Aksal tengah duduk pada kursi kayu yang ia tarik dari meja makan. Kini, ia tengah berhadapan dengan sang ibu yang juga duduk di sebuah sofa minimalis. Aksal tidak habis pikir, ibunya mengirim ia ke Rumah yang sangat kecil.
Rumah seluas 7 meter pada bagian depan dan 7m pada bagian samping dengan ruang tamu yang terhubung langsung dengan dapur, sebuah kamar tidur utama dimana satu-satunya kamar mandi berada didalamnya dan tempat laundry kecil diarea belakang yang tersambung dengan teras berisi tanaman.
Ema tahu bahwa anaknya ini akan menjauhi Aila jika mereka berdua tinggal dalam Rumah besar atau Apartemen milik Aksal. Jadi, ia putuskan membeli sebuah Rumah kecil yang sepertinya cocok untuk pasangan baru menikah seperti keduanya. Ema juga tidak ingin terlalu ikut campur dalam hubungan yang baru dibuatnya, ia ingin segalanya berjalan secara alami.
"Rumah ini seperti kandang hewan!" gerutu Aksal yang tidak terima dengan perlakuan semena-mena sang ibu, ia sudah menuruti keinginan ibunya untuk menikah dan sekarang ia harus tinggal di Rumah yang menurutnya sempit dan menyesakan. Aksal memang telah terbiasa hidup mewah dengan Rumah besar.
"Setidaknya aku tidak mengirimmu tinggal di kandang hewan sungguhan, kan?!" tanya Ema dengan santainya.
"Aku memang anak ibu, tapi ibu tidak berhak mengatur kehidupan pribadiku!" ucap Aksal penuh penekanan, ia berusaha menahan amarahnya. Bagaimana pun Aksal tidak pernah dididik untuk bersikap kurang ajar pada orang tua. "Bukankah sudah aku katakan pada ibu sebelumnya bahwa aku tidak berniat dan tidak ingin menikah dengan siapapun?!"
"Apa selama ini ibu pernah memerintahmu melakukan sesuatu sesuai keinginan ibu?" tanya Ema. "Tidak! Selama ini kamu melakukan apa yang ingin kamu lakukan, ibu tidak pernah menentang semua keinginanmu. Kali ini ibu hanya meminta satu hal."
"Ini sudah lebih dari satu! Menikahi wanita itu, memiliki anak darinya dan sekarang tinggal di Rumah yang kecil ini!" tegas Aksal. "Selanjutnya apa?" lanjutnya bertanya dengan raut wajah tidak suka.
"Ibu lakukan semua ini karena usiamu sudah menginjak tiga puluh dua tahun dan suatu saat kamu pasti membutuhkan pewaris." ucap Ena berusaha memberi pengertian pada anak semata wayangnya.
"Pewaris?" Aksal menyunggingkan senyum tidak suka. "Apa ibu sadar ketika mengambil keputusan agar aku menikah dengan wanita itu? Wanita yang bahkan tidak menarik sana sekali! Tidak bisakah memilih wanita yang sedikit berkelas?!" cecarnya, wanita manapun selain Rose tidak menarik dimata seorang Aksal.
"Aksal!" tegas Ema. "Apa tidak bisa jika kau tidak mendiskriminasi seseorang berdasarkan standar tertentu?! Aila gadis yang baik, dia memang terlihat biasa saja. Tapi, jika kamu lebih memperhatikannya dia gadis yang sangat cantik."
"Wah, apa yang digunakan wanita itu hingga dia bisa memikat ibu sampai seperti ini, aku sangat terkesan!"
"Aksal, ibu sudah mengenalnya selama lima tahun, dia tidak seperti yang kamu pikirkan." ujar Ema, ia sebenarnya ingin menyinggung Rose yang telah meninggalkan putranya begitu saja. Namun, ia urungkan niatnya karena hal itu hanya akan memancing amarah Aksal, anak dihadapannya ini bisa berapi-api.
"Baik?! Dia?!" Aksal tersenyum seolah menertawakan perkataan ibunya.
"Nak, ibu lakukan semua ini karena ibu ingin kamu memiliki seorang anak yang bisa menemaimu dimasa tuamu nanti. Setidaknya, bisa menjadi teman bicara dan sedikit menghapus rasa kesepianmu. Sedewasa apapun dirimu, kamu tetap anak kecil dimata ibu. Asal kamu tahu, ibu tidak bisa mendampingimu selamanya, ibu akan sangat khawatir jika meninggalkanmu sendirian." ujar Ema dalam.
"Cukup, ibu!" tegas Aksal. "Untuk apa membicarakan hal semacam itu?! Kau akan tetap disini!" dibalik sikap kerasnya, Aksal sangat menyayangi sang ibu.
Ema menatap lekat Aksal yang memalingkan muka dengan wajah kesal. Sebuah rahasia lama dipendamnya, dimana putra semata wayangnya ini bukanlah anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri melainkan anak tirinya. Sampai detik ini, Ema belum sanggup berkata jujur jika ibu kandung Aksal telah meninggalkannya sejak ia belum genap berusia satu tahun. Ema bahkan tidak tahu dimana ibu kandung Aksal berada.
Cinta seorang ibu tidak melulu tentang ikatan darah, walau darah lebih kental dari pada air. Akan tetapi, ia telah mengurus putranya ini sejak berusia dua tahun. Mustahil ikatan yang terjalin tiga puluh tahun lamanya, harus dipertanyakan. Suaminya, Hans Wirawan juga tidak memiliki niat untuk memberi tahu Aksal tentang kebenaran sesungguhnya bahkan hingga ia tiada.
