PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Angry Bride

Angry Bride

Penulis:Fitri Afaa

Berlangsung

Pengantar
Agatha dan Farel sengaja dijodohkan oleh kedua orang tua mereka dengan alasan agar keduanya meninggalkan dunia malam dan kebebasan. Penolakan demi penolakan bahkan sampai kabur dari rumah pun dilakukan oleh keduanya agar perjodohan keduanya batal. Namun, usaha mereka justru kalah dengan rencana orang tua mereka. Mau tak mau, pernikahan pun terjadi. Di belakang kedua orang tua mereka, keduanya saling memberi batasan dan membuat segala macam aturan. Namun, di depan kedua orang tua mereka, keduanya justru berlaku manis demi menghindari dimasukkannya ke pesantren untuk dibimbing ke jalan yang benar. Jalinan tanpa cinta itu pun terus membuahkan masalah. Segala macam emosi tercipta dari ketidaksukaan mereka pada kekurangan masing-masing. Keributan, pertengkaran pun tak terhindarkan. Bagaimana jadinya jika sepasang suami istri hasil perjodohan menjalani pernikahan dengan penuh emosi dan masih sama-sama menjalin hubungan dengan mantan di belakang ikatan suci keduanya? Kemudian, apakah pernikahan keduanya akan langgeng atau malah kandas? IG @Fitri_Afaa Fb Afaa Fitri
Buka▼
Bab

“Enggak, Pa! Aku menolak keras perjodohan ini!” tegas Agatha sembari bangkit dari kursi.

Farel yang duduk santai, tetapi hatinya berantakan itu pun menatap Agatha setuju. Dia mengangkat tangan ke udara. Kaki yang tadi bertumpu, kini turun dan menapak di lantai kafe.

“Idem!” sahut Farel.

Dengan tatapan sinis, angkuh, Agatha menyunggingkan satu sudut bibirnya ke arah Farel. Dilipatnya tangan ke dada. Rambut panjang sepinggang bergelombang itu menutupi sebelah bahunya yang tak terlindungi lengan baju. Agatha mengenakan gaun putih tanpa lengan.

“Fix, Pa, Ma! Aku dan dia sama-sama menolak. Ini artinya pernikahan enggak bisa dilanjutkan. Syarat menikah adalah saling rela dan enggak dipaksa,” cetus Agatha.

“Ini menurutku karena menikah itu adalah cinta dan tanggung jawab. Kalo enggak ada cinta, maka enggak ada tanggung jawab. Jatuhnya nanti justru dosa, dosa, dan dosa. Papa enggak mau, ‘kan, anak Papa yang cantik jelita ini yang udah berlumur dosa semakin berlumur dosa?” sambung Agatha lagi.

Sementara kedua pasang orang tua itu saling berbagi pandang. Mereka tampak biasa saja. Sepertinya penolakan kedua anak mereka tak mempengaruhi niat yang sudah lama terbangun.

“Duain!” sambung Farel lagi.

[Dasar! Emang enggak bisa ngomong yang panjang. Gue ngomong banyak, dia sekata doang. Kalo jadi nikah, bisa mati bediri gue idup sama dia. Mana ada cewek yang betah dan mau sama cowok yang irit ngomong. Untung aja gue bisa paham penolakan dia dari ekspresi mukanya.] Agatha menggerutu kesal di dalam hati sembari menatap Farel sekilas.

“Pernikahan tetap akan terjadi,” tandas Pak Jeremy, papanya Farel. Lelaki itu tampak serius sekali.

Sontak itu membuat perhatian Agatha tersita. Kaget pastinya. Sudah banyak kalimat penolakan yang dia lontarkan, ternyata tak berpengaruh sama sekali. Bahkan saat melihat dan mendengar langsung kedua orang tuanya dan kedua orang tua Farel merundingkan tanggal pernikahan, dia pun semakin sebal. Seolah apa yang dikatakannya tadi dan selama ini tak diindahkan.

“Pa, Ma!” panggil Agatha merengek. Dia menghentak-hentakkan kakinya, tetapi kedua orang tuanya tampak tak memedulikannya. Mereka masih sibuk mengobrol.

Kesal. Sangat kesal! Agatha menendang kaki Farel kuat sehingga lelaki tampan itu kesakitan karena mata kakinya terkena moncong hills milik Agatha. Farel mendesis.

“Sinting lo, ya,” umpat Farel lirih.

Agatha merapatkan gigi-giginya sembari melotot pada Farel. Jari telunjuk dengan kuku bercat hitam itu menunjuk ke arah kepalanya sendiri. Agatha terlihat sangat emosi.

“Lo pake otak! Mikir! Gimana caranya supaya pernikahan ini gagal. Bukannya cuma diem, terus cuma ngegelontorin satu kata doang. Usaha, dong, lo. Jangan gue doang yang mati-matian ngomong penolakan. Berjuang bareng-bareng!” omel Agatha sangat geram dengan suara pelan.

Farel tertawa. “Yang berjuang itu yang saling cinta. Untuk yang saling benci, mah, santai aja. Santai kayak di pantai,” ujar Farel. Dia menarik tangan Agatha dan membuat gadis itu terhempas ke kursi.

“Jangan sentuh gue!” tegas Agatha seraya mengusap pergelangan tangannya. Seolah sedang mengusir kuman yang hinggap.

