Merryana terpejam, tubuhnya gemetar. Gadis belia itu meringkuk menahan rasa takut dan juga nyeri di punggung, karna tubuhnya baru saja terhempas jatuh membentur lantai keramik.
Beberapa siswa perempuan yang membawanya ke gudang sedang tertawa puas di hadapan Merryana. Menertawakan gadis malang yang jatuh terjerembap tanpa perlawanan.
Bukan sekali dua kali Merry mendapat perlakuan semacam ini di sekolah. Tubuhnya yang gendut, rambut ikal mengembang, wajah penuh jerawat dan keakrabannya dengan salah satu kakak kelas paling populer di sekolah, membuat beberapa siswa perempuan cemburu. Dan akhirnya menjadikan Merry sebagai sasaran bully.
Tak ada yang sudi berteman dengan gadis malang itu, kecuali ....
“Hei! Ngapain kalian di sana!” Seorang siswa laki-laki dengan tubuh tinggi tegap dan tatapan mata tajam menghampiri. Menyibak kerumunan yang menutupi keberadaan Merry.
Suaranya yang tegas dan lantang sontak membuat beberapa siswa yang tadinya tertawa seketika diam tak berkutik. Bahkan, salah satu dari mereka yang menjadi ketuanya segera berjongkok di depan Merry dan pura-pura menolong.
“Sorry ya, Mer. Kita nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa, ‘kan?” katanya sambil mengusap wajah Merry yang berpeluh dan pucat pasi.
Sementara yang lain sibuk berkasak-kusuk dan merapikan penampilan mereka. Tak heran mereka bersikap seperti itu, karna yang barusan datang adalah Benedict Ivander. Ketua OSIS yang pintar dan tampan.
Hampir semua siswa di sekolah Harapan Nusantara segan padanya. Karna Ben adalah seorang siswa yang pendiam dan tidak banyak tingkah, juga salah satu siswa paling populer di kalangan para murid perempuan.
“Jangan ada yang pergi dari sini, sebelum kalian semua minta maaf sama Merry!” teriaknya lagi, tatapannya mengedar. Seolah sedang menandai siapa saja yang terlibat dalam aksi bully sore itu di gudang sekolah.
Usai memperhatikan satu persatu pelaku yang menyakiti sahabatnya itu meminta maaf secara bergiliran, Ben berlutut dan memeriksa keadaan Merry yang masih tertunduk lesu dengan tubuh gemetar. Pemuda itu beberapa kali membuang napas kasar saat menemukan bekas luka di wajah dan juga lengan Merryana.
Tak tinggal diam, Ben segera bangkit dan membawa Merry pergi. Bukan dengan cara menuntunnya, melainkan menggendong gadis itu di punggung. Dan hal itu sukses membuat para siswa perempuan yang melihatnya semakin murka.
“Gadis bodoh,” geram Ben lirih. Tapi, Merry masih bisa cukup jelas mendengarnya. Gadis itu hanya pasrah saja saat Ben membawanya ke UKS dan mengobati beberapa lukanya. Tentu saja setelah melaporkan kejadian itu pada salah seorang guru Bimbingan Konseling, yang kebetulan masih berada di sekolah.
“Ngapain kamu repot-repot nolongin gadis bodoh kayak aku?” gerutu Merry, merasa tersinggung karna disebut ‘gadis bodoh’ oleh Ben.
“Karna kamu nggak bisa nolongin dirimu sendiri,” sahut Ben ketus. Dia selalu begitu, tak pernah berkata manis pada Merry. Tapi, Merry cukup tau kalau Ben sebenarnya sangat perhatian padanya.
Pemuda belasan tahun itu menghela napas, lalu mengangkat dagu Merry dan menatap gadis itu lekat-lekat. “Lain kali, kamu harus ngelawan balik. Jangan takut sama mereka. Masa punya badan besar tapi penakut.”
Merryana terdiam. Ia tepis tangan Ben yang masih menempel di dagunya. “Lain kali nggak usah ikut campur. Mereka marah karna tau kamu deket sama aku,” katanya.
Gadis itu bangkit hendak keluar dari ruang UKS yang sepi. Berada di dalam ruangan bersama cowok paling tampan di sekolah membuat Merry merasa gugup.
“Mer, mau ke mana? Lukamu belum diobati semua,” panggil Ben, menghentikan langkah Merry yang hampir mencapai pintu.
“Kamu naksir sama aku, ya?” todong Merry tiba-tiba, membuat Ben membelalak kaget. “Nggak usah sok baik. Nanti aku jadi salah paham,” sambungnya seraya mendorong pintu UKS dan pergi begitu saja.
“Dasar gadis bodoh,” gumam Ben. Perlahan ia meraba dadanya yang tiba-tiba berdebar, entah karna apa.
**
Sepuluh tahun kemudian ....
“Here we go again,” keluh Ben seraya melonggarkan kancing kemejanya, saat ia menemukan Merryana duduk telungkup di meja bartender.
