PopNovel

Baca Buku di PopNovel

AWAN KELABU NADIA

AWAN KELABU NADIA

Penulis:Andini DN

Berlangsung

Pengantar
Kegetiran sudah mulai dirasakan seorang gadis muda berusia delapan belas tahun bernama Nadia Namira. Mengecap manisnya cinta membuat seorang makhluk mungil nan cantik bagai bidadari lahir ke dunia. Namun kebahagiaan Nadi hanya sekejap. Tak lama Ia menyandang status baru sebagai istri dan ibu, suaminya yang juga masih seumuran dengan Nadia tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Nadia mencoba untuk memikul sendiri tanggung jawabnya sebagai orang tua gadis kecilnya. Berbagai macam cobaan Ia lalui asal Ia bisa menghidupi anak semata wayangnya. Bagaimana kisah Nadia selanjutnya? Cobaan apa saja yang Nadia lalui? Ataukah Ia akan menjadi single-parent?
Buka▼
Bab

“Mau makan apa Nadia sayang?”, tanya Aldo kepadaku.

“Emang kamu ada uangnya?” tanyaku mengejek.

“Heleh kamu ini hobi banget ngejek aku.” Ujarnya sambil mencubit pipiku.

Aku adalah seorang pelajar kelas tiga SMA negeri di Jakarta. Namaku adalah Nadia Namira. Dan Aldo adalah pacarku sejak kami duduk di bangku kelas dua SMA. Kami bertemu saat sama-sama memilih jurusan IPA, sehingga kami menjadi teman satu kelas dan kemudian mulai dekat sejak saat itu hingga memutuskan untuk berpacaran.

Sore itu, hari Minggu. Biasanya aku dan Aldo menghabiskan waktu untuk keluar bersama. Kami sering jalan berduaan, hanya sekedar naik motor untuk berkeliling atau jika ada uang saku lebih kami biasanya makan diluar. Maklum, kami bukan anak orang kaya yang bisa semaunya minta ini itu dari orang tua. Dengan keterbatasan yang kami miliki, kami tetap bahagia.

Setiap hari aku selalu bersama Aldo. Berangkat dan pulang sekolah pun aku selalu diantar oleh Aldo. Orang tua kami sama-sama tahu jika kami berpacaran. Dan kami hanya diminta untuk tetap belajar dan bisa lulus dengan nilai yang baik. Kami tidak menyia-nyiakan kepercayaan dari orang tua kami. Kami menyempatkan kebersamaan kami dengan belajar. Aldo sangat pandai dalam bahasa Inggris. Dan aku pandai dalam Matematika dan Fisika. Kami saling melengkapi.

Tak terasa sekarang kami hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Aku sepertinya akan langsung memilih bekerja daripada kuliah. Ayahku hanya pekerja bengkel, dan ibuku seorang ibu rumah tangga dengan usaha sampingan membuat kue-kue untuk dijual ke pasar dan tetangga. Namun Aldo ingin sekali Ia melanjutkan ke perguruan tinggi di Yogyakarta.

Aku pun tidak marah saat Ia menceritakan bahwa Ia sudah mendaftar di salah satu perguruan tinggi favorit di kota pelajar tersebut. Aku siap jika kami harus LDR

long distance relationship

. Aku tidak ingin masa depan Aldo suram, aku ingin Ia sukses kemudian hari. Aldo sangat giat belajar untuk bisa masuk ke perguruan tinggi tersebut.

“Kamu nggak apa-apa kan sayang kalau aku tinggal ke Jogja?” tanya Aldo waktu kami saat itu.

“Nggak apa-apa sayang. Kamu santai aja, kamu harus semangat belajar ya. Masuk universitas di sana susah katanya.” Kataku kepada Aldo menyemangati.

“Iya, aku juga minder sebenarnya. Tapi aku kepingin membuktikkan diri.” Sambungnya lagi lebih bersemangat.

