PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Jembatan Takdir

Jembatan Takdir

Penulis:Winterland

Berlangsung

Pengantar
Clarita Stella, seorang wanita mandiri dan tegas terhadap hal apa saja yang ia kerjakan di dalam hidupnya. Menopang pondasi keluarga sendirian tak menyurutkan dirinya mengejar impiannya. Takdir mempertemukan Clarita dengan seorang pemuda pintar tapi lugu. Clarita yang pada dasarnya memang suka marah-marah dibuat mati kutu saat berhadapan dengannya. Tenang dan menenangkan. Clarita yang terkenal tak suka diatur-atur, apakah mau diatur oleh pemuda yang baru saja kenal dengannya dan dalam waktu singkat saja, mereka berdua sudah saling kenal satu sama lain layaknya sahabat yang sudah bertahun-tahun lamanya.
Buka▼
Bab

"Gimana?" tanya Clarita keheranan. "Mau tambah lagi?" Awan telah makan tiga porsi penuh. Sedangkan dirinya hanya cukup satu porsi saja, itu pun masih ada sisa. "Luar biasa dia!" kagum Clarita dalam hatinya. Ternyata salah satu dugaannya benar. Awan tidak makan berhari-hari sepertinya. Satu porsi itu setara dengan lima nasi kucing kalau di yogya. Dan dia telah habis tiga porsi? artinya sudah berapa lama Awan tidak makan. Sampai segitunya dia. Perutnya apa tidak sakit apa?

"Mungkin di jeda dulu," jawab Awan tampak sudah kekenyangan. Air matanya seperti mau keluar. Keringatnya juga mulai banyak membasahi wajahnya, seperti habis mandi.

"Mau lagi?" gumam Clarita tak percaya saja. Masih sempat juga untuk makan lagi setelah perutnya hampir meletus begitu.

"Habis ini bisa, sih. Kalau kamu mau traktir lagi juga boleh. Aku nggak bakalan nolak juga," lanjutnya. Rasanya seperti belum puas saja. Menghabiskan banyak makanan seperti itu sudah menjadi hal biasa saja baginya. Terlebih lagi kapasitas perutnya juga masih muat kalau seumpama diisi lagi.

"Dia mau makan lagi?" Clarita semakin heran dengan sosok laki-laki ini. Apa jarang makan dia? sampai ingin makan, makan dan terus makan.

"Kalau lho lapar lagi, tinggal bilang aja. Gue orang baik!" tegas Clarita tak masalah baginya kalau mau traktiran lagi. "Dan jangan sungkan, gue ini orang kaya!" Clarita memang suka meninggikan dirinya. Baginya uang itu tak hanya sekedar alat untuk mencari siapa teman, siapa yang pura-pura ingin jadi temannya.

"Baik!" jawab Awan mulai menguap. Matanya terlihat lelah padahal ia tak melakukan aktivitas berat.

"Nanti lagi, ya." tambanya seperti sudah sangat mengantuk sekali. Mengusap matanya hingga memerah. Clarita diam-diam memperhatikan sosok aneh ini.

"Udah aneh, terlihat aneh sekali lagi," Clarita berbicara dari hatinya. Baru kali ia bertemu dengan orang Indonesia yang memiliki sifat berbeda pada orang-orang yang ia kenal sebelumnya.

Pola pikirnya sama sekali tak bisa ia tebak, padahal biasanya mudah sekali bagi Clarita untuk membaca karakter seseorang hanya dari raut wajah saja, tapi ini! manusia yang satu ini. Sulit sekali dibaca jalan pikirannya.

Perlahan Clarita juga merasa ngantuk sekali. Tadi malam ia tidak tidur seperti biasanya. Cuman tidur tiga jam lalu bangun pagi hingga sampai sekarang.

"Kenapa gue jadi ngantuk kek dia, sih!" mata Awan sesekali tertutup lalu terbuka. Seperti sedang memaksa tubuhnya untuk tetap terjaga.

Tapi rasa kantuk yang terlalu berat, membuat Clarita malah tiba-tiba tidur terlebih dahulu dengan sandaran meja di depannya.

"Lah?" Awan yang melihat itu kaget. Mengapa Clarita sampai mau menahan rasa kantuknya kalau ia sendiri memang ingin tidur segera. Dari pada menunggu dirinya, mungkin tadi lebih baik Clarita bilang kalau mau istirahat sehingga ia tak perlu lama-lama makan seperti tadi.

"Kok gue malah tidur, sih?" heran Clarita sudah berada di fase menjelang tidur. Kesadarannya juga perlahan mulai terganti oleh rasa ingin tidurnya. "Terus, dia?" mata Clarita terlihat kabur saat melihat Awan masih duduk di kursinya. Pandangannya memudar lalu sekarang sudah benar-benar tidur.

