PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Lara

Lara

Penulis:Lucienne

Berlangsung

Pengantar
Mila harus menikah dengan seorang CEO tampan yang kaya raya. Dia terpaksa melakukannya karena setelah mengucapkan permintaan tersebut, ayahnya jatuh sakit. Sayangnya, CEO yang dinikahinya bukanlah orang yang bisa menghargainya. Hampir setiap hari dia mendapakan luka batin. Suaminya memang tampan dan bergelimangan harta. Namun, dia sama sekali tida menghargai Mila. Setiap saat dia harus menguatkan hatinya agar bisa bertahan. Sayangnya, suaminya tidak memperdulikannya dan selalu menganggap Mila sebagai pengganggu belaka. Suatu hari, Mila mengetahui jika suaminya selingkuh dengan wanita lain. Apakah Mila akan tetap setia dan mempertahankan rumah tangganya? Atau Mila memutuskan menyerah dengan pernikahan tersebut?
Buka▼
Bab

Mila adalah nama yang diberikan oleh orangtuaku. Usiaku 25 tahun. Aku dipaksa menikah dengan CEO tampan yang ada di perusahaan tempat bekerja Papa. Ya, aku terpaksa melakukannya. Sejujurnya, diri ini tak kuasa menolak permintaan Papa karena setelah permintaan terakhir itu dikatakan, beliau jatuh sakit. Kini Papa masih berada di rumah sakit. Sebagai anak yang berbakti, mau tak mau aku menuruti permintaannya.

Akhirnya, pernikahan sederhana pun dilakukan. Kami hanya mengundang sanak saudara saja dengan jumlah undangan yang sangat terbatas. Sekarang usia pernikahan kami sudah menginjak 3 bulan. Namun, hubungan kami sangat dingin. Kami sangat jarang bertegur sapa. Parahnya, kami harus berpura-pura di depan Papa dan keluarga kami agar semuanya terlihat baik-baik saja.

Sudah beberapa hari dia tidak pulang. Aku sudah menelponnya. Akan tetapi, tidak ada jawaban. Aku menutupi tubuhku yang kurus dengan selimut tipis berwarna cokelat. Udara malam ini sangat dingin. Aku tak tahu ini malam keberapa. Semua terasa sama. Kuputuskan untuk menarik selimut hingga ke leher. Malam ini dia pasti tidak akan pulang lagi. Aku mulai lelah.

Jam dinding telah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Belum ada kabar apapun dari dirinya. Aku harus menguatkan hati. Dia mungkin tidak akan pulang. Saat mencoba mendamaikan hatiku yang resah, terdengar sebuah ketukan.

Apakah dia datang? Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku dan beranjak. Udara malam seolah memelukku karena aku hanya mengenakan lingerie tipis. Sebelum membuka pintu, aku memastikan siapa yang datang lewat lubang intip pintu. Ternyata dia. Segera kubukakan pintu.

“Mas?” panggilku lirih saat mengetahui bahwa orang yang kutunggu selama ini akhirnya pulang juga.

Dia masuk dengan ekspresi dingin. Segera kututup pintu dan menguncinya. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia melempar sepatunya dengan kasar dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Aku hanya bisa menghibur diriku sendiri. Lagi-lagi sapaanku ia abaikan.

“Mas, udah makan?” tanyaku sambil meletakkan sepatunya di rak sepatu.

Dia diam dan bergeming dalam keadaan telentang.

“Mas, ganti baju dulu,” ucapku sambil mengeluarkan piyama miliknya dari lemari baju.

Kuletakkan piyama tersebut di samping tubuhnya. Namun, dia telah memejamkan matanya. Tidak lama kemudian, kudengar suara nafasnya teratur. Dia sudah tidur.

Dengan susah payah kulepaskan pakaiannya kecuali pakaian dalamnya. Tidur dengan setelan jas tentu sangat tidak nyaman. Setelah susah payah mengganti pakaiannya, aku segera meletakkan jas tersebut di keranjang cucian.

Saat ingin merebahkan tubuhnya yang pegal, terdengar nada dering ponselnya. Kebetulan ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur. Kulihat nama wanita di layar tersebut. Ya, dia tidak mencintaiku. Hubungan kami hanya sementara. Tapi aku baru tahu jika dia masih berhubungan dengan wanita itu.

Dari awal aku sudah mengetahuinya. Akan tetapi, aku tidak suka jika dia secara sembunyi-bunyi berhubungan dengan wanita lain. Bila orang tua kami tahu, ini akan menjadi bencana.

***

Pagi ini aku membuat nasi goreng seafood untuk sarapan. Wangi dapur dipenuhi oleh bumbu dapur yang khas. Aku sudah bangun sejak Subuh untuk menyiapkan segalanya. Memang, kuakui dari dulu jika ingin memasak sesuatu, semuanya akan kupersiapkan sebaik mungkin. Bahkan, sebagian teman terdekat mengatakan jika aku adalah orang yang perfeksionis.

Usai nasi goreng tercampur sempurna dalam wajan, kumatikan kompor gas. Selanjutnya, kuambil dua piring lalu meletakannya di meja. Nasi goreng adalah salah satu makanan yang praktis dan tidak membutuhkan waktu lama.

