PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Jadi Kaya Gegara Online

Jadi Kaya Gegara Online

Penulis:Arias

Berlangsung

Pengantar
Shihab Anak Muda biasa yang pandai membaca peluang di Masa Depan Shihab menemukan cara cepat kaya yang tidak di sadari banyak orang ketika masih kuliah Ini adalah kisah jatuh bangun Shihab dalam meniti karier sebagai Online Marketer belajar dari satu guru ke guru yang lain hingga menemukan formula yang tepat untuk hasilkan uang dari Internet. Menjadi Pebisnis Online itu bukan hanya sekedar punya website atau bisa buat website habis itu ya udah selesai. Ada banyak hal yang mesti di perhatikan ketika mau punya penghasilan dari Online. Tapi tidak seruwet yang di bayangkan.
Buka▼
Bab

Bab 1 : Awal dari Hidup

Bunyi sekop bergantian memindahkan tanah ke dalam makam ibuku yang baru saja di turunkan ke liang lahat.

Semua saudaraku menangis terseduh seduh meratapi kematian ibuku. Hanya aku saja yang tidak menangis sesenggukan seperti itu.

"Kak, ibu sudah meninggal. Gimana nasib kita selanjutnya" Rengek adek perempuan ku.

"Kakak juga nggak tahu dek gimana nasib kita selanjutnya" Jawab Kakak perempuan tertuaku.

Tapi bukan berarti aku tidak sedih dengan kematian ibuku. Atau sebaliknya, bukan berarti juga aku senang dengan kematian ibuku layaknya seorang penjahat.

Hanya saja, aku sudah terbiasa mandiri. Jadi kepergian ibuku untuk selama lamanya bukan sebuah kendala besar buatku.

Sedangkan saudara saudaraku, mereka sangat terpukul sekali dengan kematian ibuku. Karena semasa ibu hidup, saudara saudaraku sangat bergantung pada ibuku.

Sekarang, Aku resmi jadi anak yatim piatu. Apa yang mau aku lakukan setelah ini? Mau aku bawa kemana hidup ini ?

****

Sebut saja namaku Shihab. Aku karakter utama dalam kisah ini. Ini adalah kisah hidupku di mana aku berjuang untung memperbaiki kondisi keuanganku.

Berkat kejelianku melihat peluang di sekitar dan membaca apa yang terjadi di masa depan, aku jadi mantap dan bergairah menjalani hidup ini.

Setelah kematian Ibuku, aku di ajak Pakde yang merupakan Anggota DPRD dari Kota Surabaya.

Pakde ku adalah Kakaknya Ayahku. Sebut saja Pak de Hasyim.

"Shihab, ayo ikut Pakde ke Kota Surabaya. Pakde yang akan membiayai Kuliahnya di sana. Kamu tak perlu khawatir soal biaya hidup" Begitu yang di tawarkan Pakde kepadaku.

Pak de Hasyim menawarkanku untuk Kuliah di Surabaya. Begitu juga adik laki laki bungsuku di tawarkan untuk Sekolah di SMK tapi di Kota Malang.

"Dio kamu juga ya Ikut juga ya ke Jawa Timur. Kamu tak Sekolahin di SMK di Kota Malang" Ajak Pakde Hasyim kepada Adik Laki Laki bungsuku Dio.

Selanjutnya, aku berunding dengan semua kakak perempuanku. Tanpa debat kusir yang alot, Semua Kakak Perempuanku menyetujui kepergianku dan adik laki lakiku ke Provinsi Jawa Timur.

Ah iya, aku belum memberitahu di awal kalau aku berasal dari Provinsi Aceh. Aku asli Kelahiran Aceh. Dan aku sama sekali belum pernah ke Jawa Timur.

Soal Jawa Timur yang aku tahu hanya dari berita berita saja dan dari apa yang aku pelajari sejak Sekolah Dasar hingga Masuk SMA.

Kenapa aku mau pergi ke Provinsi Jawa Timur ? Itu karena aku ingat sebuah pepatah dari Tanah Minang. Jangan Mencari kemuliaan di tanah kelahiranmu. Merantaulah...

Yah kurang lebih begitu nasehat bijak dari Tanah Minang yang aku ingat. Tapi aku lupa lanjutan dari penggalan Nasehat tersebut.

****

Tidak perlu menunggu 7 hari apalagi 40 hari kematian Ibuku. Aku dan Adikku Dio berangkat bersama Pakde Hasyim Ke Surabaya.

Semua berkas berkas yang di perlukan untuk urusan pindah dan daftar kuliah atau sekolah, sudah di siapkan betul betul. Bisa repot pastinya kalau ternyata ada yang kurang.

