PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Go Went Gone

Go Went Gone

Penulis:risungprk

Berlangsung

Pengantar
Menjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here? You have hoice. And the winner is someone who can live be better.
Buka▼
Bab

Langit sudah diselimuti awan gelap sejak mentari memutuskan menyudahi petualangan harinya di belahan bumi yang perempuan itu pijak. Hawa dingin yang berembus menyadarkannya sekali lagi kalau arah angin tak lagi sama seperti dulu. Menyadarkannya, kalau bumi yang ia pijak tak lagi bersahaja seperti dulu. Menyadarkannya pula, kalau masa kecilnya yang ceria, pernah sehancur itu.

Namanya Dinda, perempuan cerdas yang sangat keras kepala. Yang selalu merasa kalau dirinya adalah manusia yang tidak membutuhkan orang lain sama sekali. Yang paling tidak suka dan benci dikasihani. Dia juga tak pernah membiarkan siapapun masuk lebih jauh dalam hidupnya. Baginya, sudah cukup dirinya sendiri. Dia tak butuh siapa-siapa lagi.

"We've been here for two weeks, Din. Masih belum mau pulang juga?"

Nita yang sedari tadi berdiri di samping perempuan itu mulai buka suara. Dia bukannya setengah-setengah ingin menemani. Lagipula, sedari awal Dinda pergi sendiri dan dirinya yang lain berkeinginan untuk menyusul sendiri.

"Aku ngomong sama kamu," kata perempuan itu lagi saat Dinda tak kunjung menjawab. Agaknya kesal karena terus diabaikan sedari tadi. Atau bahkan sudah berhari-hari yang lalu.

"Nggak ada yang minta kamu ke sini juga," balas Dinda tak peduli. Kemudian sok sibuk menatap deburan ombak yang terlihat samar-samar dari balkon kamarnya.

Bukan mencelos lagi, Nita sampai menelan ludah mendengar perkataan Dinda. Sahabatnya itu memang sudah begitu sejak lahir, tapi tetap saja ada rasa kesal saat menghadapinya. "Astaga, Mak! Tega sekali kamu sama kita. Kita sampai nyusulin kamu ke sini karena takut kamu kenapa-kenapa. Kalau nggak peduli, nggak bakalan kita jauh-jauh susulin kamu ke sini," katanya panjang lebar dengan bibir mengerucut kesal.

Dinda tersenyum miring, berlalu masuk ke kamar begitu saja. "Masalah kamu, sih."

"Oh, God!" Nita langsung mengacak-acak rambutnya frustasi, menatap Dinda yang berlalu ke dalam kamar dengan perasaan jengkel setengah mati. "Untung teman dari orok kamu, ya! Kalau enggak, sudah aku jambak dari tadi. Ngeselin banget jadi or--"

Sayangnya, Nita hanya mampu menelan mentah-mentah kalimatnya sendiri begitu melihat Dinda terpaku dengan pria berwajah datar yang tahu-tahu sudah ada di dalam kamarnya. "Kak? Kak Aldi? Kok bisa--" Perempuan itu melirik ke arah Dinda yang juga tengah menatap arah lain. Sadar karena tak seharusnya tetap berada di sana, Nita langsung melipir pergi.

"Pulang," pinta Aldi pelan tapi begitu menusuk saat hanya ada mereka berdua. Dinda yang enggan menanggapi, memilih berbalik dan pura-pura menyibukkan diri. Sedangkan Aldi tidak akan berhenti sebelum mendapat balasannya. "Kakak bicara dengan kamu."

"I've been listening," balas Dinda tak peduli.

"Kamu pikir keren, dengan kabur seperti ini?" Aldi berjalan mendekat, "I know you live your life. But you are not a child anymore, Dinda. Kamu nggak bisa terus-terusan pergi dari rumah tiap kali kamu marah. Tuhan kasih kamu otak agar bisa digunakan untuk berpikir. Kamu mahasiswa, orang terpelajar. Kamu tahu kalau lari dari masalah itu nggak baik. Terus kenapa tetap dilakukan?" tanyanya pelan seperti biasa.

