PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Terjerat Cinta Sang Direktur

Terjerat Cinta Sang Direktur

Penulis:Erisna Aisyah

Berlangsung

Pengantar
Felisha Dewi, seorang office girl yang dipaksa untuk menikahi sang direktur, Angga Hadi Prawira. Semua berawal dari kejadian yang mengingatkan Angga pada masa lalunya, hingga akhirnya timbul rasa kasihan dan ingin memiliki. Ditambah dengan desakan dari ibunya agar cepat menikah, akhirnya dia memilih untuk menikahi Felisha, seorang gadis belia yang terbilang lugu. Bagaimana jadinya, jika sebuah lamaran terucap setelah Angga berhasil merebut ciuman pertama dari seorang Felisha? Bukan. Bukan sebuah lamaran pada umumnya yang terbilang romantis dan semacamnya, melainkan layaknya sebuah perintah dari seorang direktur pada bawahannya. Akankah hidup Felisha berjalan dengan lancar dan bahagia seperti pernikahan apa umumnya, atau justru menderita karena tak bisa meluluhkan hati orang-orang di sekitar suaminya? Dan ... akankah dia bisa menerima kenyataan yang sebenarnya, tentang sebuah rahasia besar yang disembunyikan oleh sang suami? Ikuti terus kisah selengkapnya. Jangan lupa dukung penulis dengan memberikan review, hadiah, follow dan masukkan karyanya ke dalam tab favorit! Terima kasih.
Buka▼
Bab

"Fel, dipanggil sama Sekertaris Anna!" Dinda mendekat sambil membawa sapu lantai.

Kegiatan di jam-jam kerja seperti ini memang sangat menyibukkan. Apalagi bagi Felisha, Office Girl yang baru masuk sepekan ini. Kerjanya lebih berat daripada yang sudah senior, karena kebanyakan mereka menumpukkan pekerjaannya pada pendatang baru.

Felisha segera menghentikan aktifitasnya mengelap kaca, "Ada apa, Kak?" tanyanya, pada seniornya itu.

"Nggak tahu, tapi kayaknya penting. Dia lagi di dapur sekarang," ujar Dinda, menjelaskan.

Felisha pun segera pergi setelah pamit pada Dinda, menuju dapur kantor yang memang tidak terlalu jauh dari tempatnya mengelap kaca tadi. Berjalan melewati tiga ruangan yang merupakan ruangan tempat para karyawan bekerja.

Sesekali, dia sedikit melongok ke dalam ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Dalam hati terbayang, bahwa dirinyalah yang tengah duduk di sana, di balik laptop dan berkas yang menggunung.

'Kapan ya, aku bisa seperti mereka?' batinnya terus bertanya-tanya, penuh dengan harapan.

Sampai di dapur, dia disambut oleh aroma kopi yang menyeruak di seluruh penjuru ruangan.

"Kamu, OG yang baru?" tanya Sekertaris Anna, wanita yang memiliki tubuh tinggi ideal dan juga sangat elegan.

Felisha sendiri sempat terpana, tetapi segera mengusai diri, saat secangkir kopi itu disodorkan ke arahnya.

"Benar, Bu," jawabnya, sambil mengangguk.

"Tolong bawakan kopi ini ke ruang Direktur di lantai sebelas. Saya ada perlu, tadi sudah izin sama Pak Direktur," ujarnya, sambil menyerahkan secangkir kopi.

Felisha pun mengangguk.

"Baik, Bu." Kemudian segera berlalu, setelah melihat Sekertaris Anna pergi meninggalkan dapur.

'Ruang sebelas. Ya, aku harus bersikap sebaik mungkin, karena ini pertama kalinya aku bertemu Pak Direktur. 

Seperti apa ya, orangnya? Apakah seorang bapak-bapak yang mempunyai kumis tebal dan memiliki tatapan garang? Apa mungkin seorang lelaki tua yang rambutnya sebagian putih dan berwibawa. Atau mungkin, lelaki tampan yang cool dan penuh pesona?

Aaa ... membayangkan yang nomor tiga, kok jadi deg-degan, ya?'

Dalam perjalanan, Felisha terus saja berkhayal. Membayangkan berbagai hal yang menggelikan tentang atasannya itu.

Lift berdenting dan terbuka, dia segera keluar dan berjalan mencari-cari dimana ruang direktur.

"Permisi, Mbak, ruang direktur sebelah mana, ya?" tanyanya, saat berpapasan dengan salah satu karyawan.

"Dari sini lurus, belok kanan, lurus lagi, nah diujung sana ruangan yang paling besar, ada papan nama di atasnya." Karyawan itu menjelaskan.

"Ooh ... terima kasih, Mbak, makin cantik, deh!" godanya, kemudian ditanggapi senyuman oleh karyawan itu.

'Ada-ada saja ini OG!' batin karyawan itu, kepalanya sempat menggeleng menyadari betapa konyolnya OG tadi.

Felisha berjalan, mengikuti petunjuk yang diberikan karyawan itu. Terlihat, ada empat ruangan berhadap-hadapan. Dia pun mendongak ke atas setiap pintu, mencari papan nama bertuliskan Ruang Direktur.

'Nah, itu dia!' Dia berseru dalam hati, setelah mendapati ruangan yang ia tuju.

Hati-hati dia mengetuk pintu, tapi tidak ada sahutan dari dalam. Mengetuk lagi, tapi masih sama. Ia pun berinisiatif untuk menarik handel pintu.