Masa aku Terbang kembali ke Aceh hanya karena kurang satu hal? Apalagi Birokrasinya cukup rumit. Kamu pasti paham bukan Birokrasi di negara kita ini ? Tak perlu aku ceritakan panjang lebar soal Birokrasi di negeri tercinta ini.

Sudah pasti kepergianku ke Kota Surabaya Naik Pesawat. Bisa saja Naik Bus atau Naik Kapal Laut. Tapi nyampeknya lebih lama. Naik Bus bisa sampai sekitar 5 Harian. Naik Kapal Laut bisa Semingguan baru nyampek tujuan.

Naik Pesawat hanya memakan waktu sekitar 9 jam atau 12 jam perjalanan. Dan baru kali ini aku Naik Pesawat.

"Oh ini toh yang namanya Bandara Udara tempat berhentinya Pesawat" aku berbicara pada diriku sendiri.

"Wuih, Istimewa ya Naik Pesawat itu. Berasa orang kaya banget. Padahal, Pesawat yang aku naiki yang paling biasa atau lebih di kenal dengan istilah 'Kelas Ekonomi" gumamku dalam hati.

Yang baca tulisan ini pasti lebih sering Naik Pesawat ya ? Atau lebih paham tentang Dunia Aviasi ketimbang aku^^

****

Entahlah, padahal Pakde Hasyim bisa memesan Penerbangan Kelas Bisnis atau Eksekutif. Tapi Pakde lebih memilih Kelas Ekonomi. Kan Pakde Anggota DPRD. Duitnya pasti banyak.

Tapi aku lebih memilih untuk tak memusingkan hal itu. Aku berpasangka baik saja. Barangkali Pakde mau mendidikku supaya tidak terlalu manja dengan memesan Penerbangan Kelas Bisnis atau Eksekutif.

Selama perjalanan di dalam Pesawat, aku dan adekku tak banyak bicara dengan Pakde Hasyim soal bagaimana hidupku di Kota Surabaya nanti.

Mungkin di bicarakan nanti ketika sudah sampai di rumah.

Yang Pakde tahu aku akan Kuliah di Jurusan Komputer. Yah, Jurusan Komputer. Jurusan yang sedang naik daun dan di ramalkan akan jadi Jurusan yang paling di minati dan di cari oleh perusahaan besar.

Kalau adekku Dio, dia akan sekolah di SMK di Kota Malang. Mengambil Jurusan Informatika dan akan tinggal di salah satu Rumah Pakde Hasyim di Malang.

Aku rasa aku tak perlu mencemaskan Adekku Dio. Pikirkan masa depanku saja. Dio cukup di perhatikan sewajarnya saja.

****

Tanpa terasa, aku sudah tiba di Bandara Juanda Surabaya. Tanpa panjang lebar lagi aku dan Dio langsung ke Rumah Pakde Hasyim di salah satu Komplek Perumahan Mewah di Surabaya.

Aku akan tinggal dengan Pakde Hasyim di sini. Setelah meletakkan barang barangku di rumah Pakde Hasyim, lanjut pergi Ke Kota Malang untuk mengantar Dio.

Tapi Pakde Hasyim tidak ikut. Mengingat dia ada janji dengan rekan kerjanya. Jadinya aku dan Dio di antar orang kepercayaan Pakde Hasyim.

Orang ini aku anggap sebagai pengawalnya Pakde Hasyim dan dia bernama Hendro. Aku memanggilnya Mas Hendro.

Usianya sekitar 30 sampai 35 an lah kurang lebih. Aku juga tak mau menanyakan berapa usianya sebenarnya. Takutnya dia marah dan tersinggung.

Selain itu, aku hanya ingin sebatas kenal saja dengan Mas Hendro ini. Entahlah, aku merasa tidak cocok berteman dengan Mas Hendro ini.

Dan Perjalanan Ke Kota Malang pun di Mulai dengan Mas Hendro sendiri yang jadi supirnya.

****

Memulai Hidup di Perantauan

"Mas dari kota mana ? "

"Mas keponanakannya Pak Hasyim ya ? "

"Oh iya namanya Mas siapa ?"

Mas Hendro sepanjang perjalanan sembari menyetir, berusaha akrab denganku dan Dio dengan melontarkan berbagai pertanyaan basa basi khas Orang Indonesia.

Yah, aku tak keberatan sama sekali. Aku juga merasa tidak terganggu dengan pertanyaan Mas Hendro.

Aku jawablah apa adanya tujuanku dan Dio kemari. Tanpa perlu ada yang di sembunyikan. Lagipula, tujuanku kemari adalah untuk sesuatu yang juga dilakukan oleh orang lain.

