PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Ellene

Ellene

Penulis:Arra Febrina

Berlangsung

Pengantar
Ellene merupakan putri marquess yang mati secara tidak adil karena keluarganya difitnah sebagai pengkhianat. Seorang peri memberikan kesempatan padanya untuk kembali ke masa lalu untuk mengubah takdirnya. Sesuai janji peri tersebut, Ellene berhasil kembali ke masa lalu. Ellene berusaha membalaskan dendamnya dan mencari tahu masalah apa yang sebenarnya menimpa keluarganya sehingga difitnah sebagai pengkhianat kerajaan.
Buka▼
Bab

“Amanda…” --Siapa?

“Lembut lunglai, itulah dirimu.” --Kamu siapa?

“Meski seribu tahun lagi. Aku hanya akan mengingat dan mencintaimu.” --Makanya, kamu siapa…?

“Walaupun kamu mati dan hidup lagi sebagai orang lain. Aku akan langsung mengenalimu.” --Kenapa nada bicaramu sedih sekali?

“Makanya dari itu Amanda…” –Siapa itu Amanda?- “Tolong jangan lupakan aku…” --Tidak! Jangan pergi!

“Nona! Nona Ellene!” Seruan dari kepala pelayan memekakkan telinga hingga membuat nona muda yang sedang tertidur lelap tersebut membuka matanya perlahan-lahan.

Keringat dingin dan napas yang terengah-engah tertangkap jelas di setiap indera pendengaran orang-orang di sekitar situ. Para pelayan saling bertatapan pandang satu sama lain, mencemaskan nona muda yang meraung-raung dalam tidurnya beberapa menit lalu. Kepala pelayan melirik tajam bawahannya yang berada tepat di belakang dirinya.

“Apalagi yang kalian tunggu?! Cepat layani nona!” Perintah kepala pelayan membuat beberapa pelayan terkejut dan buru-buru menghampiri majikan mereka yang terbaring di ranjang. Sebelum sempat melaksanakan perintah tersebut, tangan putih, indah dan mulus milik sang nona terangkat. Pergerakan tersebut secara tidak langsung menandakan agar para pelayan untuk tidak melaksanakan perintah kepala pelayan. Ellene Della Ryvero, majikan mereka, bangun secara perlahan. Ellene menatap kepala pelayan sembari bertanya “Barney, tanggal, hari dan tahun berapa sekarang?” tanya Ellene langsung pada intinya.

Tanpa membantah, Barney, kepala pelayan menjawab “Hari ini adalah hari rabu, tanggal 4 Oktober Tahun 665 kalender Kekaisaran Azalea.”

Ellene memijat keningnya. “Lose, pergi dan bawakan sarapanku ke kamar.” Ujarnya pada pelayan pribadinya. Lose mengangguk dan pergi. Ellene melirik kepada Barney. Barney mengangguk memahami maksud dari lirikan majikannya.

“Sisanya bisa mengerjakan pekerjaan masing-masing.” Ujar Barney singkat. Para pelayan menunduk dan pergi secara bersamaan seperti yang diperintahkan oleh Barney.

Kini hanya menyisakan Barney dan Ellene di dalam kamar Ellene. Bunyi dentingan jam mengiringi kesunyian yang tercipta di antara keduanya hingga Ellene kembali memanggil nama Barney. Barney menunduk, menyahut panggilan majikannya. “Ya, nona.”

Ellene turun dari tempat tidurnya dan mengambil secarik kertas. Kertas kosong tersebut kemudian dihiasi oleh tinta yang mengalir menjadi huruf dan kata. Barney memperhatikan punggung nona Ryvero yang masih tertutup gaun piyama berwarna putih.

“Bawakan surat ini secara rahasia ke Dale Forest. Taruh suratnya di bawah sebuah pohon berdaun merah yang terlilit rantai emas. Jalankan secara rahasia dan jangan biarkan seorang pun tahu, termasuk ayah.” Perintah Ellene. Barley mengangguk sembari menerima surat yang terlipat rapi tersebut. Sebenarnya Barley ingin menanyakan perihal perintah Ellene kepadanya, tapi melihat tatapan dingin nonanya ini, Barley sepenuhnya sadar bahwa itu bukanlah hal yang boleh ditanyakan.

Setelah Barney pergi, Ellene menjamah pandangannya untuk melihat ke segala sudut ruangan. Tatapan sendu dan rindu terpancar jelas dari matanya. Dengan bibir bergetar, Ellene menyentuh kedua pipinya. Ellene terduduk dilantai sambil terisak pelan.

“Aku berhasil kembali…” bisiknya pelan.

