PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Kisah Cinta Aisyah

Kisah Cinta Aisyah

Penulis:Handira Rezza

Tamat

Pengantar
Deburan ombak pantai ini, selalu mengingatkanku tentangmu, iya kamu, seorang yang dulu berjanji akan kembali ke desa ini untuk meminangku, namun setelah lima tahun penantian, kamu pulang membawa perempuan lain yang kamu sebut istri, dan melupakan janji yang pernak kau ucapkan padaku. "Siapa kamu, aku tidak kenal perempuan desa, ketinggalan jaman sepertimu," itu adalah ucapanmu saat kamu kembali dari tanah rantau. Betapa sakit hatiku, saat aku terpuruk, seseorang yang mengaku telah mengagumiku sejak lama, datang ke rumah untuk melamarku, ia adalah seoarang guru yang masih magang berasal dari ibu kota di sekolah yang sama denganku, mungkinkah pak guru Ari adalah orang yang tepat untuk bersanding denganku. Aku masih tak percaya, tetapi aku harus membuktikan pada Bima, bahwa aku memiliki kebahagiaanku sendiri, akankah Bima menyesal karena telah mencampakan Aisyah, karena hidup bahagia dengan pak guru AriPenasaran kan dengan Kisah Cinta Aisyah, yuk segera baca ceritanya.
Buka▼
Bab

Namaku Aisyah Maharani, aku berpacaran dengan kekasihku yang bernama Bima Sakti, sejak duduk di bangku SMA, tahun ini tahun ke lulusan kami.

Bima selalu baik padaku, kami bercita cita untuk membangun desa ini, namun karena keterbatasan biaya, aku hanya bisa melanjutkan kuliahku di desa ini, sementara Bima, dia pergi ke kota untuk melanjutkan kuliah dan bekerja disana.

"Aisyah, aku di terima di universitas negeri di kota, bulan depan mungkin aku akan pergi," Bima berpamitan padaku.

"Aku pasti akan merindukanmu," jawabku lirih.

Bima menyemangatiku, dia berjanji akan pulang dan melamarku, ketika sudah sukses di kota, kami bahkan bercita cita bersama membangun sebuah sekolah di desa ini.

Sebelum bisa berangkat ke kota, kami setiap hari menghabiskan waktu kami di pantai, berlarian menikmati sisa waktu kami saat bersama.

"Aisyah, kamu baik baiklah di desa ini, tetap semangat walau kamu menuntut ilmu bukan di universitas terkenal, mengabdilah dengan tulus di sekolah dasar di desa ini, aku berjanji padamu, jika aku sudah menyelesaikan kuliahku, dan menjadi pengusaha sukses, aku pulang ke desa, untuk melamarmu, dan membuatkan sebuah gedung sekolah untukmu," Bima berjanji padaku.

"Aku tidak butuh semua itu, yang aku butuhkan hanya, kamu pulang dengan keadaan baik baik saja, aku hanya bisa mendoakan agar cita cita mu berhasil," aku tersenyum di hadapan cinta monyet ku ini.

Hari ini aku dan Bima melihat mathari terbenam di pantai untuk terakhir kalinya, karena besok aku sudah mengajar di sebuah sekolah dasar di desaku, sebagai guru honorer, yang masih berstatus sebagai mahasiswa.

"Aisyah, kamu harus terus semangat ya, kamu besok sudah mengajar, aku juga harus belajar giat," Bima mengingatkanku.

"Tentu saja Bima, demi memajukan pendidikan di desa ini, aku harus semangat," aku bahagia di semangati oleh Bima.

Hari semakin malam, aku dan Bima pulang ke rumah masing masing, aku tak tahu apa yang akan terjadi besok hari, yang jelas aku harus rela melepas kepergian Bima bulan depan.

"Aisyah, kenapa kamu belum tidur, apakah kamu nervous besok harus mengajar di sekolah dasar, tempat almarhum kakekmu mengajar?" tanya ibuku yang mengecek ke tempat tidurku akah putri kesayangannya ini sudah tidur atau masih memainkan ponselnya.

"Ah ibu silahkan masuk bu, aku belum bisa memjamkan mata, aku senang bisa melanjutkan jejak beliau, sebagai tenaga pendidik Bu, hanya saja," aku menghentikan kalimat ku.

"Hanya saja apa Aisyah, apakah ada yang mengganjal di hatimu?" ibuku mengernyitkan dahinya.

Aku menceritakan apa yang aku rasa sumuanya ibuku, tidak ada satu pun yang terlewat, aku biasa bercerita kepada ibuku, termasuk aku sedang berpacaran dengan siapa, ada masalah juga aku ceritakan, ibuku seperti sahabatku sendiri, tempat meluapkan keluh kesah yang ada di hatiku.

"Nak, kamu khawatir sekali, akan berpisah dengan Bima, memangnya apa yang sudah kalian lakukan?" ibu memberi kode, dia takut aku sudah berpacaran melampaui batas.

"Kami ya melakukan apapun yang kami inginkan, yang sering kami lakukan adalah pergi ke pantai, bercerita soal cita cita, pantai adalah kenangan kami berdua," aku mengenang apa yang telah kami lakukan berdua.

Ibu mengangguk mengerti, tetapi ibu menegaskan lagi pertanyaannya, apakah kamu pernah melakukan perbuatan terlarang, sehingga aku merasa gelisah saat Bima sebentar lagi akan meninggalkan desa dan menempuh pendidikan ke kota.

