PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Cinta Seujung Kuku

Cinta Seujung Kuku

Penulis:Isti Noor

Tamat

Pengantar
“Saya ingin menikah,” celetuk Sania kala Ranu menanyakan mimpinya tiga tahun yang akan datang. Hal itu tentu saja membuat Ranu yang tak lain adalah guru Sania tercengang. Namun, jangan pernah sekali-kali menertawakan mimpi, karena mimpi Sania yang tak biasa itu berhasil diwujudkannya tepat waktu. Di umurnya yang masih belia, Sania menikah dengan Hamdan, seorang pekerja bangunan yang sebenarnya adalah pendatang dari kampung. Sementara itu, sebelum menikah dengan Sania, Hamdan sempat menggantungkan cinta seorang perempuan kampung bernama Kinah. Rupanya, benih-benih cinta Hamdan pada Kinah masih saja tinggal. Sayangnya, Kinah telah memilih menikah dengan Ranu meski dengan terpaksa. Lantas, apakah Sania dan Ranu mampu mempertahankan rumah tangga mereka masing-masing meskipun cinta Hamdan dan Kinah semakin besar?
Buka▼
Bab

Perempuan tak lain dan tak bukan adalah makhluk yang membenci perpisahan, membenci tanpa kabar, pun juga membenci kerinduan akan jarak yang tak tertangguhkan. Kiranya begitulah yang dirasakan Kinah hari itu. Hatinya terombang-ambing oleh perkataan Hamdan yang secara tiba-tiba menghantui pikirannya, membuat semangatnya untuk bertandang ke warung kopi menguap tanpa sisa. Entahlah, mungkin sekarang bapaknya tengah kerepotan melayani pengunjung warung yang datang silih berganti.

Padahal, tak banyak kalimat yang Hamdan ucapkan saat menemui Kinah. Tadi, ketika Kinah tengah sibuk menjerang air, Hamdan datang dengan tergopoh-gopoh tanpa salam, tanpa permisi, dan tentu saja tanpa mengindahkan predikatnya sebagai seorang tamu. Tingkah Hamdan yang tak biasa itu membuat Kinah heran.

"Kinah, apa kau yakin jika pagi ini kau akan tetap berangkat ke warung kopi?” tanya Hamdan dengan memosisikan diri berdiri tepat di depan Kinah, lalu menatap mata Kinah dalam.

“Tentu saja, Bang, bapakku sudah menunggu di sana,” jawab Kinah mencoba untuk tetap tenang.

Hamdan mengembuskan napas sejenak, dadanya bergemuruh, lidahnya kelu. Dia sungguh yakin, kalimat yang akan diucapkannya itu pasti akan membuat Kinah kecewa.

“Hari ini, aku berangkat ke kota, Pak Edi yang menyuruhku. Sudah tiga tahun aku bekerja dengannya, mengeruk pasir, mencetak batako, mengaduk semen, membangun gedung, itulah pekerjaanku. Kata Pak Edi, aku adalah pekerjanya yang paling setia. Tak kurang dari lima orang kawanku yang dulu melamar kerja bersamaku, sekarang mereka sudah lebih dulu memilih merantau ke kota, lalu bekerja sebagai tukang kebun orang-orang kaya. Namun, aku tetap tak berpaling dari pekerjaanku sebagai kuli. Sekarang saatnya Pak Edi membayar kesetiaanku selama ini. Di kota nanti, pekerjaanku bukan lagi sebagai kuli. Persis seperti Pak Edi, aku adalah atasan dari para kuli.” Hamdan mengakhiri bicaranya.

Entah mengapa, setelah mendengar kalimat itu, Kinah mendadak tak bergairah untuk menyelesaikan pekerjaannya menjerang air. Seharusnya, kabar yang disampaikan Hamdan itu adalah kabar bahagia. Jika Hamdan naik pangkat, lalu naik gaji, pasti rencana mereka untuk menikah akan segera terlaksana. Namun, agaknya Kinah perlu berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Lebih tepatnya, Kinah perlu mendengarkan omongan orang lain. Pak Edi, juragan tanah itu, biar dia lelaki mapan, tapi tetap saja kisah percintaannya tak sebaik penghasilannya. Pak Edi bukanlah orang kampung asli. Dia adalah pendatang yang kemudian menjadi mandor. Sebelum keberangkatannya menuju kampung itu, Pak Edi pernah menjanjikan pernikahan pada seorang gadis. Namun, janjinya itu hilang ditelan waktu. Pak Edi lebih memilih menikahi gadis kampung karena dia tak ingin pulang ke kota. Oh, betapa malang nasib gadis yang pernah diberi janji oleh Pak Edi itu.

Dan, teringat akan kisah itu selalu membuat Kinah gelisah. Sebenarnya, bukan Hamdan yang setia pada pekerjaan kulinya, melainkan Kinah yang telah melarangnya untuk merantau ke kota sebagaimana kawan-kawannya yang lain. Hal itu Kinah lakukan demi menjaga cinta Hamdan padanya. Dia takut jika Hamdan akan jatuh hati pada perempuan kota yang jauh lebih cantik darinya.