Gadis itu pasti sudah mabuk. Atau mungkin sudah pingsan karna Ben terlambat datang. Beruntung tidak ada lelaki hidung belang yang menggodanya.
Apa boleh buat, Ben terlambat karna ia harus menghadiri pertemuan penting dengan rekan kerja di law firm tempatnya bernaung.
Alhasil, Ben datang dua jam setelah menerima pesan singkat dari Mer yang bernada memerintah. Selalu saja begitu.
Ben sudah seperti sopir bagi gadis yang menganggap dirinya princess itu.
“Mer ....” Ben mengusap pundak Merryana, dan gadis itu hanya menggeliat malas. “It’s enough, ayo kita pulang.” Pria itu sedikit menarik lengan Mer, namun gadis itu menepisnya.
Wajah cantik yang sedang tipsy itu mendongak, dan menatap Ben dengan mata sedikit menyipit. Lalu, jari telunjuknya terangkat tepat di depan wajah tampan Ben.
“Who-are-you?” racau Mer dengan mata sayu, yang dibalas helaan napas berat oleh Ben.
“Mer, please ... besok aku ada meeting sama klien jam delapan tepat. Kalau kamu nggak bisa diatur, aku tinggalin kamu di sini,” ancamnya.
Mer hanya tersenyum miring, lalu menjatuhkan jari-jemarinya yang lentik pada dada bidang milik Ben yang tertutup kemeja slim fit. “It’s you, Benedict Ivander. I know you ... tapi aku nggak mau pulang. Aku belum mabuk, see?” Mer meringis, menunjukkan deretan giginya yang putih.
Ben memutar bola matanya dengan jengah. Sepertinya dia harus melakukan hal ekstrem pada Merryana, sebelum gadis ini membuatnya emosi.
Dengan gerakan cepat, Ben meraih tubuh langsing Mer dan menggendongnya di pundak. Hal serupa seperti yang pernah ia lakukan dulu di sekolah. Menggendong Merry, meskipun berat badannya yang sekarang sudah jauh berbeda.
Sebenarnya, Mer bukan pecandu alkohol. Dia benci minuman keras. Tapi, dua minggu terakhir ini, tak ada tempat lain untuk membuang semua rasa penatnya selain di bar.
Semenjak Ghavin—seorang artis sinetron yang sedang naik daun, memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Mer. Semenjak itulah Mer menjadi sedikit tidak waras, dan lagi-lagi Ben yang kerepotan mengurusnya.
Selalu seperti itu, setiap kali Mer putus cinta. Ben harus siap-siap menghadapi tingkah Mer, yang lebih merepotkan dari pada mengurus bayi!
“I’ve told you, Ghavin itu cowok brengsek,” ujar Ben sehari setelah hubungan Mer dan Ghavin putus.
“Semua cowok brengsek di mata kamu, Ben.”
Ben menghela napas, lalu menatap Mer lekat. “Lain kali pakai otak kalau pilih cowok. Jangan cuma pakai nafsu dan asal comot aja.”
“Ghavin itu bukan cowok asal comot, Ben. He’s a nice guy. Tampan, populer, kaya raya dan ....”
“Dan maniak seks!” potong Ben geram. “Kamu nggak tau kalau ceweknya ada di mana-mana?!”
“Apa bedanya sama kamu!” balas Mer tak kalah sengit.
“Tapi setidaknya aku nggak pernah nyakitin hati perempuan.”
“Dih! Siapa bilang?”
Ben terdiam.
“Apa kamu lupa? Udah berapa cewek yang nangis-nangis ke aku setelah mereka kamu PHP-in?”
“Aku nggak pernah PHP-in cewek.” Ben membela diri. “Mereka aja yang baper. Sama kayak kamu, gampang baper sama cowok.”
“Shut up! I hate you, Ben!” teriak Mer mulai emosi. “Aku doain, suatu hari nanti kamu bakalan jatuh cinta sama perempuan sampai rasanya mau mati. Baru setelah itu kamu bisa tau, gimana rasanya jadi aku!”
Merryana tak pernah mau mengalah, apalagi kalau lawan bicaranya adalah Ben. Lelaki itu harus berada satu level di bawahnya.
Sesampainya di rumah Merry, pelan dan hati-hati, Ben meletakkan tubuh gadis itu di atas ranjang.
Asisten rumah tangga yang tadi membukakan pintu langsung pergi entah ke mana. Karna Ben sudah terbiasa dengan keluarga Mer sejak kecil, jadi semua orang di rumah besar itu sudah mengenalnya dengan baik.
Mer sudah tertidur beberapa saat setelah masuk ke dalam mobil milik Ben, yang membawanya dari bar ke rumah orang tuanya.
Namun, saat punggung Merry menyentuh permukaan seprei, tubuhnya menggeliat. Gadis itu tiba-tiba duduk dengan mata setengah terbuka. Dan sesuatu yang terjadi setelah itu benar-benar membuat Ben terkejut
Tanpa sadar, bibirnya terbuka saat melihat Merry melepaskan pakaian satu persatu persis di hadapannya.
**