PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Suami Pengganti

Suami Pengganti

Penulis:ROSNI JAYANTI

Berlangsung

Pengantar
Aku Nela. Tiga minggu menjelang hari pernikahan tunanganku meninggal dunia. Padahal aku sedang mengandung anaknya. Demi menutupi aib, seorang kerabat Mas Beni--tunanganku-- bersedia menikahiku. Meski tak mengenalnya, aku menerima pernikahan itu. Menikah dengan orang yang tak kukenal. Tak pernah terbayang, bahkan dalam mimpi pun tidak.
Buka▼
Bab

"Hati-hati di jalan, Mas."

​Aku berdiri di teras melambaikan tangan pada tunanganku. Pria berwajah oriental itu namanya Beni. Ia tersenyum manis, lalu memakai helm.

​"Sampai ketemu tiga minggu lagi, Nela Sayang."

Mas Beni lalu menyalakan mesin motor. Sebelum menutup kaca helm, ia memberi sebuah ciuman jarak jauh untukku. Aku tersipu karena tingkahnya. Pria bermata sipit itu lalu melaju diiringi sinar jingga matahari senja.

Aku dan Mas Beni akan menikah tiga minggu lagi. Mulai besok kami sudah dipingit, tidak boleh ketemuan sampai waktu akad tiba.

"Assalamualaikum," kataku sambil memutar knop pintu.

Tak ada jawaban dari dalam rumah. Aku melangkahkan kaki menuju kamarku. Pintu kamar terbuka. Saat hendak masuk, kudapati Ibu sedang duduk di tepi ranjang.

Posisi Ibu yang membelakangiku membuat bahunya yang bergetar naik turun terlihat dengan sangat jelas. Ibu sedang menangis. Lantas aku menghampiri wanita paruh baya itu.

"Ibu, ada apa?" tanyaku.

Ibu mengangkat pandangannya ke arahku. Ia lalu berdiri.

"Ini apa, Nduk? Tolong jelaskan sama Ibu!"

Kulihat tangan kanan Ibu mengangkat sesuatu. Testpack. Benda bergaris dua itu rasanya sudah kubuang beberapa waktu lalu. Entah bagaimana Ibu bisa menemukannya.

"Jawab, Nduk!" Wanita yang melahirkanku itu kembali terduduk di tepi ranjang sambil menangis tersedu-sedu.

"Maaf, Bu. Nela rasa enggak ada lagi yang harus dijelasin. Ibu sudah tau."

Bukannya tak merasa berdosa, hanya saja semua itu sudah terjadi. Dijelaskan atau tidak, calon bayi sudah terlanjur ada dalam rahimku. Aku memang salah karena menyembunyikan kehamilan, tapi sikap Ibu sungguh berlebihan. Toh, aku dan Mas Beni akan segera menikah. Undangan juga sudah disebar. Tak perlu menangis segala. Lain halnya jika Mas Beni lari dari tanggung jawab. Dasar, Ibu. Pemikirannya kolot sekali.

***

Pukul tujuh malam, seperti biasa Ayah, Ibu dan aku selalu makan bersama. Namun, kali ini suasananya cukup panas karena keduanya masih saja membahas perihal kehamilanku.

"Sudahlah, Bu, Yah. Kenapa terlalu dipermasalahkan? Kami sebentar lagi akan menikah, bukan?" Aku berdiri menggebrak meja.

"Setidaknya kamu memberitahu Beni dan keluarganya, jangan diam begini." Ayah memarahiku.

"Bikin malu saja."

"Mas Beni tau. Kami sepakat untuk menyembunyikan hal ini, agar tidak dianggap mencoreng nama baik keluarga.

Lihat, Ayah saja langsung bilang aku bikin malu begitu tau aku hamil." Aku lalu meninggalkan keduanya, membanting pintu kamar dan menghempaskan tubuh di pulau kapuk.

Aku kesal dengan sikap orang tuaku. Padahal kami sengaja menyembunyikan hal ini agar tak ada berita miring yang tersebar. Demi menjaga nama baik keluarga juga.

Ponsel di atas nakas yang ada di sebelah ranjang kuambil. Menghidupkan layar benda pipih itu dan memanggil nomor tunanganku. Ingin sekali bercerita pada Mas Beni tentang sikap Ayah dan Ibu yang bikin kesal.

Berulang kali menghubungi, tidak ada jawaban. Mungkin ia sedang di jalan. Tadi kekasihku itu bilang akan ke luar kota malam ini. Urusan pekerjaan katanya.

Aku membuka sebuah aplikasi pemutar video berlogo persegi panjang merah dengan segitiga di tengah. Tujuanku untuk menonton video lucu, mencari hiburan agar tidak badmood. Baru beberapa detik menonton, aplikasi itu kembali kututup. Penasaran, kucoba menghubungi Mas Beni sekali lagi.

