PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Nura

Nura

Penulis:Ayu Duwiani

Tamat

Pengantar
Mungkin sudah tidak asing lagi mendengar kata menantu yang tidak dianggap. Begitulah kehidupan Nura yang sedari kecil hingga dewasa, dia menikah dengan sosok pria yang begitu dia cintai. Namun banyak konflik yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Apakah Nura akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya? Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Yuk standby terus dan ikuti setiap episodenya ya!
Buka▼
Bab

Setiap minggu pagi membuat Nura malas bangun tidur. Yang tak seperti hari biasanya selalu pergi sekolah lebih awal. Padahal kegiatan rutinitas Ibadah di Gereja pagi itu jam 10 harus segera dimulai yang berjarak 15 menit dari rumah. Namun jam 9 bangun dari tempat tidur saja belum. Ditambah lagi hembusan angin pagi disertai derai hujan rintik-rintik yang membasahi pelataran rumah dengan rata. Membuatku semakin terhanyut ingin melanjutkan mimpi yang tertunda malam tadi.

“Bangun anak gadis, sudah jam berapa ini. Molor terus!” ujar mama yang sudah bersiap-siap dari tadi. Mama, papa dan kakak memang rajin banget soal Ibadah. Nura saja yang malas dengan seribu alasan.

“Iya mah,” sahutnya dengan nada lemas. Setelah mandi siap dandan cantik dengan bersolek manja didepan cermin menari dan bernyanyi. Langsung berangkat menuju tempat Ibadah. Di tengah kotbah Nura malah asyik berbincang dengan kakaknya Lea.

“Kak, tahu nggak sih maksud dan artinya apa? Aku sungguh tidak paham dengan semua ini,” tanya Nura dengan lirih seraya yang dari tadi duduk di sebelah kakaknya.

“Entah lah, aku juga tidak paham. Setelah pulang dari sini nanti coba kita tanyakan dengan mas Bambang yang paham soal Agama.” Diam sejenak sambil mendengarkan kotbah.

“Tapi Kak?” tiba-tiba Nura mengejutkannya.

“Sssstttttt.. Sudah diam,” potongnya.

Sampai tiba selesai acara rutinitas ibadah mereka, segera pulang ke rumah. Nura masih saja terus menerus memikirkan apa yang dia bicarakan dengan kakaknya sewaktu ibadah tadi.

“Kak, bagaimana soal tadi? Aku masih penasaran loh.” Lagi-lagi Nura selalu mendesak kakaknya.

“Kata kakak tadi mau tanya dengan mas Bambang? Yuk ah,”

“Nura? Bisa tidak jangan bawel dulu ya? Kakak masih capek. Mending kita tidur siang dulu deh. Urusan itu nanti saja. Kalau sampai tahu mama papa kan bahaya. Mending kita rahasiakan dulu. Oke!”

“Iya deh, Kak.”

***

Waktu terus berlalu, bahkan mereka tidak membahas soal itu lagi. Nura sekarang menginjak kelas 2 SMP. Dan kakaknya kelas 3 SMA. Dan waktu berjalan seperti biasanya, di mana Nura yang cerewet dan suka mengganggu kakaknya.

“Kak, liburan panjang nih. Ke rumah nenek yuk!”

“Izin dulu sama mama papa.”

“Takut, kakak saja ya?”

“Nura, yang pengen kan kamu. Bukan kakak, kakak cuma temani kamu.”

“Tapi, Kak?”

“Kalau tidak mau ya sudah.”

“Iya deh.” Dengan nada lemas dan raut wajah di tekuk karena takut dengan mama papanya yang galak. Namun, keinginan untuk liburan tempat nenek yang sudah sangat dia rindukan tidak dapat di bendung lagi. Akhirnya, bagaimana pun hasilnya dia nekat untuk mengawali pembicaraan dengan mama.

“Ma, boleh tidak aku liburan tempat nenek?” Nura bertanya pada mama yang asyik duduk di teras dengan segelas tehnya.

