PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Laura Istri Polosku

Laura Istri Polosku

Penulis:arkein

Berlangsung

Pengantar
Davina—Mama Danish, mengancam akan pergi meninggalkan mereka selama-lamanya kalau Danish tidak menerima perjodohan yang ia tawarkan. Karena tidak mau hal itu terjadi, Danish terpaksa menerima dan menikahi Laura-perempuan polos dan lembut berumur 20 tahun. Lantas bagaimana kehidupan pernikahan mereka? Apakah berjalan dengan baik dimana Danish memiliki Aurel—pacarnya sejak duduk dibangku kuliah? Ataukah pernikahan mereka harus kandas ditengah jalan?
Buka▼
Bab

Jangan lupa komen!

Perempuan berumur 20 tahun itu mengulum senyum sembari menyuapi wanita tua yang terduduk lemas di ranjang rumah sakit. “Ayo, Ma. Tinggal sesuap lagi nih.”

Wanita tua bernama Davina itu menarik bibirnya sesudah meneguk air putih yang disodorkan perempuan bersurai hitam lebat. “Terima kasih, Laura. Kamu sudah mau datang kesini atas permintaan Mama.”

“Nggak masalah, Ma. Harusnya Mama beri kabar ke Laura kalau Mama dirawat,” sahut Laura.

Davina—wanita tua yang sudah Laura anggap sebagai ibunya itu sudah berada di rumah sakit seminggu lamanya. Laura menyalahkan dirinya karena tidak merasa curiga tentang Davina yang tidak pernah menghubunginya seperti biasa belakangan ini. Karena jadwal dan tugas kuliah yang padat, membuat Laura keteteran dan tidak mengingat Davina.

Menjadi anak yatim piatu sejak 5 tahun lalu tidak pernah Laura pikirkan sebelumnya. Namun Tuhan sudah menggariskan takdir yang mau tidak mau harus Laura terima. Syukurnya Laura tidak seorang diri karena Davina—sahabat mama Laura sejak kecil itu datang dihari pemakaman orang tuanya dan memeluk Laura sampai sekarang. Bahkan wanita tua itu membiayai kehidupan Laura, termasuk perguruan tinggi yang sebentar lagi selesai.

“Ada hal yang mau Mama sampaikan sama kamu, Laura.” Alis Laura terangkat, merasa tertarik dengan kalimat Davina. “Tapi kamu harus janji dulu kalau kamu mau menuruti permintaan Mama … mungkin untuk terakhir kalinya.”

Sontak Laura menggenggam tangan Davina serta menggeleng. “Jangan bilang begitu, Ma.” Tersirat ketidaksukaan dalam nada Laura. “Mama pasti sembuh. Mama harus berpikiran positif.” Laura tidak bisa membayangkan kalau Davina pergi selama-lamanya. Lalu siapa yang akan memeluk Laura nantinya?

Davina tersenyum tipis. “Bagaimana? Apa kamu mau berjanji?”

“Iya, Ma. Laura janji asal itu bisa mempercepat kesembuhan Mama,” sahut Laura tanpa berpikir panjang akan apa yang kemungkinan terjadi kedepannya.

Sebelum Davina bersuara, suara pintu terbuka terdengar dan menampilkan seorang pria dengan kemeja berwarna biru gelap. Pria itu menatap mereka bergantian, lalu kembali ke Davina.

“Syukurlah kamu sudah datang, Danish.”

Laura yang duduk sontak melotot kaget. Karena pikirannya yang sedang bercabang-cabang membuatnya sulit mengenali siapa pria yang masuk ke ruangan Davina. Laura mengenali Danish, dia adalah pengusaha sukses yang kerap kali masuk ke dalam berita dan anak satu-satunya dari Davina dan Adnan—Suami Davina.

Ini adalah kali pertama mereka bertemu. Sebenarnya Davina sudah sering menjadwalkan pertemuan mereka, namun selalu batal lantaran Danish yang tidak bisa hadir karena urusan pekerjaan.

Danish berjalan mendekat dan mendudukkan bokongnya di kursi yang berada tepat di samping Davina, mengabaikan perempuan asing yang ada di seberangnya. “Bagaimana keadaan Mama? Makan siangnya sudah dimakan?”

Davine mengangguk. Dia membawa tangan Laura ke pangkuan. “Sudah. Laura yang suapin Mama tadi.” Mendengar itu, Laura tersenyum. “Ini Laura yang sering Mama perlihatkan fotonya sama kamu. Cantik, ‘kan? Harusnya kalian sudah lama saling mengenal, tapi sudahlah, yang penting kalian sudah bertemu sekarang.”

Danish menoleh ke Laura dan langsung berpindah haluan, menatap Davina. Tidak merasa tertarik pada Laura karena Danish sudah sering mendengar tentang Laura dari Davina—termasuk keluarga dan kuliah wanita itu. Jujur saja, Danish merasa bosan, namun dia tidak ingin menyakiti hati Davina kalau berterus terang.

“Mama bisa istirahat sekarang, aku juga mau kembali ke kantor,” seru Danish yang merasa kalau dirinya sudah tidak dibutuhkan disini. Selama ini Danish selalu menyempatkan diri untuk ke rumah sakit agar Davina memakan makan siangnya, wanita tua itu tidak mau makan kalau tidak ada Danish.

