PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Karma Cinta

Karma Cinta

Penulis:Mami Ge

Berlangsung

Pengantar
Ketidaksetiaan Freya pada Rafa yang sangat mencintainya, membuahkan karma baginya. Gadis angkuh yang menggilai harta karena kesulitan masa kecil itu terpaksa menanggung penderitaan seorang diri. Suci, bayi kecil malang itu adalah alasannya bertahan. Hingga akhirnya, seseorang datang dalam kehidupannya dan mengajarkannya arti sebuah kesetiaan cinta.
Buka▼
Bab

Pesta berlangsung hingga malam mulai larut. Satu per satu tamu undangan mulai undur diri. Aku lihat kedua mertuaku juga sudah sangat lelah. Tak ada bedanya dengan mama.

"Kamu capek, Sayang?" tanya Rafa seperti mengerti apa yang sedang ada dalam pikiranku.

"Banget," jawabku memelas, mengundang belas kasihan darinya.

"Nanti mandi air hangat, ya. Setelah itu aku bantu pijitkan."

Mataku mendelik, mendengar perkataannya. Apa dia mau memijitku? Bukankah selama ini dia sama sekali tak ingin menyentuhku? Oh iya, dia sudah sah menjadi suamiku. Tubuhku sudah halal baginya.

Aku ingat bulan lalu, dia menolakku mentah-mentah. Padahal aku sudah siap untuk menyerahkan semua yang laki-laki inginkan. Rafa itu terlalu polos, dia tak ingin mengambilnya sebelum sah memiliki.

"Tidur aja, deh," jawabku malas.

"Tidur? Apa kita gak ...?" Dia menatapku dalam. Aku mengerti ke mana arah pembicaraannya.

"Kita tunda dulu, ya. Hari ini sangat melelahkan." Aku palingkan wajah, malas melihat wajahnya yang seperti anak kecil minta mainan.

"Sayang, kata orang gak boleh ditunda-tunda. Aku janji, gak bikin kamu capek." Dia mengacungkan jari kelingking ke hadapanku.

Tidak capek bagaimana? Kegiatan itu sudah jelas menguras tenaga dan adrenalin memuncak. Pasti akan lelah setelahnya. Dia pikir aku tidak pernah merasakannya. Memang seperti dia yang dapat dipastikan belum pernah mencicipi wanita.

Rafandra memang terlahir dan dibesarkan di keluarga baik-baik. Meskipun bergelimang harta, dia bukan CEO nakal yang suka bermain wanita. Bahkan, aku saja tidak pernah merasakan bibirnya.

Apa yang harus aku lakukan? Laki-laki yang baru saja menikahiku ini, meminta haknya malam ini.

Namaku Freya Auristela. Artinya, sesuai dengan doa dan harapan mama untukku, menjadi dewi cinta dan kecantikan yang bagaikan bintang dan emas berkilauan. Aku bangga menceritakannya pada semua orang.

Baru saja aku menjadi sorotan banyak orang. Tatapan kagum mereka akan kecantikanku tak putus menghujani. Beberapa kali telingaku mendengar sendiri decak kagum para tamu yang hadir. Ah, kebahagiaanku sempurna hari ini.

Tambah lagi laki-laki yang bersanding denganku. Siapa yang tidak mengenal Rafandra Arthapati? Anak pengusaha besar dalam negeri yang merajai banyak bisnis, mulai dari properti, perhotelan hingga fashion. Lebih mengagumkan lagi, dia adalah pewaris terbesar karena merupakan satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara.

Aku tahu, banyak wanita yang iri melihatku. Bisa menjadi Nyonya Rafa dengan segala kemewahannya. Tidak sedikit yang menginginkan posisiku ini.

Rafa sebenarnya memiliki wajah yang tampan. Hidungnya mancung dan berkulit putih, ditambah lagi rambut model quiff yang berisi di atas menyamarkan pipinya yang chubby. Semua menutupi postur tubuhnya yang melebar ke samping. Yang pasti, tidak memperburuk keturunan, meski dia bukanlah tipeku.

Aku tahu para wanita lain juga berpikiran sama. Yang mereka lihat adalah apa yang dimiliki Rafa. Apalah artinya fisik rupawan jika kantong kosong. Ya, aku harus mengubah sudut pandang demi kebahagiaan di masa depan.

"Sayang, kamu bahagia?" tanya Rafa saat kami masih bersanding di hadapan para tamu. Tiba-tiba, dia memasukkan jemariku dalam genggamannya. Kebahagiaan jelas terpancar dari senyumnya.

"Bahagia," jawabku, mencondongkan wajah ke telinganya. Lalu menariknya kembali dan tersenyum di hadapannya.

Tentu saja aku bahagia. Aku telah melepas status miskin yang selama ini mengikuti. Sejak dulu, predikat itu yang menyelubungiku hingga sering menjadi bahan ejekan.