Dulu, Kinah mempunyai cukup alasan untuk melarang Hamdan pergi. Pertama, karena seorang tukang kebun tak lebih tinggi pangkatnya dari kaum kuli, pun juga tak lebih rendah. Di mata perempuan, lelaki dengan pekerjaan semacam itu selalu dianggap sama. Alasan kedua, karena waktu itu ibu Hamdan masih hidup lagi sakit-sakitan, tak mungkin jika Hamdan meninggalnya ibunya di rumah seorang diri. Namun, kini alasan itu tampak tak berarti lagi. Menjadi mandor tentu saja membuat Hamdan merasa lebih tinggi pangkatnya ketimbang kawan-kawannya yang hingga sekarang masih menekuni pekerjaan tukang kebun. Pun juga ibu Hamdan telah meninggal dua tahun lalu.

Saat ini, tepat di depan Kinah, Hamdan masih menanti sebuah jawaban. Tentu saja jawaban yang diharapkan adalah agar Kinah mengizinkannya pergi merantau, mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi melangsungkan pernikahan mereka.

“Maafkan aku, Bang. Biar sekarang aku tak mempunyai alasan apa pun untuk menahanmu pergi, tapi aku tetap tak mengizinkanmu lepas begitu saja. Di kota sana, aku bahkan tak tahu apa yang hendak kau hadapi, siapa saja yang hendak kau temui, tempat mana saja yang akan mempersilakanmu memijakkan kaki. Aku sungguh tak tahu. Sangat mungkin bagimu untuk bertemu perempuan lain lalu melupakanku begitu saja. Aku tak ingin itu terjadi,” terang Kinah hingga membuat air muka Hamdan berubah.

Hamdan menatap Kinah lekat-lekat, matanya menangkap bulir air yang semakin deras berjatuhan membasahi pipi Kinah. Benar saja, kabar yang keluar dari mulutnya tadi telah membuat Kinah kecewa. Masih terpatri dalam ingatan Hamdan akan janjinya pada ibunya dulu. Pertama, dia berjanji jika dia tak akan pernah membuat seorang pun perempuan menangis karena kecewa. Kedua, Hamdan berjanji jika dia tak akan pernah membiarkan seorang perempuan menanti dengan harapan yang tak pasti. Dan sekarang, dia telah mengkhianati janji pertamanya. Maka, seharusnya dia tak lagi mengkhianati janjinya yang kedua atau dia benar-benar akan menjadi lelaki pecundang.

Satu menit berlalu, Hamdan dan Kinah masih sibuk dalam lamunannya masing-masing. Hening dan nyaris tanpa suara. Pikiran Hamdan berkecamuk, batinnya bertengkar hebat, lalu dalam hitungan detik, terciptalah sebuah keputusan yang membuat Kinah benar-benar terluka.

“Kinah, maafkan aku. Sudah saatnya aku menentukan jalan hidupku sendiri. Siang nanti, aku bertolak ke kota, tetap pada pendirianku, tetap pada kesetiaanku pada Pak Edi. Satu hal yang harus kau ingat, Kinah, aku tak akan pernah menggantikan posisimu oleh siapa pun. Sesampainya aku di kota nanti, kau tetap menjadi orang pertama yang kuhubungi. Aku pamit,” ujar Hamdan sambil sesekali menelan ludah, entah mengapa bicara menjadi sesuatu yang sulit baginya saat itu.

Tangis Kinah semakin deras, tapi tetap tak meluluhkan tekad Hamdan untuk merantau. Masih dalam posisi berdiri tegak, Hamdan menanti jawaban Kinah, apa pun yang menjadi keputusan Kinah saat itu harus diterimanya lapang dada.

“Pergi, Bang! Pergilah!” lirih Kinah hampir tak terdengar tapi masih sempat menelisik masuk ke telinga Hamdan.

Dan, saat itu pula, Hamdan dengan langkah bergetar pergi meninggalkan rumah kecil itu. Tinggallah Kinah bersama dengan tangisannya yang belum juga reda. Kesepian semakin mencekamnya, dingin mulai menjalar dari kaki hingga ke ubun-ubunnya. Kinah memeluk lutut, duduk di pojok dapur seorang diri. Hingga saat ini, dirinya masih malas untuk beranjak meski sekadar merampungkan pekerjaan menjerang airnya. Persetan dengan pengunjung warung kopinya yang pasti telah membludak. Kinah hanya ingin menangis, hingga air matanya kering tiada sisa.

Hari itu, lika-liku perjalanan cinta Hamdan dan Kinah dimulai. Jika dulu hubungan mereka hanya terusik oleh perdebatan seputar menonton layar tancap atau pergi ke pasar malam, maka mulai hari itu, masalah mereka lain lagi. Tentu saja keputusan Kinah melepas kepergian Hamdan ke kota akan menjadi keputusan yang paling dia sesali seumur hidupnya.