PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Takdir Cinta Naila

Takdir Cinta Naila

Penulis:Rumaisha Qatrunnada

Tamat

Pengantar
Naila begitu percaya pada takdir. Baginya, takdir itu sebuah jalan dan dia akan melangkah pada jalannya. Perempuan berwajah manis ini hanyalah seorang pelayan warung. Meskipun begitu, semua lelaki yang dia kenal mengakui pesonanya, tak terkecuali seorang Ammad, lelaki berumur 40 tahun, seorang perantau yang terkenal setia dengan istri dan keluarganya. Akankah takdir menyatukan mereka atau malah memisahkan serta menghempaskan semua harapan?
Buka▼
Bab

Naila masih setia menimang ponsel yang baru saja dia non aktifkan. Tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Sebuah pembicaraan lewat telepon yang sungguh membuatnya terguncang.

Seorang perempuan tak di kenal mengaku bernama Elfira, mendadak mempertanyakan sebuah nama yang selama beberapa bulan ini menghuni sebuah ruang di dalam kenangannya.

"Ada hubungan apa kamu dengan Ammad?"

Degg.

Hampir saja benda pipih berbentuk segi empat panjang itu luruh dari telinganya. Perempuan itu hanya sanggup mengelus dada. Dia merasakan jantungnya bergerak lebih cepat. Ya, nama itu. Lagi-lagi perempuan itu menyebut nama Ammad!

"Kamu siapa?" tanya Naila.

"Aku Elfira, saudaranya Ammad."

"Ohh.. Tidak ada hubungan apa-apa, Kak. Hanya sekedar teman," jawabnya sembari berusaha untuk tetap tenang.

"Masa?"

"Emang kenapa, Kak?"

"Kata Ammad, kamu sangat spesial buatnya. Bahkan dia sampai rela berantem dengan istri hanya demi belain Kamu!"

"Apa?" Perempuan itu nyaris menjerit. "Apa yang terjadi, Kak?"

"Istrinya mengetahui kalau kamu pernah punya hubungan dengan suaminya. Mereka sering bertengkar karena itu. Kamu paham?!"

"Naila menganggap bang Ammad itu hanya teman, sahabat, dan saudara. Kami tak punya hubungan apapun selain itu!"

"Tidak mungkin dia sampai segitunya membelamu di hadapan istrinya, kalau dirimu bukan orang yang spesial buatnya."

"Saya tegaskan sekali lagi ya, Kak. Naila tidak punya hubungan apapun dengan bang Ammad, kecuali sekedar persahabatan dan persaudaraan."

"Soal apakah dia punya perasaan lebih atau tidak kepada Naila, itu di luar kendali, Kak."

"Kamu sudah memberikan perhatian lebih pada suami orang!" Nada suara terdengar meninggi.

"Perhatian yang mana, Kak? Naila ini perhatian kepada semua orang, bukan cuma bang Ammad," balas Naila.

"Kamu pikir aku tidak tahu siapa kamu? Bertahun-tahun kalian berhubungan. Kamu sudah dapat apa saja dari Ammad, hah?" bentaknya.

"Apakah kamu sudah tidur dengannya? Berapa kali?"

"Astagfirullah ...! Naila bukan perempuan murahan, Kak. Naila masih punya harga diri."

"Harga diri? Perempuan seperti kamu punya harga diri? Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu cuma seorang pelayan warung yang miskin. Janda pula! Rupa pun biasa-biasa saja. Entah apa yang menyebabkan Ammad tidak bisa melupakanmu. Kamu pakai pelet ya?"

Allahu Akbar!

"Demi Allah, Naila tidak pernah pakai apapun! Kalau bang Ammad tidak bisa melupakan Naila, itu bukan kesalahan Naila."

"Kalau bukan kesalahanmu, lalu kesalahan siapa? Kesalahan Ammad? Mana mungkin ada asap kalau sebelumnya tidak ada api, Naila?"

"Kamu itu munafik, tahu nggak?!"

*****

"Assalamu alaikum.." Suara itu berasal dari putrinya yang baru pulang dari tempat bermain di rumah tetangga.