“Untuk apa? Tumben?” cetus mamanya.

“Kangen sama nenek, Ma.”

“Terus kamu mau dengan siapa ke sananya? Papa lagi sibuk kerja. Tidak bisa mengantarkan kamu.”

“Sama kakak saja, Ma. Kakak mau kok temani aku.”

“Ya sudah, hati-hati saja di jalan.”

“Yes, terima kasih mama sayang,” ucap Nura sambil mengecup pipi mama.

Akhirnya, sore itu Nura dan Lea kakaknya pergi naik motor untuk berlibur ke rumah neneknya yang berjarak 30menit jika mengendarai dengan motor.

“Nenek, aku datang!” teriak Nura ketika sampai.

“Eh, cucu Nenek datang.” Nura dan Lea langsung menyalami nenek dan peluk cium.

“Nek, boleh kan aku liburan di sini seminggu. Sekolah lagi libur panjang nih,” ujar Nura.

“Boleh,” jawab nenek singkat.

Tidak lama, datang bibinya Nura yang baru pulang dari kebun. Tampak raut lelah menyelimuti wajah bibi saat itu.

“Bibi,” sapa Nura.

“Nura? Dengan siapa?” tanya bibi.

“Sama kakak. Itu dia sudah di kamar.”

“Nura, Bibi capek. Boleh minta tolong tidak?”

“Apa, Bi?”

“Pijit Bibi dong?” pintanya.

Namun, Nura menolaknya karena dia juga merasa lelah baru tiba tapi langsung di suruh. Seketika itu juga bibi yang sifatnya pemarah, langsung membanting nasi yang masih hangat di hadapan Nura.

“Kamu ya? Masih kecil disuruh saja tidak mau. Mau jadi apa nanti kamu besarnya?

Nura hanya terdiam kaku dan takut akan kemarahan bibinya. Tidak lama datang nenek yang juga mendengar suara gaduh dan benda yang di banting.

“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya nenek.

“Ini cucumu disuruh pijit sebentar saja susah,” sergah bibinya.

“Dia kan baru sampai juga, kenapa langsung kamu suruh-suruh,” nenek membela Nura.

“Ah sudahlah.”

Bibinya langsung meninggalkan Nura dan juga nenek saat itu. Sifat pemarah memang sudah menjadi tabiat dan kebiasaannya sejak kecil. Bibi adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Yang pertama yaitu mamanya Nura. Namun, sampai usianya sekarang yang sudah menginjak 30 tahun dia belum juga menikah. Entah apa alasannya.

"Kamu yang sabar ya, Nura. Bibi kamu memang seperti itu. Jangan di ambil hati, mungkin dia sudah terlalu capek. Kamu istirahat saja sana? Pasti sudah capek bukan? Biar nasi ini Nenek yang bersihkan semua."

"Tidak, Nek. Biar aku saja yang bersihkan. Nenek tidak perlu capek-capek. Aku tidak apa-apa kok," Nura hanya bisa tersenyum. Padahal dia sangat sakit hati atas perlakuan bibinya barusan.

"Ya sudah kalau begitu, Nenek ke depan dulu ya."

"Iya, Nek."

Sambil membersihkan nasi yang berceceran kemana-mana, Nura sesekali menyeka air mata yang ternyata sudah membasahi pipinya sejak neneknya pergi. Bagaimana tidak, baru saja dia datang hanya ingin berlibur. Namun, sudah mendapatkan perilaku buruk. Tapi, itu memang sudah biasa dia rasakan. Bahkan, Nura sering menjadi bahan perbandingan kakaknya yang pintar dalam bidang pelajaran. Sedangkan Nura, tidak begitu pintar. Bibi lebih sayang kakaknya, daripada Nura.

"Nura, kenapa nasi ini berserakan?" Tanya kakaknya yang baru tiba di dapur.

"Tidak apa-apa, Kak. Tadi hanya terjatuh saja."

Nura berbohong lagi.