Kuliah, Sekolah, mengubah nasib. Dan tanpa sadar, aku sudah sampai di Rumah Pakde Hasyim yang ada di Kota Malang. Wah, cukup Megah juga Rumah Pakde Hasyim di Kota Malang ini.

Letaknya dekat dengan Kampus Negeri Terkenal di Kota Malang. Dan Dio akan tinggal di sini. Rumah Pakde Hasyim di Malang di urus oleh seorang pembantu rumah tangga bernama Nini.

Usia Nini kira kira 40 tahunan. Aku dan Dio memanggilnya Bu Nini. Bu Nini sudah bekerja mengurus Rumah Pakde Hasyim sekitar 10 tahunan. Begitulah yang aku tahu.

"Lho, keponakannya Pak Hasyim sudah datang" sambut Bu Nini ketika aku sampai di Malang dengan Ramah.

Tentu aku menyambut kedatangan itu dengan ramah.

"Ini Bu Nini ya ? Saya Shihab dan ini Dio. Kita ponakannya Pak Hasyim. Dio bakal tinggal dan bersekolah di sini" Aku mulai memperkanalkan diri dan menjelaskan apa tujuanku kemari.

"Iya, Pak Hasyim sudah kasik tahu aku" kata Bu Nini dengan logat bicara Khas Jawa Timuran.

"Mari Mas langsung tak anter ke Kamar Tidur" Ajak Bu Nini kepada aku dan Dio.

Setelah di tunjukkan Kamar Tidur untuk Dio tinggal, Bu Nini pamit tinggal ke belakang untuk menyiapkan makanan buat kami semua.

Kamar untuk tempat Dio tinggal cukup nyaman. Sebenarnya Kamar Dio ga luas luas amat. Tapi karena Desainnya Pas, Kamar tidurnya tidak terasa sempit.

Kamar Dio perpaduan warna Hijau Muda dan Putih serta ada jendela untuk melihat keadaan di luar.

Aku merasakan suasana asri di Kamar Dio yang baru ini. Apalagi kalau matahari terbit langsung masuk ke Kamar ini. Aku bisa membayangkan keasrian Kamarnya Si Dio ini.

Lalu ada Furniture yang menempel di dinding serta perabotan yang bisa di lipat. Yang fungsinya bisa untuk meletakkan hiasan atau buat rak buku.

Lemari Pakaian di Kamar Dio menarik karena tertanam pada dinding jadi mewujudkan kesan lega pada kamar ini.

Kasurnya juga menempel di dinding dan bisa di lipat. Serta ada meja panjang yang nempel di dinding serta ada komputer yang bisa di gunakan.

Dan Dio tinggal di Malang dengan Bu Nini, Pak Tukang Kebun dan ada Satpam.

Tapi, menurutku cepat atau lambat Dio harus tinggal di rumahnya sendiri atau minimal ngekos. Bisa kamu bayangkan di rumah yang besar ini hanya ada tukang bersih bersih dan security.

Hal buruk bisa terjadi. Orang bisa Fitnah apapun. Peluang untuk berbuat semaumu bisa terwujud tanpa perlu takut. Paham bukan apa maksudku ? Apalagi itu Kota Malang dan Dio Masuk Sekolah kejuruan.

Seiring berjalannya waktu akan aku pantau Si Dio supaya tidak macam macam. Dan aku juga akan kunjungi Dio untuk mengetahui kondisinya.

Untuk urusan Sekolah Dio, Pakde Hasyim sudah mempercayakan kepada Bu Nini. Yah, Bu Nini yang akan bertindak layaknya orang tua yang mengurus segala urusan masuk sekolah Dio.

Yah, aku tak perlu khawatir. Selain itu, dari Bu Nini aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Begitu pulang Tukang Kebun dan Pak Satpam yang belum aku kenal namanya.

Setelah selesai santap makanan, aku dan Mas Hendro langsung kembali ke Surabaya. Tak ada waktu untuk jalan jalan ataupun touring di Kota Malang.

Lagipula aku juga tak ingin rekreasi. Kalau pun ingin refresing, tentu aku mau berangkat sendiri. Bukan di temani Mas Hendro yang sama sekali aku tak mau akrab dengannya.

Tak perlu berlama lama lagi, aku pamit kepada Bu Nini dan sedikit memberi wejangan kepada Dio.

"Huft ah, Dio baik baik yang kamu di sini. Aku nggak janji bisa jenguk dan sering kemari untuk mengetahui kabarmu. Karena aku juga bakal sibuk dengan kuliahku. Ingat, kita di biayai hidupnya oleh Pakde. Jaga nama baik Pakde" begitu nasehat singkatku kepada Dio.

Setelah itu, aku pergi kembali Ke Kota Surabaya naik mobil dengan Mas Hendro.