“Yes…..gitu donk. Kamu harusnya bersyukur dan jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan. Papa mama kamu jelas-jelas mendukung kamu kuliah, sok atuh. Kalau aku kan jelas-jelas nggak ada kesempatan Do.” Terangku pada Aldo.

Aldo kemudian mencubit pipiku sambil tertawa melihat wajahku yang berubah menjadi lucu. Sebetulnya ingin sekali rasanya mengenyam pendidikan sarjana. Namun apa daya, beasiswa pun gagal kuraih sehingga jika pembiayaan mandiri aku takut hanya akan merepotkan ayah dan ibu. Akhirnya aku mengikhlaskan diri bahwa aku tak perlu berkuliah dalam waktu dekat ini. Karena kuliah bisa dilakukan sampai usia berapapun.

Pada suatu hari, Aldo menjemputku dirumah. Ia ingin mengajak aku pergi untuk membeli sesuatu katanya. Aku pun dengan cepat mengiyakan permintaannya dan ikut menemaninya. Ternyata Aldo membeli sebuah jam tangan untuk ibunya. Walau bukan jam mahal bermerk, Aldo sangat puas bisa membelikan kado untuk ibunya.

Segera kami pulang menuju rumah Aldo setelah kami selesai membeli jam tadi. Sesampainya di rumah ternyata sepi. Ayah dan ibu Aldo ternyata mendadak harus pergi menjenguk saudaranya yang sakit. Kami berdua menunggu dirumah Aldo sambil menonton televisi. Awalnya kami hanya bercanda-gurau, namun lama-lama apa yang Aldo lakukan mulai lebih.

Awalnya Aldo memelukku dari belakang, kemudian mengusap rambutku, menciumi pundakku. Aku masih bisa tersenyum dengan tingkahnya. Semakin lama Aldo semakin nekat, Ia mulai meraba pantatku.

“Aldo, jangan.” kataku padanya. Namun Aldo tidak menghiraukan. Aku membalikkan badan, menatap Aldo sejenak, dan aku kaget setengah mati. Wajah yang selama ini aku kenal polos dan selalu tersenyum ramah mendadak berubah menjadi seperti monster yang segera ingin menerkamku.

Aldo langsung menciumi bibirku, aku dorong tubuhnya untuk mundur tapi tenagaku kurang besar. Tubuh Aldo memang besar, Ia salah satu atlet Judo di sekolah. Dengan tinggi 170cm dan berat 75kg pasti akan menang jika melawan gadis dengan tinggi 155cm dan berat hanya 45kg.

Ia menempelakan mulutnya ke mulutku, hingga aku tak bisa bicara. Awalnya aku menolak namun karena rasa sayang dan cintaku pada Aldo akhirnya aku menyerah dan pasrah. Setelah puas melumat bibirku, tiba-tiba Aldo terdiam dan memandangiku. Aku pun juga menatapnya.

Tak ada isyarat apapun dari mulutnya, kemudian sekejap adrenalin mengalir di tubuhku. Rasanya hangat, jantungku pun mulai berdegup kencang sesaat itu nafas ku mulai tersengal. Aku keheranan, perasaan apa ini pikirku. Tak pernah aku merasakan hal seperti ini.

“Yes….fist kiss.” Batinku.

Suara motor terdengar terparkir di halaman rumah. Tak lama setelah itu, orang tua Aldo masuk. Dan kami pun beritngkah seperti tidak ada apa-apa sebelumnya.

Aldo mengantarku pulang kerumah, selama perjalan Ia hanya diam. Tampak seperti ada rasa bersalah di raut wajahnya. Aku menyadarinya, kemudian memeluknya.

“Em….sori ya kalau tadi bikin kamu marah atau bersalah. Aku kelepasan, aku sayang kamu Nad.” Ujar Aldo dengan wajah sedih. Ia tidak berani melihatku, matanya hanya bisa menatap ke bawah.

