PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Nama Putriku Nama Mantannya

Nama Putriku Nama Mantannya

Penulis:Meriatih Fadilah

Tamat

Pengantar
Pernikahan yang tidak didasari oleh cinta karena keterpaksaan membuat Sulthan tidak bisa mencintai istrinya. Bayang-bayang sang mantan tunangan yang meninggalkannya secara tiba-tiba membuatnya tidak bisa melupakan cinta pertama. Sehingga suatu hari Sulthan melampiaskan kekesalannya kepada sang istri yang melihatnya sebagai sang mantan, sehingga Sayidah pun dinyatakan hamil. Sulthan tidak menginginkan anak dari Sayidah membuatnya sedikit depresi sehingga saat ingin melahirkan, Sulthan tidak ada disampingnya dan Ida pun dinyatakan koma. Karena masih mencintai mantan tunangannya Sulthan akhirnya memberikan nama putri yang kecil itu Dafina Salsabila, namanya sama dengan nama mantannya. Akankah Sulthan menerima cinta Sayyidah atau kembali ke masa lalunya dengan menerima Fina? Mampukah Sayidah menghilangkan bayang-bayang Fina dalam hati dan pikiran suaminya?
Buka▼
Bab

"Ida, ngapain kamu di dapur, sini sama Ummi!" ajak mertuanya dengan lembut.

"Iya Mi, bentar Ida lagi goreng ikan!" teriaknya dari dapur.

"Sudah-sudah biar Mbok Siti saja yang urus, kamu sebentar lagi mau melahirkan jangan terlalu capek sini duduk sama Ummi, biar kamu rileks dulu, kasihan itu cucu Ummi nanti kecapean juga."

Ida pun segera menuruti permintaan mertuanya untuk duduk santai di ruang tengah tempat keluarga bersantai sejenak dari rutinitas pekerjaan yang padat.

"Gimana nggak kram lagi perutnya?" tanya Umi yang khawatir.

"Alhamdulillah nggak apa-apa Mi!"

"Memang kalau hamil harus banyak gerak, tetapi jangan di forsir juga tenaganya."

"Kakimu bengkak Nak, jangan di gantung duduknya, kamu itu boleh bantu-bantu Mbok Siti cuma jangan terlalu capek, kasihan si dedeknya," ucap mertuanya yang dipanggil Ummi itu dengan lembut.

"Iya Ummi, jangan khawatir Ida baik-baik saja, nanti kalau capek Ida juga berhenti kok Mi," sahut Ida menantunya.

"Kapan kata bidan kamu melahirkan, Sayang?"

"Kalau perkiraan Bidan Lusi dua minggu lagi Mi, cuma katanya lagi bisa maju atau mundur."

"Ya sudah yang penting semua sudah kamu persiapkan, jangan sampai ketinggalan nanti!" ucap Beliau yang deg-degan.

Iya Mi, sudah semua tinggal angkut, tenang saja," jawabnya santai.

"Apa suamimu sudah tahu kalau minggu-minggu mau melahirkan?" tanyanya penasaran.

"Su-sudah Mi, cuma Mas Sulthan belum tau kapan pulangnya," jawab Ida tertunduk lesu.

"Kalian bertengkar lagi?"

"Nggak Mi, cuma Mas Sulthan tidak pernah memberitahukan kapan pulang atau pergi sepertinya dia belum bisa menerima Ida sebagai istri seutuhnya."

"Ummi, bolehkah Ida menanyakan sesuatu?"

"Silakan Sayang mau nanya tentang apa?" ucapnya seraya mengupaskan apel untuk menantunya itu.

"Apakah dulu Mas Sulthan punya kekasih sebelum menikahi Ida?"

"Kalau ada di mana dia sekarang?"

"Apakah ada yang di sembunyikan Mas Sulthan, mengapa dia selalu dingin jika bertemu dengan Ida, dia selalu enggan menatap Ida, sebenarnya ada apa Mi?" tanyanya penasaran.