'Hhmm, tidak dikunci. Masuk aja kali, ya? Tapi, nanti kalau aku dimarahin gimana, masuk ruangan tanpa izin? Ntar aku dipecat lagi. Hhmmh, tapi kopi ini .... Ya udah deh, masuk aja. Cuma nganterin kopi doang, 'kan?'

Setelah berpikir keras dan berdebat dengan sisi hati yang lain, serta telah menimbangnya dengan mantap, ia pun akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan itu.

Membuka pintu dengan hati-hati dan perlahan. Sebelum kakinya benar-benar melewati pintu, ia pun berinisiatif menggunakan kepalanya untuk masuk lebih dulu mengecek ruangan.

Menengok ke kiri, tidak ada orang, yang ada hanya sebuah rak buku yang tertata dengan rapi. Beralih ke depan, tidak ada orang juga. Hanya sebuah meja yang lumayan besar, berisi berkas-berkas yang menumpuk, satu kursi di belakang meja itu dan dua kursi terletak di depannya. Bisa dipastikan, kalau itu adalah meja kerja atasannya. Kemudian dia alihkan lagi pandangannya ke sebelah kanan, dan ....

"Whuaaaa!" Dia menjerit sekeras mungkin, kamudian segera menutup pintu itu dengan kasar, karena sangkin terkejutnya.

"Maafkan saya, Pak, maafkan saya! Saya tidak melihatnya, beneran! Suer deh, saya nggak lihat tadi! Jangan pecat saya, Pak! Saya mohon, jangan pecat saya!" Dia terus berseru di balik pintu, memohon agar tidak terkena masalah karena kecerobohannya tadi.

Sedangkan yang berada di dalam ruangan, segera menghentikan aktivitasnya.

"Sial! Ganggu aja itu orang, mau aku pecat ya!" Dia terus mengumpat, sambil merapikan pakaiannya.

"Sudahlah sayang, jangan marah-marah gitu. Ini salah aku juga kok, yang tadi nggak langsung ngunci pintu." Satunya lagi menasehati, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Di luar ruangan, Felisha terlihat begitu pucat. Jantungnya terus berdegup kencang, bercampur antara kaget dan takut.

Memorinya terus berputar, mereka ulang adegan yang baru saja ia lihat tadi. Seketika, keringat dingin mulai bermunculan. Ada rasa bersalah di dalam hati.

'Hhuuaaa, mata perawanku sudah ternoda ... hiks!' ratapnya.

Kemudian kembali bergumam, "Lagian ngapain sih, mereka ngelakuin kayak gitu di kantor. Waktunya jam kerja lagi, mending kalau pintunya dikunci. Nah, ini? Iya sih, mungkin karena dia bosnya, jadi bebas mau ngelakuin apa saja ...."

Belum selesai dia bergumam, tiba-tiba pintunya terbuka.

"Ngomong apa kamu barusan?" Suara berat itu sukses membuatnya mengatupkan bibir. Matanya membelalak sempurna, tubuhnya kembali bergetar hebat.

"Ma-maafkan sa-saya, Pak. Sa-saya ti-tidak sengaja," ucapnya terbata, sambil menunduk.

"Apa kamu tidak tahu caranya mengetuk pintu?" Suara baritonnya benar-benar membuat Felisha merinding, apalagi dengan penekanannya.

"Ta-tapi sa-saya sudah me-mengetuknya t-tadi," ia membela diri.

"Alasan!" Suaranya mulai meninggi, Felisha menjadi semakin takut.

Ingin rasanya dia segera berlari, tapi teringat keluarganya di rumah, ia urungkan lagi niatnya.

'Biarlah aku dibentak-bentak seperti ini, asalkan aku tidak dipecat. Kalau sampai aku dipecat, aku mau kerja di mana lagi, dan adik-adikku mau makan apa?' batinnya terus menguatkan.

Beberapa detik kemudian, muncul seorang wanita dari balik pintu.

"Sayang ... udah dong, jangan marah terus. Nanti gantengnya ilang, loh," ucapnya, terdengar manja, sambil tangannya menggamit lengan lelaki itu.

Felisha mengembuskan napasnya, merasa sedikit tertolong.

Lelaki itu menoleh. "Kamu sudah mau pulang?" tanyanya, dibuat selembut mungkin.

"Iya, Sayang, hari ini ada jadwal pemotretan," jawabnya, kemudian mengecup mesra pipi lelaki itu.

'Ck! Kenapa mereka malah melakukannya lagi di depanku, sih?!' batin Felisha berdecak, setelah ia mengalihkan pandangannya.

Wajah lelaki itu terlihat kesal, tapi mengizinkannya untuk pergi.

"Mau aku antar?" tanyanya.

"Nggak usah, aku bisa naik taksi. Kamu masih banyak pekerjaan, 'kan?" tanya wanita itu, sambil melirik Felisha.

"Ya udah, kamu hati-hati ya! Kalau ada apa-apa, kabari aku!" Kemudian sebuah kecupan mendarat di kening wanita itu.

Falisha hanya menelan ludah, melihat adegan itu. Baginya, diusianya yang masih belia itu, ia belum pantas menyaksikan hal-hal yang seperti itu. Tapi apa daya, kalau memang tidak disengaja.

Setelah wanita itu melangkah cukup jauh, terasa hawa horor itu tengah mengintainya.

"Kamu, ikut saya!" Kali ini terdengar seperti suara harimau yang melihat mangsanya.

Felisha menelan ludah dengan susah payah.

'Emak, tolongin Feli ... hiks!' batinnya menjerit.

***EA***

Next