“Sekarang zamannya kerja cerdas, bukan kerja ngegas!” ucap Farel sambil menumpangkan kaki kanannya ke atas kaki kiri.

Gadis berkulit cerah itu memutar bola mata. Helaan napas Agatha yang panjang membuat Farel memahami apa yang diinginkannya. Farel kembali menurunkan kakinya. Kini dia sedikit membungkuk. Kedua tangannya bertumpu pada kaki bagian atas.

“Sst!” seru Farel.

“Heh! Lo ngerti, enggak, kalo cat calling itu termasuk pelecehan?” sinis Agatha.

“Astaga! Emosian banget, sih, lo.” Farel menggeleng. Kesal juga sepertinya pada Agatha yang emosian.

Hening. Hanya suara kedua pasang orang tua mereka yang terdengar. Mereka sedang sibuk membicarakan tanggal pernikahan.

Mata elang milik Farel terus menatap ke arah pintu kafe. Ponselnya bergetar, pesan masuk dari sang kekasih membuatnya mengulas senyum manis. Disimpannya kembali ponsel itu ke sakunya. Kali ini Farel semakin mendekatkan kepalanya ke wajah Agatta dan itu berhasil membuat gadis itu secara spontan mendorong Farel.

“Apaan, sih, lo? Gue punya pacar. Gue ini terhormat! Lo jangan coba-coba buat cara kotor kayak gini ... nyium gue supaya orang tua gue langsung nolak lo. Najis banget gue!” cerocos Agatha.

“Eh, lo pikir gue cowok apaan. Gue juga punya pacar dan enggak bakalan juga ngehianati cewek gue demi prasangka buruk lo itu. Terserah lo, dah, ah!” balas Farel tak mau kalah.

Keduanya saling membuang pandangan. Agatha sibuk bergumam dan Farel diam mematung. Suasana kafe yang ramai tak membuat kepala keduanya dingin dalam mencerna apa pun.

“Baik. Kami udah menetapkan tanggal pernikahan kalian. Lebih cepet lebih baik. Minggu depan kalian akan menikah!” ucap Pak Uril, ayahnya Agatha sangat mantap.

“Apa?” Farel dan Agatha serentak dan wajah keduanya dihiasi kepanikan.

“No! Big no! Aku enggak mau, Pa. Tolong pikirkan perasaanku!” tolak Agatha mentah-mentah. Dia menatap Farel.

“Eh, lo ngomong, dong. Kalo lo nolak ... coba jelasin ke mereka,” tambah Agatha pada Farel.

Lelaki berambut cepak itu mencebik. Hal itu berhasil membuat Agatha semakin naik darah. Gadis itu menggeram sembari mengarahkan kedua tangannya yang siap mencengkeram Farel.

“Ag, percayalah ke Papa dan Mama. Ini hal terbaik yang kami lakukan untukmu,” ucap Bu Selin sambil meraih tangan kanan Agatha dengan lembut.

Gadis berhidung mancung dan bermata belok itu menggeleng. “Yang terbaik untukku, cuma aku yang tau, Ma. Karena aku yang jalani, bukan Mama, Papa atau yang lainnya,” sahut Agatha menyuarakan isi hatinya. Sepasang netranya berkaca-kaca.

Dihempaskannya lembut tangan sang ibu, Agatha berlari meninggalkan kafe. Air matanya terberai diterpa angin kekecewaan yang baru saja bertiup dari arah kedua orang tuanya. Dia sangat kecewa karena merasa apa yang dia inginkan tak mendapatkan dukungan atau bahkan didengar alasannya.

“Biar saya yang susulin, Tante,” sela Farel ketika melihat Bu Selin akan bangkit. Wanita itu mengangguk lalu Farel berlari kecil menyusul Agatha.

Setibanya di taman, Farel malah menertawai Agatha yang sedang menangis sambil menunggu teleponnya dijawab oleh seorang yang dituju. Lelaki berbadan tinggi dan tegap itu menyandarkan punggungnya ke batang pohon hias.

Agatha menyadari kehadiran Farel dan segera mengusap air matanya. Dia menyusupkan kembali ponselnya ke dalam tas hitam kecil yang tergantung di pundak kanan. Dia pun menengadah ke langit.

“Ternyata cewek segalak, sejutek, dan semenyebalkan kayak lo bisa ngeluarin air mata juga, ya. Lo yakin itu air mata sungguhan?” ledek Farel santai.

“Ck! Gila lo, ya. Enggak ada empati-empatinya dikit jadi orang. Dibuat dari apa, sih, lo?” balas Agatha galak.

Farel menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Enggak usahlah pake acara nangis. Gue saranin ke lo ... kabur adalah jalan terbaik. Lo bilang, lo punya pacar, kan? Satu-satunya cara adalah lo kawin lari sama pacar lo dan gue juga. Otomatis lo dan gue enggak bakal jadi nikah. Gimana?”

Terlihat Agatha berpikir keras setelah mendengar penuturan Farel. “Gue enggak bakal pake ide lo! Terlalu murahan!” hina Agatha lalu pergi meninggalkan Farel begitu saja.

“Ish!” Farel kesal dan menendang batu kecil ke sembarang arah. “Dasar cewek jadi-jadian!” umpatnya.