"Nggak ada sayang cuma perasaanmu saja, tidak ada yang Ummi sembunyikan."

"Kalian hanya perlu waktu, memang sifat Sulthan agak keras tetapi hatinya baik."

"Kamu sudah mengenalnya saat kamu masih berusia lima belas tahun dan kalian sudah tumbuh bersama."

"Mungkin dulu dia masih menganggapmu hanya sebagai adik, dan tiba-tiba kamu menjadi istrinya, Ummi harap kamu harus sabar ya Sayang, menghadapi tingkah laku suamimu itu," jelas mertuanya lembut.

"Ida harap juga seperti itu Mi, aku ingin sekali merasa di cintai bukankah aku ini istrinya dan sebentar lagi aku akan melahirkan buah cinta kami?" batin Ida.

"Ah, itu hanya di pikiranku saja, Mas Sulthan tidak pernah mau menyentuhku kecuali malam itu sehingga aku bisa hamil," gerutu Ida.

"Oh ya Nak, ngomong-ngomong kalian sudah mempersiapkan nama untuk calon bayimu?" tanya Ummi penasaran.

"Belum Mi, biar mas Sulthan saja yang memberi namanya kan dia papahnya," jawab Ida semangat.

"Ya sudah terserah kamu saja!"

Begitulah mertua Ida yang sangat pengertian. Tinggal dengan beliau tidak membuatnya seperti pembantu.

Beliau sangat menyayangi Ida seperti anak kandung sendiri.

Sayyidah Latifah seorang gadis berusia 25 tahun yang dinikahi oleh seorang pengusaha muda yang sukses bernama Sulthan Yazid Zidan.

Sayyidah Latifah gadis lugu dan yatim piatu yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya saat berumur 15 tahun.

Kecelakaan itu sekaligus merenggut kematian ayahnya Sulthan bersamaan dengan kedua orang tuanya Ida sebutan nama panggilannya.

Tiba malam hari sekitar pukul satu malam, perutnya mulai mengalami kontraksi hebat.

Ida tak kuasa menahan sakit pada perutnya.

Ida mencoba keluar dengan jalan tertatih-tatih, kakinya seolah tak mau bergerak sangat berat bahkan mulut seperti ada yang menahannya berbicara. Tubuhnya sudah memandikan keringat dan wajah Ida semakin pucat.

Untungnya Mbok Siti masih di dapur, dan mendengarkan suara rintihan Ida, yang tak kuasa menahan sakit di perutnya itu.

"To--tolong!"

"Tolong Mbok, Ummi sakit !" teriaknya seraya memegang perutnya.

Mendengar suara Ida yang merintih kesakitan, dengan sigap Mbok Ida mendatangi kamar Ida yang ada di kamar atas.

Betapa terkejutnya saat Mbok Siti telah sampai di atas, Ida yang masih memegang perutnya sudah tergeletak tak berdaya bersamaan dengan keluar cairan bening dan darah segar dari arah area kewanitaannya.

Mbok Siti lalu berlari ke kamar majikannya Bu Syifa untuk membangunkan beliau.

"Bu! Bu! Tok! Tok!"

"Ada apa Mbok bangunin saya jam segini?"

"Maaf Bu, itu Neng Ida sepertinya mau melahirkan kakinya sudah mengeluarkan banyak darah, ayo Bu kasihan Neng Ida, badannya udah lemas banget Bu!" jelas Mbok Siti yang terlihat panik.

"Ayok, Mbok bangunin Pak Tejo suruh dia siapin mobil kita berangkat ke rumah sakit!" perintahnya.

"Baik Bu!"

"Bu Syifa langsung menemui Ida yang sudah duduk lemas di depan kamarnya dengan banyak darah yang keluar."

Panik dan ketakutan bercampur bahagia karena sebentar lagi Ida mau melahirkan cucu pewaris dan penerus bagi keluarganya.

Bagi beliau tidak peduli laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat.

