PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Behind The Window

Behind The Window

Penulis:Yumna Shankara

Berlangsung

Pengantar
Cinta pertama seorang Giandra adalah ayahnya—laki-laki yang sudah menorehkan luka hingga membuat Gia tak mau lagi percaya cinta. Namun, di balik itu semua, ada yang masih Gia simpan di dalam lubuk hati yang paling dalam, perihal sebuah harapan, ‘semoga’ suatu saat nanti, masih ada laki-laki yang bisa mematahkan kepercayaannya saat ini dan membawanya pergi. Gia, perempuan yang sedang berjuang mencari cinta yang tidak ia percayai keberadaannya. Akankah orang yang tak percaya cinta bisa menemukan cinta?
Buka▼
Bab

Angin pagi menyelinap dari balik ventilasi, sesekali menyingkap poni seorang perempuan remaja berseragam putih abu-abu yang sedang duduk, termangu, memandang ke arah luar jendela bus yang ia tumpangi. Pada kaca jendela, masih tersisa beberapa tetesan bekas hujan pagi tadi yang ikut terekam oleh matanya.

Kini, dari balik jendela itu, samar-samar ia melihat dan membaca dengan cepat, ‘Jalan Merkurius’. Itu artinya, sebentar lagi, bus yang ia tumpangi akan sampai di halte yang ada di dekat sekolah. Giandra, mengalihkan pandangan dan melirik jam yang melingkar di tangan kanan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi lewat dua puluh delapan menit.

“Telat lagi deh gue,” gumam Giandra, pasrah.

Tidak lama setelah itu, bus pun berhenti. Giandra bergegas beranjak dari tempat duduk, menuruni bus dengan buru-buru.

Seraya berlari kecil di atas trotoar, Giandra memandang ke arah gerbang sekolah berwarna hitam yang berada di bawah gapura bertuliskan ‘SMA Sirius’. Gerbangnya sudah ditutup, tapi itu bukan pemandangan yang asing bagi Giandra.

Sesekali Giandra masih mengecek jam di tangan dan tanpa disangka-sangka, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menaikki sepeda, menyalip Giandra dari samping kanan dengan kencang. Putaran ban sepeda laki-laki itu menerobos genangan air yang akhirnya memberikan cipratan bekas air hujan yang sudah bercampuran dengan tanah di seragam Giandra.

“Woy!” Giandra reflek berhenti berlari dan langsung berteriak. Mata Giandra memelototi laki-laki yang memakai seragam yang sama dengan yang dipakai Giandra saat ini.

Alih-alih ikut berhenti, laki-laki itu pun malah tidak menggubris Giandra sama sekali. Dia terus berjalan menyeberang ke arah sekolah.

Giandra pun kembali memandangi seragamnya dan kini jadi sedikit kotor gara-gara si laki-laki tidak bertanggung jawab.

Sial!

***

Giandra terduduk pada anak tangga. Gara-gara terlambat, Giandra pun harus berlari keliling lapangan olahraga sepuluh kali. Kini keringat berucucuran membasahi wajahnya. Napas Giandra jadi terengah-engah. Lebih pendek dari seharusnya. Namun, ini bukan kali pertama, bagi Giandra, sudah biasa. Biasa saja.

Giandra merebahkan badan seraya memejamkan matanya. Lalu, tiba-tiba sorotan cahaya matahari yang menyilaukan matanya meskipun terpejam itu mendadak jadi hilang. Suasana berubah sedikit teduh.

Menyadari hal itu, Giandra pun langsung membuka matanya dan ia mendapati seorang laki-laki berdiri tidak terlalu jauh dari dia. Menutupi arah sinar matahari yang seharusnya ke arah wajah Giandra. Sesaat setelah itu, Giandra buru-buru beranjak bangun.

“Siapa lo?” tanya Giandra, ketus.

Laki-laki yang memunggungi Giandra itu membalikkan badan dan menyunggingkan senyum miring. Sementara Giandra masih belum mengenali.

“Nih,” kata laki-laki itu seraya menyodorkan sebuah minuman ‘susu yogurt’ beserta selembar pamflet.

Giandra mulai menebak. Seperti biasanya. Memang selalu ada, laki-laki berganti-ganti yang mengantarkan susu yogurt untuk Giandra ketika dia selesai berlari karena dihukum.

