di hadapannya. Di sini degupan jantungnya kian kencang. Andai perlu digambarkan secara berlebihan, ini seperti sedang berada di depan pintu surga dan neraka. Jika sang direktur memberinya kesempatan, maka beruntunglah ia. Dan jika keputusannya adalah harus angkat kaki dari kantor ini, itu artinya mau tidak mau Kenzie harus mencari tempat mengadu nasib yang lain. Dan itu tidak akan mudah. Faktanya Kenzie tidak punya latar belakang pendidikan yang baik.
"Masuk!" Akhirnya sahutan itu mengaung juga pada ketukan Kenzie yang ketiga.
Secara perlahan Kenzie menekan gagang pintu. Begitu pintu tersebut didorong, terpampanglah ruangan yang setiap inchinya sangat teratur. Bahkan tumpukan berkas di meja benar-benar tertata rapi. Dari sini cukup membuktikan bahwa sosok yang menghuni ruangan ini bukanlah tipikal manusia sembrono.
Berapa banyak kali Kenzie menginjakkan kaki kemari, tidak pernah sekalipun sang direktur membalikkan badan. Maksudnya, beliau hanya memberikan punggung. Tampaknya pun bukan hanya terhadap Kenzie. Beberapa karyawan bawahan lain juga mengalami hal yang sama. Bisa dikatakan bahwa sang direktur hanya menampakkan wajahnya pada orang-orang tertentu saja. Mungkin hanya pada orang-orang yang punya jabatan terpandang.
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kemari?" Suara bariton dan selalu terkesan tegas. Kalimat ini cukup menggambarkan bagaimana nyaringnya oktaf yang tercetus dari mulut direktur.
"Maaf, Pak. Saya sungguh tidak sengaja menumpahkan kopi ke tumpukan dokumen yang ternyata satu di antaranya merupakan proposal rapat."
"Aku akan memaafkanmu, tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa, Pak?"
"Rujuklah denganku!"
Betapa Kenzie tercengang begitu laki-laki yang sejak tadi membelakanginya membalikkan badan. "Sakha?"
"Hello, ex!" sapa sang direktur.
Kenzie segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak mungkin Sakha—mantan suaminya—adalah orang yang memegang posisi direktur di perusahaan ini. Ya, masuk akal memang perusahaan ini bernama Ang Corp, tapi begitu banyak orang di dunia ini yang bermarga Ang. Lagi pula, Kenzie masih ingat jelas bahwa perusahaan milik keluarga Sakha tidak bernama Ang Corp.
"Kaget? Atau tidak percaya bahwa yang di hadapanmu sekarang adalah Sakha Ang? Seharusnya kamu tidak perlu sekaget itu. Bukankah nama perusahaan ini cukup menjelaskan siapa pemiliknya?"
"Tapi ..." Kenzie kembali menggeleng. "... kupikir hidupku sudah lebih baik. Ternyata sama saja. Maaf, aku lancang menunjukkan diriku di hadapanmu. Kamu tenang saja, begitu keluar dari ruangan ini aku akan segera membuat surat pengunduran diri."
Kenzie tidak lupa pada pertemuan terakhirnya dengan Sakha—di gedung pengadilan—laki-laki itu memberinya amaran untuk tidak lagi menunjukkan diri di hadapannya. Sakha sampai rela melemparkan cek senilai dua miliar demi supaya Kenzie tidak lagi muncul baik di hadapannya maupun keluarganya.
Kenzie tidak bisa dibeli dengan uang. Ia mengembalikan cek tersebut kepada Sakha. Ia pun tidak keberatan untuk tidak muncul lagi di hadapan Sakha dan keluarganya.
Sejak hari perceraian itu Kenzie memutuskan pindah kota. Selain menepati janjinya pada mantan suaminya, juga memulai kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada satu pun orang yang senang dengan perceraian. Lebih-lebih posisi Kenzie saat itu masih sangat mencintai Sakha. Terlepas bagaimana laki-laki itu memperlakukannya.
Ketika Sakha bermain api di depan Kenzie, Kenzie tidak masalah. Ia rela diselingkuhi asalkan terus bisa ada di samping Sakha. Namun siapa sangka, akhirnya Sakha justru menceraikannya.
Kenzie tidak mungkin lupa di mana ia berpijak sekarang. Ini masih di kota yang sama dengan saat ia memutuskan untuk pindah dari kota kelahiran sekaligus kota tempat ia dibesarkan. Seharusnya ia tidak bertemu Sakha di sini. Nahas, malah tidak terduga. Kenzie tidak sadar bahwa selama tiga tahun terakhir ini ia menggantungkan hidup di perusahaan milik mantan suaminya.
Rasanya tidak masuk akal jika Sakha sengaja mendirikan perusahaan. Lalu melemparkan koran berisi lowongan pekerjaan ke teras rumah kontrakan Kenzie. Di sana menawarkan posisi cleaning service. Kemudian seakan sudah diatur Sakha, tetapi tidak disadari Kenzie mereka justru bertemu di sini. Ini sungguh tidak masuk akal.
