Suara air yang terdengar di telinganya membangunkan Merari Hermawan, yang sedang tertidur pulas. Dia membuka matanya yang masih mengantuk, dan dia dikejutkan oleh pemandangan di depannya.
Dia berada di sebuah kamar tamu yang mewah, dengan mentari pagi yang menyinari seprai yang berantakan. Pakaian serta sepatu pria dan wanita bertebaran di karpet, dan ruangan itu dipenuhi dengan aroma pria dan wanita yang usai bercinta.
Dia menunduk dan menatap tubuhnya yang telanjang di bawah selimut. Dia merasakan ketidaknyamanan yang datang dari tubuh bagian bawahnya, Merari menjambak rambut panjangnya dengan kasar, dan ingatan tentang kejadian tadi malam melintas di pikirannya.
Pria yang berpacaran dengannya selama tiga tahun mengatakan bahwa dia tidak lembut, tidak perhatian, tidak feminin, bahkan pria itu memutuskan untuk pergi ke luar negeri dengan seorang gadis kaya untuk mendapatkan gelar doktor.
Merari, yang kuat di luar dan rapuh di dalam, minum hingga mabuk tadi malam, dan tanpa berpikir panjang, dia mencari seorang pria di bar, lalu tidur bersama pria itu.
Saat ini, kedua kaki Merari yang sedang duduk di tempat tidur gemetar. Selama ini, dia selalu menghargai dirinya sendiri, kenapa dia bisa melakukan sesuatu yang biasanya hanya berani dipikirkan dan tidak berani dia lakukan ini? Tampaknya kalimat alkohol bisa membuat penakut menjadi pemberani itu tidak salah.
Dia mengenakan pakaiannya dengan asal, mengambil tasnya dan hendak pergi diam-diam, tapi dia tidak menyangka pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka!
Merari langsung menoleh, dan melihat seorang pria yang sangat tampan keluar dari kamar mandi.
Dia memiliki rambut tebal, wajah tegas, fitur sempurna, sosok kekar, dan baju tidur yang longgar di tubuhnya memperlihatkan otot dada yang kuat dan seksi.
Harus diakui pria itu terlihat benar-benar sempurna, berkali-kali lipat lebih baik dari pada mantan pacarnya yang ba*jingan itu.
Merari merasa lega untuk sesaat, dia lebih rela memberikan kehormatannya untuk pria asing ini daripada pria murahan itu.
Saat memikirkan semua hal yang terjadi tadi malam, wajah Merari segera memerah.
Tadi malam, pria itu terkadang lembut dan terkadang kasar. Ini adalah pertama kalinya gadis berusia dua puluh lima tahun ini merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang wanita.
Tentu saja, sekarang Merari merasa malu berdiri saat di depan pria itu, tapi dia tetap berpura-pura tenang.
Dibandingkan dengan Merari yang merasa canggung, pria itu sangat tenang. Dia menatap Merari dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang dalam. Sudut bibirnya sedikit ditekuk, mengungkapkan ekspresi jijik. Ekspresinya yang menghina itu membuat Merari sangat tidak nyaman.
Kemudian dia tiba-tiba berjalan ke samping tempat tidur, mengulurkan tangan dan mengambil dompet Gucci-nya.
Merari langsung tertegun ketika melihat tumpukan tebal uang bergambar Soekarno Hatta di dompet pria itu.
Pria itu menganggapnya adalah wanita seperti itu, dan ingin membayarnya untuk tadi malam?
Tidak bisa, dia tidak bisa membiarkan pria ini menghinanya seperti ini!
Merari segera mengeluarkan uang 300 ribu yang dia punya dari tasnya, dan melemparkannya ke sprei yang kusut sebelum pria itu melakukannya.
Pria itu mengangkat alisnya dan menatap Merari dengan kebingungan.
Merari berpura-pura menenangkan diri sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya, menatap pria itu, lalu berkata dengan nada menantang: "Meskipun wajahmu lumayan, tapi hanya terlihat kuat di luar saja, kemampuanmu sangat buruk, jadi aku hanya bisa memberi sejumlah ini saja!"
“Apa katamu?” Kata-kata Merari jelas membuat pria itu marah. Merari bisa melihat wajahnya yang cemberut.
Agar aktingnya lebih realistis, Merari melangkah maju dan menepuk-nepuk pundak pria itu, lalu berkata dengan nada serius: "Aku sarankan kamu memasang harga diskon terlebih dahulu untuk mengasah kemampuanmu. Jika kemampuanmu sudah membaik, harganya juga akan mengikuti. Wanita zaman sekarang tidak bisa dipuaskan dengan mudah!"
"Kamu cari mati..." Pria itu mengerutkan kening, beberapa kata terdengar dari bibirnya.
Merari melihat pria itu sudah mengepalkan tangannya. Merari tidak ingin menjadi pelampiasan amarahnya. Sebelum pria itu melampiaskan emosinya, Merari memilih untuk segera melarikan diri dari tempat itu.
Ketika dia keluar dari Hotel Hilton, wajah pria itu masih terlihat menyeramkan. Merari mengelus dadanya dan merasakan jantungnya yang berdetak kencang, bersyukur dia bisa segera melarikan diri.