“Aku berhasil. Aku berhasil kembali ke masa lalu.” Ucapnya pelan ditengah isak tangis.

Beberapa jam sebelum Ellene terbangun. Pemandangan dalam ingatan Ellene tidaklah senormal ini. Dalam ingatan miliknya, Ellene menderita buta sebelah akibat tertusuk oleh pedang. Tidak hanya itu, pundaknya juga tertahan oleh anak panah. Panahan tersebut sukses membuat bahunya bermandikan darah yang tercium segar di indera penciuman sang pelaku.

Tepat di depan Ellene terdapat seorang pria berpakaian mewah yang memperhatikan tiap seluk dirinya yang sedang sangat tidak layak untuk dipandang, apalagi jika orang tersebut berstatus putri dari seorang marquess sepertinya. Pemandangan mengerikan dirinya seakan dinikmati oleh laki-laki tersebut.

“Kenapa?! Kenapa anda melakukan ini pada saya, Yang Mulia!” teriak Ellene. Putra Mahkota tersebut menyeringai dan menghunuskan pedangnya tepat pada jantung Ellene. Kata terakhir yang Ellene ingat adalah “Ini semua demi kebaikanmu dan kekaisaran ini, Ellene Della Ryvero.”

Lalu pandangannya buram. Dalam keadaan hampir mati, Ellene mendengar suara seorang peri yang mengaku bisa membantunya untuk mengulang takdir kejam ini kembali. Dalam jurang keputusasaan tanpa dasar, Ellene langsung menyetujui bantuan dari si peri tidak dikenal tanpa pikir panjang.

“Aku akan membawamu kembali ke masa lalu agar kamu dapat mengulang kembali takdir yang kejam ini. Apakah alurnya akan sama atau berubah, itu semua tergantung padamu. Saat kamu membuka mata, kamu akan kembali ke masa lalu dimana semua kemalangan ini belum terjadi. Setelah kamu kembali, cari aku di Dale Forest.” Ujarnya. Ellene mengiyakan perintah peri tidak dikenal itu.

Sebelum Ellene benar-benar tertelan oleh kegelapan, sekelebat cahaya menyelimuti tubuhnya. “Suruh seseorang meletakkan sebuah surat bertuliskan namaku di bawah bayangan pohon berdaun merah yang dililit rantai emas. Aku akan menghampirimu sesegera mungkin.” Ujar sang peri.

“Nama! Tolong beritahukan namamu!” teriak Ellene dalam batinnya sedetik sebelum kehilangan kesadaran. Ellene ingat betul bahwa peri tersebut tidak sempat memberitahukan namanya kepada Ellene. Tapi anehnya, ketika Ellene terbangun, dia langsung tahu nama peri tersebut.

“Rapsodia.” Desis Ellene dalam pikirannya sembari menyantap sarapan yang baru saja Lose bawakan.

Dua hari sudah Ellene kembali ke masa lalu. Sesaat setelah dirinya bangun, Ellene langsung menjalankan kata-kata terakhir yang dirinya dengar di masa depan. Sesuai dengan arahan Rapsodia, Ellene menyuruh Barley untuk pergi ke Dale Forest, hutan para makhluk fantasi, untuk meletakkan surat tersebut pada pohon yang Rapsodia katakan. Tapi sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda Rapsodia menghampirinya meski Barley sudah kembali sehari yang lalu.

Tidak ada orang-orang dalam kediaman Marquess Ryvero yang menyadari pergerakan Barley. Menurut Ellene, Barley merupakan bawahan yang setia dan pintar dalam bergerak untuk sebuah rencana secara rahasia. Itulah mengapa tanpa pikir panjang lagi, Ellene memutuskan bahwa yang akan membawa surat tersebut adalah Barley.

“Perasaan ibu saja, atau dua hari ini Ellene terlihat pendiam?” Tanya Marchioness Ryvero, Meliantha Ryvero.

Dengan anggun, Ellene memotong daging dengan pisau makan dan melahapnya sebelum akhirnya matanya memandang Meliantha. Dengan senyuman manis, Ellene berkata “Saya baik-baik saja, ibu.” Jawab Ellene dengan nada rendah.

“Ya ampun, putriku!” Seru Meliantha sedikit histeris. “Sejak kapan putriku ini menggunakan panggilan ibu pada mama?” tanya Meliantha dengan nada bercanda.