"Wa alaikum salam." Naila bangkit dari tempat duduknya. dia berusaha menetralisir kegalauan yang tumbuh dan tengah berkembang di hati.

Gadis kecil itu mencium tangannya. Naila balas memeluk dan mencium keningnya.

"Mama," bisiknya manja.

"Apa, Sayang?"

"Mau makan," ucapnya.

Naila tertawa lebar.

"Oke,"

Naila membimbing putrinya menuju dapur kecil mereka

"Nayra mau makan apa?" tawar Naila.

"Ayam ada nggak, Ma?"

Naila mengangguk. Kemudian membuka kulkas dam mengambil sepotong ayam.

"Nayra duduk disini ya. Mama akan menggoreng ayam dulu,"

Naila melumuri ayam dengan bumbu dan tepung, lantas menggorengnya.

Sambil menunggu ayam goreng matang, Naila mengambil nasi  di magic com.

"Taraa... Ayam gorengnya dah siap!" seru Naila sambil menyerahkan sepiring nasi dengan ayam goreng kepada Nayra.

"Wow, makasih Mama," Matanya berbinar.

Dia segera mencuci tangannya di tempat cuci piring

"Enak, Mama," celotehnya setelah mendaratkan suapan pertama di mulutnya. Dia mengacungkan jempolnya.

"Makan yang lahap, Sayang."

"Kenapa Mama nggak makan sih?" Mata bulat nan bening itu menatapnya.

Perempuan muda itu tersenyum simpul sembari mengelus kepala putrinya.

"Nayra aja yang makan dulu. Mama mah gampang,"

Naila tersenyum memandangi putrinya yang tengah asyik menyantap makanannya.

Setelah selesai makan, Naila membimbing Nayra untuk melaksanakan shalat Zuhur.

"Sekarang Nayra siap-siap untuk mengaji ya. Nanti kawan Nayra jemput," ucap Naila.

Dia mengangguk.

"Iya, Ma."

Naila membantu melepaskan mukena yang melekat di tubuh kecil  putrinya.

Nayra melangkah masuk kamar untuk berganti pakaian.

*****

Setelah kepergian putrinya, Naila menghela nafas panjang.

"Bang Ammad," desahnya.

Naila seperti memutar kembali kilatan demi kilatan memory tentang kisah hidupnya. Tentang seorang laki-laki gagah yang bahkan dianggapnya seperti saudara sendiri.

Dua tahun yang lalu Naila mengenalnya dan sudah lebih dari 6 bulan ini Naila sengaja menghilangkan jejaknya.

Ya, melupakan laki-laki itu adalah jalan terbaik buatnya dan Nayra. Ketika Ammad memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, dia rasa itu sudah selesai. Naila sama sekali tak ada keberanian untuk menghubungi, bahkan untuk menghubungi di sosial medianya sekalipun.

Naila benar-benar diam. Dia menyimpan rapat sosok laki-laki itu dalam kenangan dan juga dalam doanya. Naila hanya menyisakan sedikit suara untuk menyebut namanya. Itu pun tatkala Nayra menanyakan soal Ammad, bahkan terkadang dia hanya menjawab seperlunya saja.

Bukan tak mau menghubungi laki-laki itu. Akan tetapi, ia merasa bahwa sudah seharusnya hidupnya tak lagi bergantung pada Ammad, sosok seorang laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak dan seharusnya merekalah menjadi prioritas utama, bukan dia dan Nayra.

Naila hanya ingin konsisten dengan ucapannya sendiri menjelang kepulangan laki-laki itu. Dia ingin menyembuhkan hubungan dan perasaan mereka berdua saat itu.

"Pulanglah, Abang. Seperti pulangnya seorang perantau ke kampung halaman. Bawalah segenap rindu kepada kepada keluarga Abang, bukan sebongkah kesedihan saat meninggalkan kami di sini."

*****

Hai hai ....

Terima kasih buat teman-teman yang sudah meluangkan waktu buat mampir kesini.

Selamat bergabung di rumah halu author Rumaisha Qatrunnada alias Jannah Zein..

Semoga kalian betah ya.

Semoga cerita menghibur dan bermanfaat buat kita semua.

Love you all..

Selamat membaca..