"Sebentar lagi Aila akan datang, tolong bersikap baik padanya." ucap Ema.
Aksal tidak menjawab ucapan ibunya, tanda bahwa ia tengah kembali menahan amarahnya.
Malam ini kali kedua Aksal akan bertemu dengan Aila setelah keduanya dipertemukan dalam acara pernikahan yang sederhana. Dirinya dan wanita itu juga telah menandatangi surat materai berisi perjanjian.
Setelah cukup lama keduanya terdiam, suara ketukan pintu memecah keheningan. Ema tahu bahwa yang mengetuk pintu adalah Aila.
Segera, Ema beranjak menuju pintu yang tidak jauh dari tempatnya duduk lalu ia meraih gagang pintu tersebut dan membukanya.
Aila yang berdiri dibalik pintu tersenyum pada Ema.
"Masuklah, Nak." ucap Ema.
Aila mengikuti perkataan Ema dan masuk kedalam Rumah dengan menyeret koper yang dibawanya, didalam sana terlihat seorang lelaki yang tengah duduk menyilangkan kaki dengan raut wajah kesal.
"Bagaimana Rumah ini?" tanya Ema ramah.
"Bagus." jawab Aila sopan yang membuat Aksal menatapnya tajam.
"Baiklah, semoga kamu suka dengan Rumah ini." ujar Ema. "Kalian sepertinya lelah. Jadi, ibu tidak akan berlama-lama." lanjutnya yang tidak dihiraukan oleh Aksal.
"Iya, Bu." jawab Aila.
"Kalian istirahatlah, ibu pamit pergi." ucap Ema meraih tas yang berada diatas sofa lalu tersenyum pada Aila.
"Hati-hati dijalan." Aila merasa berat sekali Ema meninggalkannya di Rumah itu bersama Aksal. Namun, ia juga tidak mungkin meminta Ema untuk tetap tinggal.
Ema tersenyum, menepuk pundak Aila. "Aksal, perlakukan istrimu dengan baik." ujarnya kemudian berlalu.
Aila tidak tahu harus berbuat atau bersikap seperti apa sekarang, ia berdiri mematung.
"Kau mengganggu pemandangan!" tegas Aksal dengan kasar.
"Maaf." ucap Aila. "Aku akan memindahkan pakaianku dulu." lanjutnya masuk kedalam kamar yang terletak tepat disamping kanannya.
Aila menghela napas berat, ia gugup sekali berhadapan langsung dengan pria yang baru dikenalnya itu. Segera, Aila membuka lemari pakaian yang memang hanya ada satu. Begitu dibuka, seluruh ruang dalam lemari telah penuh oleh pakaian serta barang mewah milik Aksal, tidak tersisa satu ruangpun untuk pakaian miliknya.
"Jangan sentuh barang-barangku!" ucap seseorang dibelakang dengan nada dingin.
Aila menatap Aksal yang berdiri diambang pintu. "Aku tidak menyentuhnya, aku hanya ingin merapikan pakaianku."
"Jangan harap pakaian lusuhmu itu bercampur dengan pakaianku!" tegasnya.
"Baik." jawab Aila, ia meletakan koper miliknya disamping lemari.
"Hanya ada satu tempat tidur disini, aku akan tidur diluar." ucap Aila. "Kamu sepertinya sangat lelah, mau kubuatkan teh?" lanjutnya bertanya dengan tulus.
Aksal mengampiri Aila, segera ia mencengkeram bahu kecil wanita didepannya dan mendorongnya ke tembok. "Berhenti bersikap manis padaku!" tegas Aksal dengan tatapan tajam nan dingin. "Ingat! Aku tidak akan luluh dengan tipu dayamu itu! Jangan pikir dengan bersikap manis kau bisa mengambil hatiku! Memangnya kenapa kau mau menikah denganku?! Apa karena cinta?! Tentu saja tidak!"
Mata Aila berkaca-kaca, jujur dirinya sangat takut pada pria dihadapannya. Cengkeraman Aksal begitu kuat hingga terasa sakit dan panas pada bahunya.
"Aku tidak tahu apa yang ibuku pikirkan hingga membuatku menikahi wanita buruk rupa seperti dirimu! Seribu wanita sepertimu bisa dengan mudah aku dapatkan! Jika bukan karena ibuku aku tidak sudi menikah denganmu!" bentak Aksal, ia melampiaskan seluruh amarahnya pada Aila.
Ucapan kasar itu seperti belati yang menyayat hati Aila, sangat menyakitkan.
"Kau hanya wanita murahan yang menjual dirimu untuk uang! Apa yang ibuku inginkan?! Anak?! Jangan membuatku tertawa! Aku bahkan tidak tertarik dengan tubuhmu itu!" tegasnya lalu melepas cengeraman tangannya dari bahu Aila dengan kasar hingga tubuh wanita itu membentur tembok.
Aila menatap pria yang juga menatapnya dengan tatapan dingin, ingin rasanya ia jelaskan segalanya. Tapi untuk apa? Orang dihadapannya ini pasti tidak mau mengerti dan Aila paham bahwa pria ini juga berhak marah padanya. Dengan rasa sakit atas penghinaan yang dilontarkan oleh pria itu, Aila memutuskan untuk keluar dari dalam kamar tersebut. Baru berjalan satu langkah keluar dari pintu, Aila dikagetkan dengan suara keras dari belakang, Aksal membanting pintu.
Aila sadar akan dirinya, ia tidak mau bersikap keras juga.