Seorang gadis berjilbab pink susu yang sudah agak pudar warnanya turun dari bis dengan menenteng tas punggungnya. Setelah sampai bawah, barulah dia memakai di punggungnya. Pandangannya melongok ke kanan dan kiri. Tempat yang asing dan baru baginya.
Dia merentangkan tangannya, menghirup dalam-dalam udara asing yang baru dirasakannya. Meniru akting aktris saat baru pertama kali menginjak tanah baru seperti yang dia lihat di ftv milik tetangga.
"Walah, debunya. Ndak ada seger-segernya. Bulek, uh!" Dia mencoba mengeluarkan udara yang sempat dihirupnya. Logat jawa medok mendominasi ucapannya. Maklum, memang dia baru datang dari desa.
Langkah berat berbalut sandal jepit tergerak linglung. Bingung, ini pertama kalinya. Pandangannya menangkap gerombolan bapak-bapak di ujung sana, sepertinya tukang ojek. Gadis itu melanjutkan langkahnya menuju bapak-bapak tersebut. Dengan menunjukkan sebuah alamat di kertas, akhirnya dia menumpang salah satu tukang ojek tersebut.
Terpana, tentu saja. Apalagi ini kali pertamanya ke ibu kota. Asing, dan sedikit membuatnya takut. Kalau saja bukan amanah dari orang tuanya, dia sebenarnya tak mau meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja menggantikan ibunya yang sakit-sakitan.
Tukang ojek membawanya ke sebuah kompleks dengan deretan rumah mewah, membuat gadis itu makin terpana. Decak kagum tak henti keluar dari bibir mungilnya.
Abang tukang ojek menghentikan lajunya di depan gerbang sebuah rumah yang luas dan megah. Halamannya saja seluas lapangan, lebih malah. Asri dengan pohon-pohon bonsai, bunga, air mancur. Aish, pokoknya mewah. Rumahnya sendiri berada di pojok dalam.
"Ini neng, kita sudah sampai."
Gadis itu turun dari motor. Bulat matanya menunjukkan dia terkagum-kagum. Namun rasa takut tetap menjalari dirinya. Huft, beberapa menit lagi dia akan tinggal disini.
"Berapaan pakde?" tanyanya sembari mengeluarkan dompet pink yang sudah luntur warnanya.
"Tiga ratus neng."
Matanya membulat, menghentikan gerakannya menarik lembaran hijau tersebut.
"Ti-tiga ratus pakde?"
"Iya neng. Ini termasuk murah loh. Karena neng penumpang pertama. Semoga aja bisa jadi penglaris."
Dengan wajah pias dan tak lepas dari kagetnya, gadis itu menarik empat lembar lima puluhan, dan dua warna hijau, sisanya lembar lima ribuan. Hidup di kota ternyata mahal juga. Tabungannya selama beberapa bulan hilang hanya dalam sepersekian menit.
"Makasih neng. Oh ya, ngomong-ngomong, kesini mau ngapain neng?" tanya abang ojek dengan raut sangsi. Dia masukkan uang tadi di saku jaketnya.
"Mau kerja pakde," ucap gadis itu dengan senyum dipaksakan, karena masih syok dengan nominal yang harus dibayarnya tadi.
"Oo... yaya. Semoga betah ya neng. Hidup di kota keras neng. Semua serba mahal," ucap abang ojek, tersenyum. Seakan menjawab kesangsian karena bayaran mahal ojeknya. Gadis itu mengangguk kikuk.
Setelah tukang ojek tersebut berlalu, barulah dia melanjutkan langkahnya. Untung saja setelah menunjukkan identitas dan maksud kedatangannya, pak penjaga gerbang membukakannya untuknya.
Rasanya tak pantas menginjakkan kaki di lingkungan mewah seperti ini. Kontras sekali dengan bajunya yang makin kelihatan lusuh.
"Huft, kamu pasti bisa, Din. Semagat!" Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Sandal dia lepas sebelum menginjak lantai mengkilap. Terasa dinginnya menginjakkan kaki di lantai tersebut. Berbanding terbalik dengan dirinya yang panas dingin. Setelah berkali-kali meyakinkan diri, menarik napas panjang dan menghempaskannya pelan, barulah dia mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum..." salamnya lantang. Ketiga penghuni yang ada di dalam sontak menoleh ke arahnya. Diana tersenyum manis.
"Dia! Dia calon istri Adam, Ma."
Gadis itu terkejut, menoleh ke belakangnya. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Dan ketika pandangannya berbalik, tatapan penghuni rumah tetap tertuju padanya. Pemuda yang tadi berjalan ke arahnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Sayang, ayo masuk. Kamu pasti capek kan?" ucapnya, tersenyum manis. Gadis itu kelimpungan. Kejutan macam apa ini. Dia baru sampai loh.
"Adam! Apa yang kamu katakan!"