"Halo, Mas," kataku setelah akhirnya panggilanku dijawab.

"Selamat malam." Terdengar suara yang asing di ujung sana.

Sempat berpikir kalau aku salah menekan nomor. Lalu kupastikan bahwa nama yang tertera di layar ponsel adalah nama tunanganku. Bukan salah sambung.

"Maaf. Kami dari kepolisian, menyampaikan informasi bahwa pemilik nomor ini mengalami kecelakaan tunggal. Apa ini keluarga yang bersangkutan?"

Hening. Aku tak bisa berkata walau satu kata pun.

"Halo?"

"Halo?"

Berulang kali kudengar suara di seberang sana memastikan aku mendengarnya. Namun, aku tak bisa bicara. Suaraku tersekat di tenggorokan.

***

Jantungku berdebar hebat saat menginjakkan kaki di rumah sakit. Bu Dina dan Pak Syaiful telah lebih dulu tiba. Kedua orang tua Mas Beni itu berhamburan menyambut kedatanganku. Tangis kami lalu pecah bersamaan.

Seorang petugas menuntun kami menuju suatu ruangan. Aku, Ayah, Ibu, dan orang tua Mas Beni mengikutinya dari belakang. Angin dingin membelai kulitku sepanjang menyusuri lorong demi lorong.

"Di dalam sini," kata petugas yang mengantar.

Ia masuk ke dalam sebuah bangsal; kamar mayat. Ditunjuknya gundukan berselimut kain biru khas rumah sakit, katanya itu Mas Beni.

Saat calon ibu mertuaku menyingkap kain di atas gundukan itu, terlihatlah wajah Mas Beni. Ada darah yang membeku dari hidung dan sudut bibirnya. Melihat itu, tubuhku tiba-tiba lemas, jantung berdetak tak beraturan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku, hitam pun menyelimuti semua pandangan. Aku tak sadarkan diri.

***

Bau khas minyak kayu putih menusuk hidungku. Perlahan aku membuka mata, mengerjap berkali-kali karena cahaya lampu yang menyilaukan.

"Ibu ...," kataku saat melihat wajah Ibu.

Kulihat matanya yang merah dan bengkak. Tangan kananku digenggamnya erat. Sesekali Ibu menyeka sudut matanya meneteskan air.

"Bu, Nela mau ikut Mas Beni saja." Aku bicara dengan suara serak.

Bukan jawaban yang kudapat, tangis Ibu justru semakin menjadi. Dipeluknya tubuh ini kuat-kuat. Dalam pelukan Ibu, aku pun menangis sejadinya.

Paginya kupaksakan tubuh yang lemah ini menuju kediaman Mas Beni. Aku mengikuti prosesi pemakaman dengan air mata yang tak henti mengalir. Jasad Mas Beni dimakamkan di pemakaman keluarga, tak jauh dari rumahnya.

Hati ini seakan diiris-iris menyaksikan jasad orang yang kucinta dimasukkan ke dalam liang. Saat tanah mulai menutup liang itu, tubuhku seakan hilang daya. Kaki ini tak kuasa berdiri, perlahan semuanya memudar dari pandangan. Aku pingsan. Lagi.

Sayup kudengar beberapa orang memanggil namaku. Tubuhku diguncang-guncang. Perlahan, mata ini menangkap apa yang ada di sekitar. Tampak beberapa orang mengelilingiku. Ada yang memijat kaki, tangan, juga bahuku.

"Alhamdulillah, Nduk. Akhirnya kamu sadar, Nak." Bu Dina lalu menyodorkan segelas air putih.

"Minum dulu," tambah beliau.

Rupanya aku kini berada di rumah orang tua Mas Beni. Keadaan sangat ramai oleh pelayat. Beberapa di antaranya adalah kerabat dan tetangga yang kukenal.

Tak terasa air mata kembali keluar dari netraku. Meski tak sehisteris sebelumnya, tapi tangisku tak dapat dibendung. Mungkin aku terlihat sangat memprihatinkan, hingga semua orang berusaha menenangkanku.

"Sabar, Nduk. Ini takdir dari Yang Kuasa."

"Jangan berlarut-larut, Allah pasti akan memberi pengganti yang lebih baik."

"Jodoh dan maut itu di tangan Tuhan."

Mendengar nasehat demi nasehat dari mereka yang peduli, air mataku mengalir semakin deras. Mereka tak tahu, kekhawatiranku bukan semata soal jodoh atau gagal kawin. Tangis yang tak bisa reda ini adalah soal janin yang kini hidup di rahimku.