Kakak Ellene, Derric Aro Ryvero, juga turut andil dalam percakapan keluarga tersebut seakan ingin menggoda sang adik yang terkenal sebagai anak yang cengeng dan lucu ketika dijaili “Bukan hanya pada ibu! Bahkan Ellene berbicara formal padaku juga. Bukankah itu hal yang sangat mengejutkan?! Aku tidak terima tiba-tiba saja Ellene bersikap sangat sopan dan formal padaku. Padahal sebelumnya sangat kurang hajar padaku!”

“Derie, bukankah bagus adikmu bisa bersikap selayaknya seorang lady terhormat. Lagipula, pada umurnya sudah menginjak 16 tahun. Bukankah sudah waktunya untuk bersikap sesuai dengan statusnya sebagai putri Marquess Ryvero? Ellene harus belajar untuk bertanggungjawab atas status yang dia miliki. Inilah yang dinamakan ‘Noblesse Oblige’… HAHA!” Tawa Marquess Ryvero, Adam Yoram Ryvero, terdengar menggema, mengisi suasana hangat keluarga Ryvero. “Bukankah sekarang kamu juga sudah tidak memanggil ibu mu dengan panggilan ‘mama’ lagi kan, Darie?” Lanjut Adam sembari tertawa.

Ellene kembali ke masa lalu pada 4 tahun sebelum insiden itu terjadi. Setahu Ellene, keluarga kaisar memfitnah keluarganya sebagai pemberontak. Tidak hanya memenjarakan seluruh anggota keluarganya, kaisar juga menjatuhkan nama keluarganya. Seluruh penjuru Kekaisaran Azalea tahu bahwa Ryvero dijuluki sebagai tameng Kekaisaran Azalea. Akan tetapi, tanpa keadilan serta kejelasan, keluarganya dituduh sebagai dalang dari gerakan pemberontak yang sedang bergerak untuk melawan kekuasaan Kekaisaran Azalea yang tidak pernah runtuh selama 350 tahun.

Tidak lama setelah ditangkapnya seluruh anggota keluarga, sanak saudara bahkan pengikut keluarga Ryvero, pemberontakan meledak. Pasukan pemberontakan dipimpin oleh Duke Blance muncul dan menyerang istana secara tiba-tiba. Serangan dadakan ini mendukung opini masyarakat tentang kebenaran akan tuduhan keluarga kekaisaran. Padahal sejujurnya keluarga Ryvero sendiri sama sekali tidak tahu menahu perihal pemberontakan yang dipimpin oleh Duke Blance. Ironisnya Duke Blance mengatakan pada keluarganya bahwa mereka memberontak karena kami difitnah. Lalu siapa yang pemberontak yang dimaksud oleh keluarga kerajaan jika bukan Duke Blance?

Duke Blance dengan sosok yang gagah berdiri memimpin pasukan dan memberontak untuk menyelamatkan bangsawan paling setia di Kekaisaran Azalea. Mereka datang untuk membebaskan Ryvero dari tuduhuan keji kaisar yang serakah. Namun apakah pemberontakan ini benar hanya berdasarkan misi penyelamatan dan pembelaan untuk sebuah keluarga bangsawan yang sangat dihormati selama kekaisaran berdiri? Atau ada isu lain di balik hal peristiwa tersebut?

Malam itu, semua anggota keluarga Ryvero kecuali Marquess Ryvero, yang telah lebih dulu mati di tangan Putra Mahkota, melarikan diri dari penjara menuju tempat persembunyian yang disediakan oleh Duke Blance. Namun naaf, hanya butuh dua hari kastil persembunyian milik Duke Blance ditemukan oleh pasukan Kekaisaran Azalea. Pasukan kekaisaran menyerang dan membinasakan semua pengikut Duke Blance yang juga sedang bersembunyi di dalam kastil. Berkat kemurahan hati dari Duke Blance, Ellene, Derric dan anak-anak Duke Blance dapat melarikan diri melalui sebuah jalan rahasia. Namun, ada harga atas pelarian ini, Duke Blance meminta Marchioness Ryvero dan Duchess Blance untuk tetap tinggal. Duke meminta kedua wanita tersebut, Duchess Blance dan Marchioness Ryvero, untuk berpura-pura melarikan diri dengan jalur pelarian palsu supaya tidak ada pasukan kekaisaran

yang dapat mengejar anak-anak mereka.

Ellene ingat betul bagaimana tangis yang ditahan oleh dirinya, sejak kematian ayahnya, pecah begitu saja ketika dipaksa berpisah dengan Marchioness Ryvero, satu-satunya orangtua yang masih dimilikinya. Ellene ingat betul tamparan dari ibunya yang memaksa dirinya pergi bersama sang kakak untuk menyelamatkan diri. Rasa kesedihan dan keputusasaan yang menjalar begitu dalam. Menyayat hati para korban tak bersalah.