"Aku harus pindah ke kota lain. Kuharap ini menjadi pertemuan terakhir kita. Sungguh aku tidak tahu kalau ternyata selama ini telah menggantungkan hidup di perusahaanmu," tambah Kenzie setelah beberapa saat tidak ada balasan dari Sakha.
"Aku tidak menyuruhmu mengundurkan diri, apalagi sampai pindah kota. Aku hanya ingin mengajakmu rujuk. Kamu tidak sedang pura-pura tuli atau pura-pura bodoh, kan?"
Salahkah jika sekarang Kenzie mendaratkan tamparan ke wajah Sakha hanya untuk menyadarkan laki-laki tidak punya hati itu? Ia tidak mungkin lupa siapa yang menceraikan Kenzie lebih dari tiga tahun yang lalu. Lantas, sekarang Sakha tiba-tiba menampakkan diri dan dengan tanpa berperasaan meminta Kenzie kembali padanya. Sayangnya, sekalipun Kenzie memiliki kantong ajaib Doraemon, ia hanya ingin sebentar kembali ke masa lalu. Bukan untuk mengulangi lagi pernikahannya dengan Sakha dan membuat semuanya menjadi lebih baik. Melainkan untuk menghapus pernikahan itu. Kenzie menyesal pernah terikat dengan Sakha.
Kenzie menukikkan salah satu sudut bibirnya. "Maaf, Pak Sakha yang terhormat. Saya mengaku salah karena telah menumpahkan kopi ke tumpukan berkas di meja Anda. Namun, bukan berarti Anda bisa mengajak saya rujuk sesuka hati. Saya tidak lupa tiga tahun yang lalu Anda yang memutuskan ikatan pernikahan kita. Kita sudah tidak punya hubungan!" ucapnya tegas.
"Jangan begini, Ken. Waktu itu aku khilaf. Sekarang aku hanya ingin memulainya dengan cara yang lebih baik. Kita masih bisa rujuk, kan? Kita balik lagi kayak dulu."
"Kamu gila, Sakha! Lukaku sudah sembuh dan aku tidak akan membangunkan kembali luka itu. Sejak hakim mengetuk palunya sebanyak tiga kali, maka status kita telah menjadi mantan. Sejak tiga tahun yang lalu sampai selamanya kita nggak bisa mengubah status itu. Aku bersyukur akhirnya bisa terlepas darimu. Lihatlah! Bukankah aku tampak jauh lebih baik?"
"Ken, aku mencintaimu."
"Anggap saja aku tidak mendengarnya. Terima kasih untuk kebaikanmu selama ini. Aku pun tidak pernah menyangka akan bekerja di kantor milik mantan suamiku. Kamu tenang saja, begitu kakiku berlalu dari ruangan ini, tidak lama setelahnya surat pengunduran diriku akan menyusul."
Sakha bangkit dari duduknya, ia membawa kakinya beberapa langkah mendekati Kenzie. "Jangan pergi, Ken. Jangan mengundurkan diri. Tetaplah di sini. Aku janji tidak akan mengganggumu lagi."
"Apa aku bisa mempercayaimu? Bahkan saat pernikahan kita dulu kamu sanggup mengingkari janji yang sudah kamu ikrarkan. Lagi pula, kamu tidak punya hak untuk menahanku."
"Kalau kamu tidak bisa menerimaku lagi, setidaknya ikutlah denganku sehabis bekerja. Ibu sakit dan sangat merindukanmu."
"Kamu ambisi dan penuh tipu muslihat. Aku bisa melihat banyak rancangan licik di wajahmu!"
"Kenzie, aku serius. Ibu benaran sakit."
Kenzie tidak peduli bagaimana Sakha meraung supaya ia menuruti omongannya. Bagi Kenzie semua ucapan Sakha tidak lebih daripada omong kosong belaka. Bisa saja, kan, Sakha mengarang cerita dengan mengatakan ibunya sakit. Padahal, ia sedang berniat menjebak Kenzie. Tentu saja jebakan licik yang mampu membawa Kenzie ke ambang kehancuran.
Seharusnya Kenzie sadar pernikahan karena perjodohan mustahil berujung baik. Yang seperti itu hanya banyak berlaku di dunia fiktif. Nyatanya, keputusan Kenzie bersedia menikah dengan Sakha adalah keputusan terfatal sepanjang hidupnya. Dan Kenzie tidak akan membuat keputusan terfatal yang lain untuk kedua kali.
Sambil menutup pelan pintu ruangan Sakha, Kenzie memegangi dadanya. Di sana masih berdetak kencang. Ia harus mengakui baik dulu atau sekarang, cinta itu masih sama. Tidak berubah dan sepertinya akan tetap begitu.
"Aku benci kamu, Ken. Kenapa kamu selalu begitu bodoh? Kamu mencintai laki-laki yang jelas-jelas setiap kehadirannya hanya bisa membuatmu sakit," ucap Kenzie pada dirinya seraya memukul dadanya.
Air mata Kenzie mengucur, tetapi cepat ia hapus. Masih ada hal yang lebih penting daripada menangisi hatinya yang bodoh. Ya, ia harus segera membuat surat pengunduran diri. Cukuplah hari ini menjadi perjumpaan mereka yang terakhir. Karena jika Kenzie memilih bertahan, itu sama saja membangkitkan kembali luka lama.