"Kakak orang dewasa, harusnya bisa memberi contoh yang baik untuk adik-adiknya juga. Tapi kenapa malah berbohong? Nggak salah dong, kalau aku pergi holiday sekarang?" Dinda balik bertanya seraya membela diri, sengaja menantang dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

"For God's sake, jangan mencari pembelaan!" Aldi membuang tatapannya ke arah lain. "Kakak ke sini juga mau minta maaf sama kamu, sekalian mau ngajak kamu pulang ke rumah. Kamu tahu, Mama kamu nanyain kamu terus."

Dinda muak setiap kali mamanya dibawa-bawa dalam pembicaraan ini. "I don't care, It's her problem not my problem," balasnya makin tak peduli.

Aldi memilih memejamkan matanya dalam-dalam, menghitung satu sampai sepuluh untuk meredam amarah yang ia tahan sedari tadi. Hasilnya tidak akan baik jika menghadapi Dinda dengan emosi. Yang ada, adik perempuannya ini akan berontak.

"Okay, I am sorry!" Aldi mengalah dengan mengangkat kedua tangannya. Kemudian membiarkan Dinda yang mengambil alih.

"Still the same question." Dinda melirik Aldi sekilas yang masih mematung di tempatnya. "Who is she?"

"Dia yang mana?"

"Yang ada di apartemen sampai kakak lupa kalau ada yang nungguin di Jakarta sampai dini hari hanya demi ngasih kejutan. Tapi kenyataannya--" Dinda tersenyum miring, "malah aku yang dikejutkan."

"Kenapa kamu mau tahu banget sama hari itu? Kakak kan sudah minta maaf."

Dinda menatap Aldi datar. "Minta maaf nggak akan berarti kalau permasalahannya sendiri aku nggak tahu apa-apa, Kak."

Pria ini mendesah lelah sekali lagi. Besok dia sudah karus bekerja. Ini saja dia mencuri waktu demi bisa menyusul Dinda. "Jadi, kesimpulannya gimana? Mau pulang sama Kakak apa enggak?" Aldi sadar kalau dirinya sudah banyak menyia-nyiakan waktunya di sini. Dia harus segera kembali.

"Aku masih mau di sini," balas Dinda akhirnya setelah sedari tadi terlalu malas untuk buka suara.

"Okay." Aldi jelas kecewa. Dia mengangkat bahunya acuh tak acuh dan langsung pergi begitu saja. Padahal, ada Dinda yang tengah berdiri di depannya. Dan Dinda pun memilih tidak peduli. Sedari awal, Dinda tak pernah memberikan hatinya pada orang lain, kecuali pada dirinya sendiri. Dia begitu bergantung pada Aldi, tapi kenyataannya dia juga dibohongi.

Angin malam Pantai Kuta tak menyurutkan niat Dinda untuk menghindar dari semua orang. Ah salah! Bukan menghindar, lebih tepatnya melarikan diri. Kenapa dia harus pulang kalau disinilah dia dilahirkan? Itulah yang menjadi pertanyaannya selama ini.

Dia lahir di Bali. Menghabiskan masa kecil di Bandung. Kemudian kembali lagi ke Bali. Dan sekarang harus berakhir di Jakarta. Entahlah, hidupnya nomaden seperti manusia purba saja.

"Hi, could I sit here?" Tiba-tiba ada orang yang menyampirkan selimut di bahu Dinda. Dia jelas terkejut, tapi bersikap biasa saja dan tetap memejamkan matanya. Sudah biasa bertemu bule seperti ini. Mereka memang ramah.

"Excuse me," izinnya saat mengambil ruang untuk ikutan duduk.

"Ya," balas Dinda seadanya.

Memang hanya satu balok kayu panjang di sana. Jadi, lelaki itu izin kepada Dinda karena dialah yang menempatinya lebih dulu.

Satu menit berlalu.

"You know, Miss?" Pria asing itu mulai bersuara. "I have been waiting for someone. But, yeah. I'm here with you."

Dinda lantas membuka matanya dan tanpa berpikir panjang langsung menoleh ke samping di mana orang asing itu berada. Salah! Dia salah! Orang yang sekarang duduk di sampingnya bukanlah wisatawan asing, melainkan lelaki berwajah lokal yang sibuk menatap ombak di gelapnya malam.