Entah mengapa, nasib baik ketika masa itu benar-benar tidak memihak padanya. Pasukan Putra Mahkota berhasil menghabisi Duke Blance seorang diri. Lalu, dengan kelicikan dan kecerdikannya, Putra Mahkota membagi pasukannya menjadi dua. Pasukan pertama untuk mengejar para nyonya dan pasukan kedua mengeledah ruangan terakhir Duke Blance. Hal buruk yang tidak diperkirakan oleh anak-anak bangsawan ini adalah kecerdikan putra mahkota yang berhasil mengejar mereka.

Putri Blance mati terpanah tepat di jantung ketika mereka melarikan diri. Tuan Muda Blance juga ikut mati setelah menjadi tameng yang melindungi jasad mayat adiknya. Tindakan Tuan Muda Blance ternyata dapat menjadi pengulur waktu untuk Derric dan Ellene. Tidak ada yang memberikan waktu untuk mereka semua bernapas sedetik pun pada malam mencekam tersebut. Ellene dan Derric terus lari sambil mendengar suara jeritan demi jeritan setiap penghuni kastil yang dibunuh oleh pasukan kekaisaran. Takdir akan kematian pada malam itu menghantui dan mengejar seakan hendak menghampiri mereka.

Derric dan Ellene sama-sama tidak tahu jalan pelarian itu karena anak-anak Blance tidak sempat memberitahukan kepada mereka mengenai detail jalan pelarian yang mereka tempuh. Begitu pula dengan Peta jalur pelarian dipegang oleh Putri Blance, mungkin sudah dirampas oleh Putra Mahkota.

Jalan bercabang seakan memperjelas takdir mereka. Derric dan Ellene sama-sama kebingungan harus berpisah atau memilih salah satu jalan untuk mereka telusuri. Cukup memakan waktu untuk memutuskan hal itu hingga pada akhirnya Derric memutuskan untuk memilih salah satu jalan dan menjadi umpan agar adiknya menelusuri jalan yang lain.

Awalnya Ellene tidak setuju, ia menolak mati-matian rencana kakaknya tersebut. Tapi pesan terakhir dari ibu mereka membuat Derric dengan tegas menyakinkan Ellene hingga akhirnya Ellene pun menuruti perkataan kakaknya. Sayang sekali, pengalihan ini bagaikan fatamorgana di tengah padang pasir. Dari kejauhan Ellene mendengar suara tapak kaki yang keras dan tegas berjalan menuju ke lorong yang dipilih Derric. Ketika Derric hendak berpisah dengannya, Derric dengan sengaja menumpahkan cat minyak untuk memberikan jejak pada sepatunya untuk memancing mereka.

Seraya menahan isak tangis, Ellene terus berlari sampai akhirnya kakinya diberhentikan oleh sang kegelapan yang penuh dengan keputusasaan. Jalan yang dirinya lalui adalah jalan yang salah. Jalan tersebut merupakan satu dari sekian banyak jalan buntu yang dibuat untuk menjebak musuh. Kenyataan yang pahit seakan menjawab takdir Ellene, jalan yang kakaknya pilih adalah jalan keluar yang benar. Melihat hal itu, Ellene tersadar, bahwa dirinya juga akan berakhir sama dengan semua orang yang ada di kastil tersebut. Hanya tinggal menunggu waktu hingga pasukan kekaisaran dan Putra Mahkota menemukan dirinya.

Ellene memejamkan matanya sembari mengunyah daging yang disajikan siang itu. Kejadian mengerikan itu terbayang jelas, bahkan sampai perasaan ketika panah milik salah seorang bawahan Putra Mahkota tertancam mulus menembus pundak kirinya. Ellene masih bisa melihat jelas sosok yang dibencinya menyeringai dalam ingatannya. Hunusan pedang yang masih terasa nyata di jantung membuat luka yang tak terhingga merasuk dalam jiwanya. Rasa sakit yang begitu berkesan membuat merinding sekujur tubuh untuk orang yang merasakannya.

“Ellene!” Seru Derric. Ellene terkejut dan menatap Derric yang saat ini sedang memasang raut muka kesal.

“Kakak memanggil saya?” Tanya Ellene sembari mengucapkan maaf akan tindakan cerobohnya yaitu melamun saat sedang makan.

“Ya, benar. Dari tadi aku memanggilmu tapi tidak kunjung mendapatkan jawaban.” Ujar Derric sembari mendengus sebal. Derric juga mempertanyakan mengapa adiknya melamun ketika dirinya mengajak berbincang tadi. Sekali lagi, Derric mengulang pertanyaannya kepada Ellene “Tadi aku bertanya, apakah kamu mau menemaniku untuk mengunjungi rumah Duke Blance?” tanya Derric.