Pernah aku diejek karena memakai sepatu yang sudah menganga.

"Kasih makan sepatu kamu, Frey," cemooh salah seorang teman ketika itu, disambut gelak tawa yang lain.

Mukaku memerah seperti kepiting dalam rebusan. Malu sekali karena tidak mampu membeli yang baru. Bagaimana punya sepatu baru, untuk makan saja kami harus berutang di warung sebelah rumah. Setiap kali mengutang, aku harus siap menerima ceramah pemilik warung yang terkadang sangat menyakitkan.

Bahkan saat sudah kerja pun, aku masih menyandang status itu. Minggu terakhir setiap bulannya, aku harus berutang meski sudah berhemat di tiga minggu sebelumnya. Gajiku tidak cukup karena harus berbagi dengan mama. Untung saja, dapat kosmetik gratis, jadi dapat mengurangi pengeluaran.

Sekarang kami sudah berada di kamar hotel milik keluarganya. Sengaja didekor sebagai tempat kami menghabiskan malam pertama. Tapi sungguh, aku tak ingin melakukannya malam ini.

"Tapi, aku benar-benar capek. Kamu mau aku sakit karena kelelahan."

Kalimat pamungkas sudah kulepas. Rafa tak sanggup lagi beradu soal denganku. Dia tidak lagi menuntutku untuk menuntaskan malam pertama kami. Semoga saja tidak.

Aku pergi membersihkan diri. Riasan dan baju pengantin super mewah dan mahal ini, harus segera kusingkirkan dari tubuhku yang lelah.

"Sini aku bantu!" Tiba-tiba aku merasakan ada jemari menyentuh punggung bagian atasku.

Tangan itu bergerak ke bawah, seiring dengan resleting yang menurun, mengangakan gaun pengantin yang kupakai.

"Kamu keluar dulu, aku mau buka baju!" perintahku setelah menjauh darinya.

"Sayang, aku kan suamimu. Tak ada yang melarang jika aku melihatmu tanpa sehelai benang sekalipun," protes Rafa tetap dengan lembut.

"Terserah, deh. Asal bisa tahan saja nanti. Aku tidak akan memberikanmu malam ini."

Dengan kesal, aku melorotkan gaunku yang berat, menyisakan penutup bagian penting. Segera kuraih handuk dan berlalu meninggalkannya ke kamar mandi. Dasar laki-laki, aku melihat dia menelan ludah.

Untung saja dia patuh, dia menungguku selesai, baru gantian mandi. Sembari dia di kamar mandi, kurebahkan tubuh di ranjang, berharap segera terlelap.

Tiba-tiba aku merasakan tangan dingin membelai betisku. Tangan itu bergerak perlahan ke atas, masuk ke dalam melewati kaki piyamaku. Aku yang sedang tidur dengan posisi miring, terpaksa menelentang untuk melihat siapa gerangan.

"Rafa," bisikku di sela-sela rasa geli yang meyeruak kulitku.

"Sebentar saja, ya Sayang," pintanya memelas.

"Rafa, jangan dulu, ya," rengekku manja.

"Kamu takut sakit, ya Sayang. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu. Aku akan bergerak pelan sampai kamu siap." Dari wajahnya sudah dapat kulihat keinginan yang tak terbendung lagi.

Tapi, aku belum siap, tepatnya belum siap dengan alasanku. Aku takut merusak malam pertama ini. Bagaimana aku menjelaskan padanya bahwa aku tidak akan merasakan sakit lagi saat dia masuk ke dalamku? Bagaimana aku menjelaskan padanya bahwa sudah ada yang lebih dulu masuk sebelum dia? Dia, mantan kekasihku yang kutinggalkan setelah memutuskan untuk menerima lamaran Rafa.

Apa yang harus aku lakukan?

"Rafa, jangan dulu, ya," tolakku setengah merengek.

"Sayang, aku mencintaimu."

Wajahnya sudah sejajar dengan wajahku. Jari-jarinya yang berisi menari di pipi. Tatapannya menembus lensa mataku, mengantarkan hasrat yang selama ini dipendamnya terhadapku.

Aku merasakan bobotnya yang besar menekanku tubuhku yang ramping. Padahal, aku sudah memintanya untuk diet dan olahraga menjelang pernikahan. Sama sekali tak ada perubahan. Dia persis seperti lumba-lumba yang terdampar di daratan.

"Kamu akan menerimaku apa adanya?" Aku memberi peringatan dini padanya.

Dia terdiam sejenak, menghentikan aktivitas tangannya yang mulai membelai wajah dan rambutku. "Maksudmu?" Sepertinya dia merasakan sesuatu yang aneh dari pertanyaan yang baru saja kulontarkan.