Aku harap dia bisa menyukai nasi goreng buatanku ini. Ah, tidak. Sepertinya itu permintaan yang berlebihan. Dia bersedia menyantap makanan buatanku saja sudah lebih dari cukup.

Saat aku masuk ke kamar, dia sudah tidak ada lagi di kamarnya. Suara kran air dinyalakan terdengar samar-samar. Tampaknya, ia sedang membersihkan diri. Kututup pintu kamar dan segera menyiapkan makanan untuknya. Ketika makan pagi telah siap di meja beserta minumannya, dia keluar dari kamar.

“Mas, makanannya sudah siap,” ucapku sambil mendekatinya.

Dia terdiam lalu memandangku dengan pandangan menusuk. Kupikir dia akan segera berangkat ke kantor dan menolak nasi gorengku. Nyatanya, dia melangkahkan kakinya ke meja makan lalu duduk. Tanpa pikir panjang lagi, aku duduk di sebelahnya.

Dia mengunyah suapan pertama tanpa ekspresi. Wajahnya datar dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku tidak akan memaksanya untuk bicara.

“Lain kali kamu nggak perlu gantiin baju segala. Kita suami istri hanya di atas kertas. Ngerti?” ucapnya sebelum meletakkan sendoknya.

“Iya, Mas,” jawabku patuh.

Kulirik suamiku dengan ekor mataku. Dia masih melahap nasi goreng buatanku. Namun, setelah itu dia meletakkan sendok dan garpunya. Masih ada setengah porsi lagi yang belum disentuh.

“Lho, makanannya nggak dihabisin, Mas?”

“Heh! Kan udah aku bilang kita hanya suami istri di atas kertas. Kamu nggak perlu akting kalo cuma berdua. Kamu nggak perlu ngingetin hal-hal yang biasa dilakukan pasangan beneran!”

“Iya, Mas. Aku ngerti,” ucapke mengalah.

“Kalo sampe kejadian tadi malem terulang, lihat aja akibatnya!”

Aku mencoba bersabar dan mencoba untuk tidak terpancing marah. Dia bangkit dan meraih tasnya. Secara otomatis, aku pun berdiri. Tetiba aku ingat dengan perempuan yang mengubunginya tadi malam.

“Mas, tolong jangan selingkuh di depan orang banyak. Jangan sampai orang lain tahu, apalagi orangtua kita.”

Dia mendekat ke arahku. Matanya melotot setelah mendengar perkataanku. Langkahnya semakin mendekat hingga hanya menyisakan sejengkal. Dia menunjuk kepalaku dengan telunjuknya.

“Eh, kamu kira kamu itu siapa? Hah? Yang namanya selingkuh itu berarti ada pihak utama yang diselingkuhi. Hubungan kita hanya untuk status! Ngerti, nggak si? Kamu itu sarjana tapi kok nggak paham-paham, sih? Kamu jangan ngatur-ngatur!”

Suaranya meninggi disertai tatapan yang sangat menusuk. Sebelum menikah dia tidak sekasar ini perangainya. Memang benar apa yang dikatakan orang. Ketika menikah, wujud asli seseorang akan terlihat lebih jelas.

“Mas, aku ngerti. Tapi please, jangan sampai orang-orang tahu. Kasihan orang tua, Mas.”

“Sudahlah! Mereka nggak akan tahu. Kecuali kamu yang ngomong!” teriaknya dengan nada membentak. Jika dia sudah marah, aku takkan banyak bicara.

“Iya, Mas,” Aku mencoba mengalah. Yang terpenting sudah kuingatkan dari awal. Aku hanyalah istri di atas kertas saja. Dia tidak pernah menganggapku sedikit pun.

Dia menyentuh pipiku lalu mengelusnya. Aku diam membeku. Semoga dia tidak menamparku. Matanya terlihat menyala. Aku tidak berani mengeluarkan suara lagi. Diam adalah pilihan terbaik.

“Kalo kamu berani bilang wanita itu selingkuhan lagi, awas aja!”

Aku diam membisu. Setelah mengatakan itu dia pergi tanpa mengucapkan salam atau kalimat perpisahan seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan pada umumnya.

Apartemen terasa hening setelah kepergiannya. Jujur, dadaku terasa nyeri ketika dia memperlakukanku seperti itu. Dia memperlakukanku seolah aku hanyalah pengganggu di hidupnya. Padahal, dia bisa saja berbicara dengan baik.

Aku tidak pernah memintanya untuk mencintaiku. Tidak, aku tidak senaif itu. Lagipula, aku tidak mencintainya. Namun, aku menghargainya sebagai orang yang berada di sisiku saat ini. Setidaknya, meskipun hubungan ini hanya pura-pura.

Daripada memikirkan tentang dirinya yang kasar dan tidak menghormatiku, aku memutuskan untuk menyingkirkan alat makan miliknya yang ada di meja. Usai melakukannya, kuhabiskan nasi goreng buatanku yang belum habis. Rasanya pas, setidaknya menurut lidahku. Namun, kejadian sikapnya kepadaku membuat makanan ini rasanya hambar.

Aku mencoba menghabiskan nasi goreng di piringku. Saat akan menyantap suapan terakhir, ponselku berbunyi. Kupegang ponselku untuk melihat nama orang yang meneleponku. Aku terbelak saat mengetahuinya.