"Sorry, Sir!"

"No problem. I'm native," ucapnya sambil tersenyum tipis ke arah Dinda.

"So?"

Lelaki itu kembali menatap deburan ombak di depannya sesaat dan berujar, "Nothing. I just want to say. I'm here because someone like you, selfish, and stubborn."

What?

Mendengar itu, Dinda langsung membuang muka ke arah pantai. Bagaimana bisa orang asing ini men-judge-nya seperti itu? Padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Daripada semakin jauh ke mana-mana, Dinda ingin bangkit pergi. Namun, sebelum niatnya terlaksana orang itu lebih dulu berhasil menebak isi pikirannya atau memang benar dia bisa membaca pikiran.

"Stay here! If anyone has to leave, it's me." Dia tersenyum tulus sambil berkata, "Thanks, Miss. I'm relieved now. I hope this isn't the last for us. Excuse me." Tepat saat selesai mengatakan itu semua, lelaki ini benar-benar pergi.

Dinda tak peduli, dia kembali memejamkan matanya. Namun, matanya kembali terbuka saat menyadari selimut yang masih bertengger manis menyelimuti tubuhnya. Dan untuk kesekian kalinya hari ini dia kembali berpikir, "Why she has to go if this is where that she was born?"

"Back home, Miss. He has been waiting for you, there," seru lelaki itu lagi dari jarak yang belum jauh.

Sumpah demi apapun, jika ada benda keras, tajam, bahkan bahaya sekalipun, dia ingin sekali melempar benda tepat di muka lelaki yang terus saja berhasil menebak pikirannya. Seandainya memang benar dia bisa membaca pikiran, seharusnya orang itu diam saja. Ketahuilah, tak semua orang suka pikirannya terbaca oleh orang lain apalagi orang asing seperti lelaki tadi.

Akhirnya, Dinda juga yang kesal. Mood-nya yang sudah hancur, semakin hancur. "What the f*ck are you talking about?" sengitnya.

Lelaki itu tersenyum tipis sambil berkata, "About you, about life."

"Damn you!" Dinda mendesis tak suka. Dia kembali membuang muka ke arah pantai. Seharusnya dia tidak mendengar omong kosong dari mulut lelaki aneh itu.

"Hhh, sew? Control your emotion if you want to stay alive."

Dinda kembali menoleh, entah kenapa dia merasa terganggu dengan perkataan lelaki itu lagi. "Shut up, jerk!"

Lelaki ini bukannya tersinggung, tapi malah tersenyum untuk merespon umpatan kasar Dinda. "I hope, if we meet again, you could be."

Perempuan ini benar-benar tak mengerti dan tak habis pikir dengan apa yang lelaki itu katakan. Untuk apa dia dipertemukan kembali, sementara dirinya saja tidak ingin dan malah berharap jika detik itu juga pertemuan mereka yang berakhir.

Sejurus kemudian, Dinda menendang asal pasir putih di depannya. Namun nahas, tatapannya jatuh pada sebuah dompet yang sudah terbuka dan menampiknya kartu identitas orang tadi. Dinda menunduk untuk mengambil dompet itu. "Oh Dewa Nagara, not bad," gumamnya.

"No, no, no, why is he still brother me event though he has been gone!" Dinda berkacak pinggang, kesal. "Ah, nyusahin aja!"

Tanpa pikir panjang, Dinda langsung mengejar lelaki itu sebelum kehilangan jejak.

"HAI," teriaknya kencang tetapi lelaki yang bernama Dewa Nagara ini tetap berjalan menjauh. Dinda mendumel sambil berlari lebih cepat untuk mengejarnya semakin jauh. "Astaga! Nyusahin banget sih, ini orang!"

Lelaki itu sudah keluar dari tembok pembatas dan berdiri tepat di pinggir jalan saat menyadari ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Namun, semua terjadi begitu saja, begitu cepat, tak terelakan. Mereka sama-sama membelalakkan mata tak percaya.

AWAS!