“Sebenarnya siapa sih yang nyuruh lo?” tanya Giandra setelah menerima sebotol susu yogurt berwarna putih. Ia meneguk hampir seluruhnya hanya dalam sekejap.

Laki-laki itu tidak langsung menjawab, dia duduk di sebelah Giandra.

“Bilang sama orang yang nyuruh lo, jadi cowok tuh yang gentle dong. Jangan kayak pecundang.”

“Kenapa begitu?”

“Ya kalau suka, datanglah langsung. Nampakin muka. Bukan malah nyuruh orang gonta-ganti buat nganterin minum buat gue. Dikira dengan begitu, gue bakal langsung jatuh cinta?”

“Sepertinya lo lupa ya sama gue?”

Giandra menoleh menatap laki-laki di sebelahnya dengan bingung. “Lupa? Kenal aja enggak.”

Laki-laki itu langsung menyodorkan tangan. Namun, alih-alih menyalami balik, Giandra memilih membuang muka. “Gue Saka.”

“Gue nggak—”

“Cowok yang tadi pagi lo teriakin,” lanjutnya memotong omongan Giandra terlebih dahulu.

Giandra pun langsung membelalakkan mata. Ia menoleh ke arah Saka dengan mata melotot.

Saka adalah laki-laki yang membawa sepeda tadi pagi, yang sudah menyebabkan kotor di seragam Giandra.

“Kurang ajar lo ya! Berani-beraninya lo muncul di hadapan gue!” Giandra langsung berdiri, memandang tajam ke arah Saka yang masih duduk-duduk dan terus senyum-senyum saja.

“Ya kan gue bukan pecundang,” jawab Saka asal.

Giandra mendengus kesal dan memilih untuk lekas beranjak pergi.

“Minuman yang udah lo habisin itu, sebagai tanda minta maaf gue!” teriak Saka.

Entah Giandra dengar atau tidak. Saka tetap tertawa. Giandra galak, tapi Saka jadi suka.

Saka pun hendak beranjak pergi juga. Namun, ternyata pamflet yang seharusnya diberikan kepada Giandra malah ditinggal begitu saja.

Untuk Giandra, sebuah tulisan yang ditulis menggunakan bolpoin di atas judul pamflet ‘Kos-kosan Putri Sederhana’.

***

“Nih.” Saka menyodorkan pamflet yang tertinggal.

Bukan, bukan kepada Giandra, melainkan pada sosok laki-laki yang Giandra maksud tadi. Laki-laki yang tidak pernah menunjukkan diri.

“Kenapa ini bisa ada di lo?”

Ini yang dimaksud adalah pamflet yang ditujukan untuk Giandra.

“Tadi, gue yang nganterin minum dan pamflet ini, sayangnya cewek yang lo suka itu meninggalkan pamflet ini sebelum pergi.”

“Kok lo yang nganterin? Bukannya gue—”

“Ya, lo nyuruh Cindy anak 10-4 kan?” sela Saka memotong omongan laki-laki yang bernama Januar.

“Iya.”

“Gue tadi enggak sengaja lihat dan mendengar obrolan kalian. Jadi, gue minta aja sama Cindy karena gue perlu kenalan sama Gi-a. Cindy itu temen sekelas gue. Gue kenal sama dia.”

Januar, laki-laki itu biasa dipanggil Janu. Ia pun menghela napas kecewa. Ia kembali melipat pamflet yang ingin ia berikan pada Giandra dan buru-buru beranjak pergi.

“Oi! Giandra nitip pesen buat lo!” teriak Saka, sebelum Nata berjalan terlalu jauh.

Janu yang mendengarnya pun langsung menghentikan langkah dan membalikkan badan. Ia kembali menghampiri Saka.

“Lo bilang apa?”

“Giandra nitip pesen buat lo.”

“Pesen buat gue?”

“Kata dia, Giandra nggak suka cowok pecundang yang nggak pernah berani menampakkan diri di depan dia. Jadi, sebaiknya lo berhenti sok perhatian dan peduli sama dia.”

Menyesal sudah kembali lagi, Nata melanjutkan pergi dengan jalan terburu-buru. Saka tersenyum tipis.

“Mulai hari ini, kita rival, bos. Lihat saja siapa yang akan menang. Gue atau lo,” ucap Saka meskipun Janu sudah tidak mendengar apa yang dia katakan itu.

***