“Ada keperluan apa kakak sampai harus berkunjung ke kediaman Duke Blance?” tanya Ellene. Meliantha membantu Derric untuk menjawab pertanyaan Ellene angkat bicara “Tuan Muda Blance meminta kakakmu untuk menemaninya berlatih pedang karena minggu depan akan diadakan pertandingan antar tuan muda dalam pergaulan kelas atas. Karena tidak ingin kalah dari Putra Mahkota, Tuan Muda Blance meminta kakakmu menjadi lawan tandingnya karena hanya kakakmu yang memiliki kemampuan berpedang yang setara dengan Putra Mahkota.”

Ellene terdiam. Meliantha tertawa pelan. “Kamu melupakan penjamuan para bangsawan muda kelas atas minggu depan?” Tanya Meliantha kepada Ellene. Ellene menggeleng pelan. Dengan suara pelan, Ellene menjawab “Maaf ibu, saya tidak mengingat hal tersebut.”

Reaksi tenang dan sopan Ellene membuat keluarganya terdiam. Terutama Derric, dia yang paling mengenal adiknya dibandingkan siapapun di rumah itu bahkan ikut merasa kebingungan. Keluarga Ellene berpikir bahwa ada yang aneh dengan sikap dan tingkah laku Ellene. Ellene yang mereka tahu adalah anak yang akan langsung bersemangat mendengar pesta penjamuan yang diadakan oleh kalangan kelas atas, apalagi jika bisa bertemu dengan Putra Mahkota. Mustahil Ellene melupakan penjamuan karena dengan penjamuan, dia bisa dekat dengan Putra Mahkota yang disukainya itu. Melihat gelagatnya yang melupakan penjamuan kelas atas ini, bukankah bentuk sebuah keanehan?

“Ellene, apakah akhir-akhir ini tidurmu nyenyak?” Tanya Meliantha. Ellene mengangguk pelan. Meliantha menatap putra dan suami nya yang juga merasa khawatir pada Ellene. Seketika Ellene disuguhi berbagai pertanyaan bertubi-tubi.

“Apa Ellene ditolak lagi oleh Putra Mahkota?”

“Apakah ada yang menganggumu di pergaulan kelas atas?”

“Bagaimana keseharianmu? Apakah ada yang membuatmu jengkel?”

Pertanyaan demi pertanyaan terlontar oleh anggota keluarga Ellene hingga membuat Ellene terdesak. Seketika Ellene bangkit dengan ekspresi kesal. “Saya sudah merasa kenyang untuk saat ini. Terimakasih atas makanannya. Ayah, ibu, kakak, saya pamit undur diri untuk kembali melanjutkan kegiatan saya hari ini.” Kepergian Ellene yang tidak diprediksikan oleh anggota keluarganya tersebut membuat Adam, Meliantha bahkan Derric berpikir “Ellene sakit!” secara serentak dalam batin masing-masing. Ellene yang seakan bisa menebak isi pikiran keluarganya merasa semakin kesal seiring langkah kakinya yang meninggalkan ruangan.

Malam hari ditemani pantulan sang rembulan. Pikirannya jatuh ke dalam kenangan masa lalu sebelum kejadian tragis itu. Ellene ingat bahwa Derric pernah menyelinap masuk ke kamarnya melalui balkon ketika Ellene berusia 6 tahun untuk menghibur Ellene yang sedang menangis seharian karena rasa sakit akibat dipaksa berlatih dansa berjam-jam oleh Madam Fallicia. Karena Derric, Ellene tahu bahwa pemandangan indah seperti ini terlihat jelas dari kamarnya. Jika beruntung, tidak hanya bintang, cahaya sang luna pun juga dapat terlihat meskipun bulan sedang tidak penuh. Pantulan danau bagai memiliki berlian di dasarnya lah yang membuat pemandangan semakin indah dan sempurna untuk dinikmati.

“Sedang menikmati pemandangan, uh.. Lady Ryvero?”

Mata Ellene terbelalak melihat sosok berkulit putih mulus dari makhluk yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Lidahnya kelu untuk menyebutkan nama tersebut. Namun entah mengapa dirinya sangat yakin bahwa di hadapannya saat adalah peri yang menyelamatkan harapan dan hidupnya “…Rapsodia---”

Desisan pelan yang bernada bagaikan aluna sagita yang dilantunkan oleh alam. Saling memberikan tatapan, cahaya yang menyinari wajah keduanya memberikan waktu untuk keduanya saling mengenal.