Pemuda yang di panggil Adam itu menoleh, tersenyum kecil. Lalu dengan beraninya memegang tangan Dina, nama gadis itu.
"Kenapa ma? Mama tanya kan, siapa calon istri Adam? Ya ini, dia ma. Dia calon istri Adam," ucapnya.
Dia berbalik, kali ini tatapan tajam menghujam, mendekatkan wajahnya di telinga Dina. Dina memundurkan kepalanya, takut.
"I-iki ono opo to?" gumamnya lirih sekali.
"Ikuti saja permainanku. Diam, atau kau tahu akibatnya," tekannya.
Diana menunduk takut, mencengkram ujung bajunya. Baru saja dia datang, jantungnya sudah dibuat berdegup. Bukan suka, tapi takut. Adam menuntunnya duduk di sofa. Mendudukkan gadis itu di sampingnya. Sungguh, rasanya seperti dikuliti harga dirinya. Membuatnya terasa kerdil. Pandangannya menunduk takut. Dia tak tahu apapun, tak kenal apapun, tapi tiba-tiba di kejutkan dengan situasi membingungkan seperti ini.
"Adam, kamu apa-apaan sih. Memang kamu kenal gadis itu darimana hah? Mama yakin, kamu pasti bohong kan? Kamu pura-pura kan?"
Wanita setengah baya yang masih terlihat kecantikannya itu bergerak gelisah, menggenggam tangan pria yang juga masih terlihat tampannya. Pria itu tetap terlihat anteng.
"Adam, papa gak mau kamu main-main. Kamu kenal gadis ini?" tunjuknya pada Diana yang gemetaran.
"Gak sih pa, sebenarnya. Adam memang pura-pura kenal dia tadi. Tapi dari pertama dia masuk Adam yakin dia calon istri Adam," tegasnya.
"Bagaimana bisa begitu? Gak bisa, Nak. Kamu harus mengenal dia dulu. Menikah bukan hal sembarangan," tukas mamanya.
Adam terkekeh kecil. Tersenyum menyeringai.
"Lalu apa bedanya dengan mama yang menjodohkanku dengan wanita itu? Aku juga tak mengenalnya. Apalagi cinta? Haha, jauh. Aku justru tertarik dengan dia," ucapnya, menoleh ke gadis di sampingnya. Smirk tak luntur dari bibirnya.
Diana makin menunduk, gemetar makin terasa. Ini belum apa-apa, tapi dia sudah di kejutkan dengan situasi aneh ini.
"Kau, siapa kamu? Kenapa tiba-tiba muncul di rumah saya," ucap mama Adam dengan tatapan tajamnya.
"Ma, yang lembut kalau bertanya."
"Halah. Gak ada waktu pa."
Diana mengangkat pelan wajahnya.
"Sa-saya Diana, Nyonya. Sa-saya kesini untuk menggantikan ibuk saya kerja disini. Tapi sumpah Nyonya, saya ndak tahu apa-apa," jawab Diana dengan logat medoknya, dia benar-benar takut. Hingga melupakan ancaman Adam barusan. Adam melotot, mendesah kesal.
"Ibumu? Maksudmu? Kau putri..."
Mama Adam menoleh ke Adam. Adam memasang wajah datarnya lagi. Bodo amat, dia bahkan tak peduli dengan status wanita di sampingnya. Yang penting dia bisa menghindar dari perjodohan mamanya.
"I-iya Nyonya. Sa-saya anaknya bu Darmi. Kata ibuk, saya di suruh menggantikan ibuk kerja disini. Ma-maaf sebelumnya kalau kedatangan saya mengganggu. Sumpah Nyonya, saya ndak tahu apa-apa," ucapnya gemetar.
Mama Adam memegang keningnya, bersandar di sofa.
"Pantas saja. Huft... entahlah pa. Mama gak tahu apa maunya putra papa. Terserahlah. Mama pusing," ucapnya.
Papa Adam tetap tenang, memandang putranya.
"Bagaimana, Dam? Kamu masih mau menikahinya?"
Adam melirik gadis di sampingnya yang menunduk takut. Meraih tangannya. Dingin terasa. Smirk tersungging di bibirnya. Kebetulan yang baik bukan? Dapat gadis polos.
"Kenapa tidak? Jika mama dan papa masih memaksa Adam untuk menikah. Maka, Adam akan menikahi dia. Gak mau yang lain," ucapnya mantap.
Deg!
Diana menoleh, membulatkan matanya, mengerjap-ngerjap tak percaya.
Tuhan, situasi macam apa ini. Kedatangannya yang pertama kali, langsung dihadapkan pada situasi aneh.
Papa menoleh ke samping, istrinya tak menyahut, bersandar dengan mata terpejam. Namun wajahnya masam.
"Baiklah. Lalu, kapan kamu berencana menikahinya?"
"Seminggu lagi."
Wanita itu membelalak.
"Adam!"