PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Forced To Marry The Ceo

Forced To Marry The Ceo

Penulis:Girl_Rain

Berlangsung

Pengantar
Pernikahan seharusnya menjadi hari yang paling bahagia bagi setiap wanita. Tapi itu sama sekali tidak berlaku bagi seorang Anandi Laura. Dirinya dipaksa menikah sebagai tanggung jawab karena telah membuat mobil mewah tergores. Karena itulah, mau tidak mau dirinya harus melakukan perjanjian hitam di atas putih sesuai permintaan dan harus mendalami peran sebagai istri selama yang tuan Alveran Anderson inginkan. Yuk temani kisah mereka:)
Buka▼
Bab

Sesuai dengan langkah kakinya yang cepat, tampak sekali bahwa gadis ini sedang terburu-buru. Dia telah rapi dengan baju kerjanya dan tas selempang yang di Sampit di bahunya.

Di hampiri nya sepeda yang berada di bawah pohon dan mengayuhnya keluar dari pemukiman. Hawa dingin yang menyelimuti tak menyurutkan semangatnya untuk sampai di tempat kerjanya.

Mengemudikan sepedanya di trotoar dengan senandung kecil dari bibirnya. Anindi Laura, gadis itu menoleh ke belakang saat melihat kucing lewat.

Dug' ban sepeda tergelincir batu membuatnya hilang kendali. "Aaa...!" Bruk. Menabrak mobil yang sedang terparkir di pinggir jalan.

"Auw..." Laura meringis merasakan sakit di siku dan lututnya. Tapi bukan itu yang di pikirkan nya, melainkan mobil mewah yang telah di tabrak nya.

"Astaga!" pekiknya berdiri. Seulas garis di dekat lampu mobil itu berhasil membuat tubuhnya lemas. Tangannya terangkat mengelus lecet itu dengan nanar.

"Apa yang anda lakukan, Nona?"

Suara itu bagaikan malaikat maut baginya. Laura tidak berani menoleh, namun tepukan di bahunya terpaksa ia melakukannya.

Laura menghadap ke dua orang laki-laki yang satu berwajah datar, satunya lagi tersenyum ramah.

"Maafkan saya Tuan. Saya tidak sengaja menabrak mobil ini dan membuat goresan kecil di sana." Jarinya ia remat dengan kepala di tundukkan.

Laki-laki berwajah ramah, terkejut mendengarnya. Segera ia memeriksanya dan benar ada seuntai garis di mobil tuannya.

"Kau sengaja melakukannya, 'kan?" Nada rendah serta berat itu, membuat Laura menatap laki-laki berwajah datar itu.

'Kayak pernah liat' batinnya merasa familiar. "Apa maksud ucapan Anda?"

"Kau melakukannya agar bisa bertemu pria kaya. Lalu, meminta belas kasihannya dan menggodanya demi uang."

Mendengarnya, Laura jadi emosi. "Ada mengatai saya wanita murahan yang rela melakukan apapun demi uang! Memangnya Anda siapa sampai berhak berpikir seperti itu?"

"Gak usah pura-pura. Katakan, berapa yang Kau inginkan?" Menatap lawan bicaranya tajam. Dirinya tidak suka basa-basi.

Gigi Laura bergelutuk dengan muka memerah menahan amarah. Jika tidak memikirkan resiko yang akan terjadi kepadanya, Laura tidak akan segan-segan menampar wajah arrogant yang sedang tersenyum sinis ke arahnya.

Melihat situasi yang semakin panas. Ricky mencoba meredakan. "Tuan, tidak perlu seperti ini. Dan Nona, tenangkan diri Anda."

Tidak mengidahkan ucapan itu, Laura lebih memilih melihat jam tangannya. "Apa...!" Dirinya sudah terlambat bekerja sekarang.

Tanpa memperdulikan tatapan bingung dari kedua laki-laki itu. Laura melongos pergi, dirinya tidak peduli dengan sepedanya yang masih di tempat. Namun baru beberapa langkah, Laura sempat menoleh ke belakang. "Akan Saya selesaikan urusan ini lain kali. Huh!" Berbalik dengan mengibas rambutnya angkuh.

Tuan Alveran Anderson mengikuti setiap pergerakan gadis tadi dengan tatapan sinis. Ada orang yang berani menantangnya? Huh, sungguh menarik.

"Apa yang harus Saya lakukan Tuan? Mobilnya tergores. Perlukah Saya beli yang baru?" Ricky memberi saran.

"Antarkan Aku ke Meshion, setelah itu lakukan saja." Alve memasuki mobil yang telah di bukakan pintu oleh sekretarisnya.

"Baik Tuan." Ricky mengangkat sepeda itu dan membuangnya begitu saja. Dirinya memutari mobil. Lalu, melajukannya dengan kecepatan sedang.

Laura mencuci piring dengan mulut berkomat Kamit tidak jelas. Untung saja bosnya baik hati, kalau tidak udah pasti dirinya di pecat.

Laura bekerja sebagai karyawan di salah satu cafe yang cukup terkenal. Lahir dari keluarga sederhana membuatnya jadi mandiri. Apalagi setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya membuat dirinya jadi yatim-piatu.

"Kau kenapa sih, Ra? Dari tadi manyun terus. Kau juga baru kali ini datang terlambat." Erina, sesama karyawan sekaligus sahabatnya dari kecil. Datang dengan membawa setumpuk piring dan meletakkannya di wastafel dekat tempat Laura berdiri. Wajahnya ia hadapkan ke arah sahabatnya.

Laura menarik napas. "Kau tau gak, Rin? Tadi Aku gak sengaja nabrak mobil karena liat kucing lewat. Eh, si pemilik mobil malah nuduh Aku sengaja nabrak mobilnya buat deketin dia. Ya Aku marah-marah lah. Dia kira Aku cewek penggoda gitu." Kalimat keluar dengan sekali hembusan. Laura mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di hatinya. Bahkan saking kesalnya, piring yang sudah bersih bertambah kinclong dengan usapan tangannya.

Erina geleng geleng kepala mendengarnya. Jika sudah bersangkutan dengan kucing, maka Laura akan lupa segalanya. "Terus, mobilnya gak kenapa-kenapa 'kan?" tanyanya santai.

Laura melongo. "Ya ampun Erina Salsabila...! Bukannya khawatir padaku, Kau malah nanyain keadaan mobilnya. Nanyak kek 'Kau gak papa 'kan sahabatku yang cantik yang cantiknya melebihi Luna Maya?' lah ini enggak!" geram Laura gemas.

Erina menghendikkan bahunya. "Kan Kau udah pidato panjang banget, berarti baik-baik aja dong."

Laura mengerutkan bibirnya semakin cemberut. Bukannya menghibur, sahabatnya malah menambah kekesalannya.

"Terus, berapa ganti ruginya?" Laura membalas tatapan bingung. "Jangan bilang Kau lupa lagi nanyain nya?!" pekik Erina dengan suara nyaring.

Laura nyengir dan menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Aku 'kan lagi marah-marah, jadi gak ingat deh soal itu."

Siapa sih yang bakal ingat kesalahannya kalau lagi marah.

"Good. Cocok banget deh jadi kuntilanak. Datang tak di undang, pulang tak di antar." Erina mengacungi kedua jempol.