"Perasaan ini?" saat melihat posisi tidur Clarita sekarang, langsung teringat akan sosoknya. "Kenapa harus sekarang!" Perasaan ini memang sudah sangat mengganjal hatinya sejak dulu itu. Sudah berkali-kali pula usaha untuk menghilangkan dilakukan. Bahkan secara bertahap hingga sekarang. Tapi kenapa semakin lama justru gambaran tentang sosok kembali hadir lagi. Atau ini hanya sebuah kebetulan?

"Mas, gue mau tidur dulu, yak. Udah ngantuk berat ini."

Kata-kata itu terus membayangi Awan selama lima tahun ini. Sudah berusaha memutuskan apa saja yang ada hubungannya dengan dia. Semakin lama juga, perasaan ini hilang dengan sendirinya, tapi semakin bertemu orang-orang, perasaan itu kembali hadir kalau pikiran tentang dia memang sudah tak bisa dilupakan untuk selamanya.

"Apa hanya ini yang bisa ku perbuat?" tanya Awan bingung menghadapi permasalahan ini. Terakhir kali bertemu dengannya juga dalam keadaan tak baik-baik saja. Konflik kecil yang terjadi antara dia lah yang menyebabkan dirinya memilih untuk pergi dari negara tercinta Indonesia.

Walaupun dalam pertemuan terakhir dengan dia, ada masalah yang belum sempat terselesaikan, tapi mungkin saja itu bagus untuk solusi terbaiknya. Harus ada yang mengalah dalam permasalahan ini, mungkin tidak mudah, tapi dengan bantuan waktu itu sendiri, rasanya yakin kalau suatu saat nanti, perasaan itu memang benar-benar sudah hilang dengan sendirinya.

"Mengingat itu lagi dan lagi!" gambaran tentang sosok sudah melekat sekali. Dari suara ributnya hingga sikap egoisnya itu yang justru selalu menghantui tiap kali mau tidur.

"Kalau begini terus, apa dia sosok yang kedua itu?" tanya Awan pada hatinya. Melihat sosok Clarita yang hampir-hampir mirip dengan dia. Mungkin kalau bersama-sama dengannya untuk beberapa bulan, bisa membantu dirinya dalam melupakan perasaan yang ganjil ini. "Tapi?"

Awan masih trauma bila perasaan itu kembali datang di saat dirinya belum benar-benar siap untuk menerimanya kembali. Perasaan itu selalu menyiksa dirinya di saat melakukan sesuatu.

Bila mana perasaan itu kembali datang dan dirinya belum siap untuk menerima, bagaimana caranya menghadapi perasaan itu untuk kedua kalinya? bimbang dan seperti tak memiliki nyawa sekali untuk sekedar bergerak saja.

"Jauh dari Indonesia dan bertemu orang-orang baru selama perjalanan ini, apa itu adalah takdir yang harus diterima?" tanya Awan melihat sosok Clarita yang tengah tertidur lelap. Gambaran ini akan selalu datang dan terus datang. Clarita selalu menunjukkan berbagai hal yang pernah sosok itu lakukan bersamanya. Tapi itu dulu, sekarang mungkin adalah waktunya untuk memulai semuanya dari awal.

"Tapi dari mana dulu?" sosok Clarita semakin membuat yakin kalau dia memang sosok yang kedua itu. Sosok yang mungkin saja tak beda jauh dengan sosok pertama. Sosok yang mungkin saja akan membantu dirinya dalam melupakan sosok yang pertama.

"Sekali lagi, apa itu bisa?" Clarita tidur pulas sekali. Melihat gambaran matanya yang tertutup itu semakin membuat perasaan ini datang sangat kuat sekali. Berusaha menolak tapi apa daya. Selalu terpikirkan akan sosok di mana pun itu dan sekarang malah tambah jelas di saat sosok wanita yang sedang tertidur ini hadir di kehidupannya sekarang.

Awan termenung memandang paras wajah Clarita, bersih dan natural. Tak terlihat mencolok dengan tambahan make up pada umumnya. Semakin lama memandang, maka sosok dia akan jelas sekali seperti di hadapannya.

"Beberapa kali, aku terus memandangi wajahnya saat ia tertidur, berharap kalau tidak ada sama sekali perasaan yang hadir," kata Awan semakin tak tahan kalau harus menahan ini terlalu lama. "Tapi, semenjak pembicaraan itu, kenapa baru terjadi? kenapa tiba-tiba hadir begitu saja? padahal aku sudah yakin kalau perasaan atau semacamnya itu tak akan hadir sebelum waktunya tiba."