Setelah mobil siap dengan cepat Mbok Siti dan Bu Syifa membopong tubuh Ida yang sudah lemas itu.

Ningsing anaknya Mbok Siti dengan cepat mengambil tas besar yang memang sudah dipersiapkan oleh majikannya itu untuk keperluan Ida di rumah sakit.

"Tenang Ida, kita ke rumah sakit ya Sayang, istigfar Nak, banyakin baca-baca surat-surat pendek dalam hati," ucap mertuanya memberikan semangat kepada Ida.

Ida hanya tersenyum dan sesekali merintih kesakitan karena pergerakan bayinya yang sangat aktif ditambah dia banyak mengeluarkan darah.

"Cepat toh Tejo, cucuku ini mau lahir ngebut sedikit bawa mobilnya!" titah Bu Syifa kepada supirnya itu suami dari Mbok Siti.

"Iya Bu, ini sudah cepat jangan panik dong Bu nanti saya ikutan panik juga," ucap Pak Tejo yang mengemudikan mobil dengan sedikit laju.

"Bu Syifa sudah kasih tahu Den Sulthan atau belum?" tanya Mbok Siti mengingatkan.

"Astgfirullohhallazim, saya lupa Mbok, sangking paniknya lihat Ida sampai lupa telepon Sulthan, tolong Mbok HP saya di tas situ," jawab Bu Syifa.

Mbok Siti mengambilkan ponsel milik Bu Syifa dan memintanya untuk mencari nama Sulthan lalu menghubunginya.

"Gimana Mbok, tersambung?" tanya Bu Syifa bingung.

"Nyambung Bu, tetapi nggak di angkat!"

"Coba terus kalau perlu sampai di angkat dan kirim pesan juga kalau kita menuju rumah sakit, cepat Mbok!" perintahnya lagi.

"Iya Bu!"

Entah yang ke sekian kalinya Mbok Siti menelepon dan mengirim pesan kepada Sulthan namun tak ada satu pun yang di tanggapi Sulthan.

Rasa marah, kesal telah memuncak di ubun-ubun kepala Bu Syifa, ingin rasanya menjewer telinga Sulthan jika orangnya sudah ada di hadapannya.

Namun sayang orang yang dihubungi tetap saja tidak menghiraukan panggilan telepon itu.

"Ini anak ke mana sih, susah amat dihubungi, anaknya mau lahir dia malah nggak bisa," gerutu Ummi Syifa.

Tak lama kemudian mobil itu sudah memasuki halaman rumah sakit dan segera perawat itu mengambil kereta tidur dorong untuk Ida yang sudah terkulai lemas.

"Sayang, kamu harus kuat tunjukkan kalau kamu tidak lemah, Ummi selalu mendoakanmu yang terbaik berjuanglah Nak?"

Ida hanya tersenyum dan memegang erat tangan Bu Syifa sampai di ruang bersalin.

Dan betapa terkejutnya Bu Syifa dan Mbok Siti melihat Sulthan sudah berada di rumah sakit itu dengan tersenyum yang sulit diartikan.

"Loh, kamu ada di sini Sayang, mengapa telepon Umi kamu nggak angkat!" tanya Uminya kesal.

"Maaf Um, Sulthan ada meeting mendadak di sana, sebenarnya tadi siang Sulthan sudah balik dari Semarang, cuma belum sempat pulang ke rumah," jawabnya santai.

Sulthan hanya melihat sekilas Ida lalu dia membuang muka kembali ke samping.

Hati Ida semakin sakit saat melihat Sulthan tak mau melihatnya sebagai istri. Hanya dengan menangislah pikirannya akan tenang kembali.

"Tan ... kamu sudah siapkan nama untuk bayimu?"

"Sudah Umi, tenang saja Sulthan sudah menyiapkan nama yang cantik untuk bayiku jika dia perempuan."

"Sulthan ingin sekali mempunyai bayi perempuan yang cantik dan mukanya mirip dengan Sulthan," jawabnya dengan tersenyum sinis.