“Kenapa cepat sekali, Danish?” tanya Davina tidak suka. “Tunggu dulu. Mama mau minta jawaban kamu soal pertanyaan Mama waktu itu.”

Alis Danish menyatu bingung. Kepalanya berputar, mengingat pertanyaan apa yang Davina berikan. Dan pikirannya langsung tertuju pada malam pertama Davina dirawat. Wanita itu meminta Danish untuk segera menikahi wanita pilihannya, tak lupa dengan ancaman kalau Davina akan pergi selamanya jika Danish tidak menjawab iya.

Jadi maksud pilihan Davina adalah Laura?

“Tapi, Ma ….” Danish tidak melanjutkan kalimatnya. Kesehatan Davina bisa drop kalau Danish mengatakan dirinya sudah mempunyai kekasih sejak duduk dibangku kuliah. “Aku belum ada niatan kesitu, Ma,” lanjut Danish memberikan alasan yang masuk akal.

Davina mendesah. “Kalau begitu kamu mau Mama pergi, begitu?” Laura yang ada disamping hanya bisa menautkan alisnya, bingung tentang apa yang mereka bicarakan.

Danish mendelik tidak suka karena pernyataan Davina. Siapa yang mau orang tuanya meninggal? “Ma—“

“Sekarang kamu harus menjawabnya, Danish!” tegas Davina dengan sorot mata tajam. “Nikahi Laura atau kamu mau Mama meninggal?”

Sontak Laura melotot kaget. “Mama ….” Laura kesulitan merangkai kalimatnya. “M—maksud Mama apa?”

Ibu dan anak itu menoleh kompak. “Mama mau kamu menikah sama anak Mama, Laura,” jawab Davina lembut—berbeda ketika berbicara dengan Danish. “Kamu sudah janji tadi di awal, kalau kamu tidak akan menolak. Kalau kamu mengingkari, kamu harus lihat Mama meninggal.” Davina tahu caranya sangat mengerikan, namun hanya dengan ini agar Danish dan Laura menuruti permintaanya.

Sedari dulu Davina sudah terkagum dengan sikap Laura. Wanita berkulit putih itu selalu bisa memenangkan hatinya setiap saat hingga Davina memutuskan untuk menikahi Laura dengan anaknya—Danish, yang sampai umur 28 tahun belum menikah, bahkan Davina tidak pernah melihat Danish menggandeng wanita lain. Itu membuat Davina cemas, bagaimana kalau Davina dipanggil duluan sebelum melihat anak tunggalnya menikah?

“Ma, ini terlalu cepat. Aku belum bisa memutuskannya. Menikah bukanlah lelucon.” Danish mengeluarkan aksi protesnya, berharap Davina memberikan keringanan, namun sayang, mamanya itu menggelengkan kepala tegas.

“Tidak ada waktu lagi, Danish!” Mata Davina mendadak berair. “Lihat kondisi Mama sekarang. Sudah seminggu, tapi Mama masih terbaring disini. Dokter juga belum tahu kapan Mama akan sembuh … dan kamu malah membuat Mama semakin sakit.”

Danish mengusap wajahnya kasar. Semuanya menjadi sangat runyam sekarang. Sulit untuk menegaskan keputusannya lantaran Davina yang menangis.

“Laura, jawab Mama sekarang. Apa kamu setuju menikah dengan Danish?”

Laura menatap takut pria di hadapannya. Dia menelan ludah kala mendapati tatapan tajam dari manik hitam itu. “Laura ….” Ia menghela napas. “Laura setuju, Ma.” Dia tahu cukup cepat memutuskan hal yang bisa merubah kehidupannya di masa depan, namun ada Davina yang harus Laura pertimbangkan. Kehilangan orang tuanya membuat Laura tahu bagaimana rasanya, dan dia tidak bisa merasakannya untuk kedua kalinya.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Davina memeluk Laura sebelum menatap putranya. “Dan kamu, Danish? Apa kamu setuju? Kalau kamu setuju, Mama dan papa akan menyiapkan pernikahan kalian secepatnya. Ancaman Mama enggak main-main, Danish!”

Rahang Danish mengetat emosi. Marah karena Laura yang menyetujui permintaan Davina, padahal kalau wanita itu menolak, maka pernikahan ini tidak akan terjadi.

“Danish!” sentak Davina karena tak kunjung mendapatkan jawaban.

Danish terkesiap, mengusap wajahnya kasar, lalu menatap Davina dengan pandangan yang sulit dijelaskan. “Aku setuju.” Dua kata itu berhasil membentuk senyuman lebar di wajah Davina. Sakit yang dideritanya seakan menguap sempurna dari tubuhnya. Jawaban Danish seolah obat yang Davina cari selama seminggu terbaring di ranjang rumah sakit.

“Papa!” Davina memekik senang karena Adnan yang sudah masuk ke dalam kamar rumah sakit. Pria tua itu baru saja selesai makan siang, Davina sendiri yang menyuruh Adnan agar pergi mencari makan karena Laura akan membantunya makan.

“Mama kenapa senang begitu?” Adnan bertanya dengan alis yang terangkat. Walau dalam kondisi bingung, bibirnya tak tahan untuk tertarik karena Davina yang tersenyum lebar.

“Danish setuju untuk menikahi Laura, Pa!”

“Apa?!” tanya Adnan kaget. Senyum di wajahnya lenyap seketika. Pria tua itu melihat Danish, seolah meminta penjelasan tentang apa yang Davina katakan.