“Iya, nggak apa-apa kok Do” balasku sambil mencubit pipi Aldo.

Namun bukan sifat seorang lelaki terutama Aldo yang kemudian dengan berani untuk melakukan hal yang lebih dari berciuman. Lama-lama tangan nakalnya berkeliaran ke bagian sensitif. Rumah Aldo sering sepi karena papa mamanya bekerja kantoran sehingga pulang petang. Adiknya pun berada di rumah neneknya dan kembali bersamaan dengan orangtua Aldo. Dari situ Aldo sering mengajakku untuk main kerumahnya.

Disanalah semua hal yang harusnya belum saatnya terjadi, mulai pelan-pelan dilakukan. Sore itu hujan deras, aku dan Aldo hanya berdua saja di rumah. Aku sudah mulai menyadari gerak-gerik Aldo yang gelisah. Aku yang tadinya biasa saja mulai ikut penasaran untuk mencoba hal yang lebih. Tawaran akan sensasi yang menggiurkan membuatku kepanasan dan ingin mencobanya bersama Aldo.

“Nad….” Panggil Aldo.

“Hmmm…” jawabku sambil kutolehkan kepalaku menghadapnya. Belum selesai jawabanku, bibir Aldo sudah mendarat di bibirku. Akupun menanggapinya.

Lidah kami beradu tak mau kalah satu sama lain. Tangan Aldo mulai berkeliaran nakal. Dengan penuh rasa penasaran kubiarkan Ia mencari sesuatu yang Ia inginkan. Alih-alih rasa sayang yang ada di hati kami, kami siap untuk melakukan yang lebih. Kami menginginkannya.

Tiba-tiba Aldo membaringkan tubuhku ke sofa. Aku pun menurutinya. Kami masih saling pandang. Kemudian Aldo kembali menciumku dan mulai turun perlahan ke leherku. Rasa aneh menggerayangi tubuhku. Bulu romaku meremang, akupun secara tak sadar mulai melenguh.

Aldo semakin berani, ciumannya menuju ke bawah leher dimana dua buah gunung kembar bertengger. Semakin lama ia membuka bajuku, turun lagi hingga ke perut. Tangganya mulai meraba-raba kepemilikanku. Aku hanya bisa menikmati perasaan dan sensasi yang baru kurasakn pertama kali ini.

Aku hanya bisa mengerang pelan, Aldo memainkan kepemilikanku dengan tangannya. Kulihat Ia sekilas, Ia tertegun dan takjub dengan segala yang kupunya. Aldo mencium, menyesap hingga aku hanya merasakan kenikmatan.

Akhirnya Aldo sudah tidak bisa menahan kesabarannya. Ditanggalkan semua pakaian yang Ia kenakan. Ia pun melakukan hal yang sama kepadaku. Kami saling memandangi kepemilikan masing-masing. Kami takjub dengan bentuk indah anugerah Tuhan itu.

Mata kami beradu dan tersenyum simpul, Aldo sudah siap dengan kepemilikannya. Ia siap untuk menerjangku untuk menyatukan setiap kepemilikan kami. Pelan namun pasti, itu lah yang dilakukan Aldo.

“Kalau sakit bilang ya Nad.” Pinta Aldo lembut.

Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Aku hanya mengangguk pelan. Terasa setelah anggukan tersbut sebuah benda menyesap kedalam tubuhku, awalnya aku kesakitan. Namun Aldo mencoba kembali, kesakitan itu mulai berkurang. Ia coba lagi hingga akhirnya kesakitan itu berubah menjadi perasaan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Semakin lama gerakan kami semakin berirama. Dan suara-suara erangan kami pun beradu, hingga akhirnya Aldo tidak bisa menahannya lagi dan melepaskan semua kenikmatan yang Ia rasakan.

“Maaf ya Nad, aku kelepasan, aku nggak sengaja.” Bisik Aldo di telingaku.

Aku terdiam dan hanya bisa memeluknya.