"Astaghfirullah ibu, mana mungkin aku mau melakukan itu, kesucian ku ini, hanya untuk suami sah ku nanti," aku kaget, dan tak sengaja meninggikan suaraku di depan ibu.

"Sayang, maafkan ibu yang bertanya seperti ini, terimakasih telah menjawab dengan jujur," ibu tersenyum dan membelai rambut panjangku.

Jangankan melakukan hal itu, selama berpacaran aku tidak pernah berpegangan tangan sekalipun, ibu lega mendengarkan jawabanku, ibu juga menasehatiku, jika memang Bima adalah jodohku kelak, tidak usah khawatir, dia pasti akan kembali untuk menikah dengan mu.

"Sekarang kamu istirahatlah, besok adalah hari pertamamu mengajar, tidak usah risau, apalagi sampai gelisah tak menentu, Tuhan maha adil, Tuhan tahu mana yang terbaik untuk umatnya, maka ikhlaskan Bima merantau ke kota," ibu mengecup keningku.

"Ibu, terimakasih ya, telah memberi pencerahan kepadaku, sekarang aku akan istirahat, semoga besok hari hariku berjalan lancar," Aku menutup buku yang aku pelajari, menaruhnya di meja, mematikan lampu, tidur di ranjang ku.

Ibu menutup pintu kamarku, aku sudah lega sekarang, menceritakan apa yang aku pendam di hatiku kepada ibu, benar juga aku harus iklas dengan apa yang terjadi, lebih baik mengiklaskan dia pergi untuk meraih impiannya, daripada tetap tinggal bersamaku namun penuh penyesalan, akibat tidak pernah mencoba mengejar mimpi.

"Selamat pagi Bu guru Aisyah," sapa ayahku yang tiba tiba berada di belakangku, saat memakai seragam guru untuk pertama kalinya.

"Ayah, mengagetkan Aisyah saja, pantes nggak yah?" tanyaku sambil merapikan kerudungku.

"Pantes dong nak, anak ayah memang cantik dari sananya, yang semangat ya nak, kalau jadi guru harus sabar nak, ayo nak, sarapan dulu, nanti ayah antar ke sekolah," ayah mengajakku ke meja makan.

Aku, ayah, ibu dan adikku Anton makan bersama di meja makan, sarapan kali ini sungguh nikmat, selesai makan aku berpamitan kepada ibu untuk berangkat mengajar, mengingat sekolah Anton lebih jauh dari tempatku mengajar, aku meminta ayah untuk mengantar Anton sekolah saja, sementara aku memakai sepadaku untuk menuju sekolah.

"Hati hati ya nak, berangkatnya, jangan patah semangat kalau anak didikmu nanti banyak yang aktif, namanya juga anak sekolah dasar," ibu menyemangati ku.

"Ibu, aku berangkat dulu ya, doakan semuanya baik baik saja," ku salami ibu, cipika cipiki, dan mengayuh sepeda menuju sekolah.

Ku lewati sepanjang sawah, yang sebentar lagi siap panen, banyak orang berlalu lalang, aku jadi semakin semangat mengayuh sepeda agar cepat sampai di sekolah.

Jam pertama telah lewat dengan sukses, mulai dari perkenalan guru dan murid, memberi materi pelajaran, sampai tanya jawab dengan murid, sekarang pukul 10 siang, waktunya pelajaran jam terakhir.

"Anak anak, apakah ada yang mau di tanyakan pada pelajaran hari ini?" tanyaku untuk menutup pelajaran hari ini.

"Tidak ada bu," jawab semua murid dengan kompak,

Karena tidak ada pertanyaan aku membubarkan kelas, ku rapikan meja guruku, memasukkan buku kedalam tas, dan bersiap pulang.

Kringg...Kring...

kuambil ponsel dalam tas ku.

"Aisyah, bagaimana hari pertamamu mengajar?" Bima menelponku dan menanyakan bagaimana hari pertamaku mengajar hari ini.

"Alhamdulillah, semua berjalan lancar, aku semakin bersemangat, mencerdaskan anak bangsa ini," jawabku dengan hati riang gembira.

Bima mengatakan jika kepergiannya ke kota, di percepat, hari ini dia sudah menuju pelabuhan untuk bernagkat ke kota, Bima meminta maaf, kepergiannya sungguh mendadak.

Duaarrr....Duarrrr...

Bugh!

Bagai disambar petir di siang hari, hatiku yang semula senang mendadak sedih, tanganku lemas sehingga ponselku terjatuh.

"Aisyah, halo Asiyah, apa kamu mendengar ku, Kapal ku akan berangkat jam 12 siang," telepon Bima terputus, karena sinyal di desa ini memang selalu putus nyambung.

Ku pungut ponsel yang jatub ke lantai, ku masukkan kedalam tas, ku kayuh sepedaku menuju pelabuhan, dengan hari gelisah, dan derai airmata ku susuri jalanan terjal, lewat pasar hingga hampir tertabrak mobil.

---

"Bima kapalmu sudah datang, bersiap siaplah," ibu Bima memperingatkan Bima.

"Tunggu sebentar bu, aku menunggu Aisyah," Bima celingak celinguk ke sana kemari.

Kapal sudah akan berangkat, dengan berat hati, Bima mengangkat kopernya, dan akan masuk ke kapal, dia sudah berpamitan dengan keluarga yang mengantarnya.

"Bimaaaaaa," ku robohkan sepedaku begitu saja, dan berlari menuju dimana tempat Bima berdiri.