Kota Jantaram Timur.
Seorang pemuda duduk di bangku panjang sambil merokok. Pemuda itu menatap dingin belasan pria tegap berkacamata hitam yang berdiri dalam radius satu meter darinya.
Mereka semua tampak sangat terlatih dan kuat, penuh dengan ancaman.
Tapi pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh. Dia menghembuskan asap rokok dengan acuh tak acuh, seolah-olah menganggap orang-orang di depannya bagaikan semut, sama sekali tidak layak membuatnya mengerutkan kening.
"Pak Hasanudin, Tuan mengharapkan Anda kembali." Tiba-tiba seorang pria paruh baya kekar yang mengenakan jas maju, lalu membungkuk dan berkata dengan hormat.
Bagi pria kekar itu, dia adalah seorang pemuda berkedudukan tinggi yang ditakuti oleh kebanyakan orang.
Di hadapan pemuda ini, pria berjas itu sama sekali tidak berani menunjukkan sedikit pun sikap tidak hormat.
"Kembali?" Hasanudin Juwono mencibir, "Menginginkanku kembali, ingin mengambil hak atau uangku?"
Pria berjas itu gemetar lagi, tidak berani berbicara.
Pria di depannya adalah pewaris tunggal Keluarga Juwono, keluarga terkaya di Indonesia. Terlebih lagi, dia adalah pendekar terbaik di daerah timur. Kekuatannya sangat besar dan tiada tandingannya, kekayaannya pun tak terhitung jumlahnya.
Dialah satu-satunya orang yang memiliki alasan untuk mempertanyakan mengapa Keluarga Juwono berani memata-matai propertinya!
"Kembali dan beritahu dia, Hasanudin yang sekarang ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Keluarga Juwono!"
Hasanudin menekankan nada suaranya. Dia menjentikkan jelaga rokoknya, lalu bangkit dan pergi.
Lima belas tahun yang lalu, sejak diusir dari Keluarga Juwono, Hasanudin berhenti mengakui dirinya sebagai Keluarga Juwono.
Alasan mengapa dia masih menggunakan nama keluarganya adalah untuk memperingatkan diri sendiri, dan untuk mengingat semua penghinaan yang dideritanya saat itu!
Saat ini dia telah menjadi kuat kembali. Dia juga tidak akan melupakan seorang gadis kecil yang saat itu memberikan satu-satunya kehangatan di saat-saat gelapnya.
Hasanudin mengeluarkan selembar kertas pembungkus permen yang sedikit menguning, tatapan dinginnya tiba-tiba melembut.
Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa. Gadis itu tiba-tiba muncul di depannya bagaikan malaikat, lalu mengulurkan tangan kecilnya yang lembut dan memberikan sebuah permen kecil kepadanya yang saat itu sedang kelaparan dan ketakutan.
Sejak saat itu, benih kebaikan telah tertanam di dalam hatinya. Dia bersumpah akan menemukan gadis itu dan memberikan semua kelembutan yang ada di dunia ini kepadanya.
Tiga tahun kemudian, dia mewujudkan harapannya untuk menjadi pendekar terbaik nomor satu, sehingga menginspirasi dan membangkitkan kekaguman di daerah timur.
Dua belas tahun kemudian, dia telah berdiri di puncak dunia. Sangat kuat, sehingga keberadaan siapa pun di dunia ini harus melalui persetujuannya.
Tetapi saat ini, dia telah memilih untuk pensiun.
Karena, dia sudah tidak sabar untuk melihat malaikat yang selalu ada di hatinya.
Sepasang mata hitam murni saat itu, entah akan seindah apa saat ini?
"Malaikat, aku kembali."
——
Kota Jantaram Timur hari ini bisa dikatakan cukup meriah.
Karena Keluarga Laksita, sebuah keluarga yang terkenal di Kota Jantaram Timur, hari ini akan mencarikan suami untuk Supriyatna Laksita, cucu wanita tunggal Keluarga Laksita.
Penampilan Supriyatna sendiri telah menarik banyak pemuda berbakat di Kota Jantaram Timur. Terlebih lagi, ada Keluarga Laksita di belakangnya, tentu saja akan lebih menarik perhatian banyak orang.
Namun Supriyatna sendiri sama sekali tidak menampakkan ekspresi bahagia.
Pada saat ini, di sebuah ruangan pribadi. Supriyatna tampak pucat, mata indahnya memerah, dan wajahnya dipenuhi ekspresi kekecewaan.
Marlina Saad, ibu Supriyatna yang sedang berada di sampingnya, bahkan menampakkan ekspresi yang lebih buruk karena diliputi amarah.
"Sanjaya, apakah kamu masih seorang pria? Mereka jelas-jelas memiliki maksud jahat, apa kamu tidak bisa melihatnya?" Marlina memarahi pria yang duduk di kursi roda.
"Kebahagiaan putrimu akan hancur!"
Keluarga Laksita mencari menantu yang baik, itu hanyalah sebuah alasan.
Solihin Laksita menghabiskan lima belas tahun untuk membuat Keluarga Laksita berkembang menjadi keluarga nomor tiga di Kota Jantaram Timur. Bisa dikatakan, dia benar-benar memulai usaha itu dari nol.
Solihin memiliki tiga putra yaitu: Bakri Laksita, Dakim Laksita, dan Sanjaya Laksita.
Bakri Laksita mengambil alih sebagian besar industri Keluarga Laksita. Sementara Dakim Laksita pergi ke ibukota provinsi untuk membuka pasar bagi Keluarga Laksita.
Mengenai ayah Supriyatna--Sanjaya Laksita, dia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kedua kakinya cacat.
Saat ini dia menjadi bahan ejekan semua orang.
Ide mencarikan suami untuk Supriyatna kali ini, terjadi karena Bakri dan Dakim telah menghasut Solihin untuk membuat keputusan.
Kata-katanya tentu saja diperhalus. Mencari seorang pria yang hebat dan bisa diandalkan untuk menjadi suami Supriyatna.
Hanya saja, kandidatnya adalah orang biasa yang sama sekali tidak berkompeten. Bahkan yang lebih menakutkan lagi, ada seorang pria yang lebih tua sepuluh tahun dari Supriyatna, dan dia menderita gangguan mental.
Apakah ini suami yang dianugerahkan untuk Supriyatna?
Ini akan menghancurkannya!
Sanjaya sangat marah, tetapi tidak berani melawan orang tua itu. Jadi saat ini dia hanya bisa menebalkan muka dan berkata, "Dia adalah kakek Supriyatna sendiri, tentu saja tidak mungkin menyakiti Supriyatna."
Mendengar kata-kata suaminya yang tak terbantahkan, Marlina sangat marah hingga hampir pingsan.
Sanjaya adalah anak yang berbakti, dia selalu melakukan apa yang dikatakan Solihin. Terlebih lagi setelah cacat, dia menjadi semakin lemah dan mudah ditipu.
Marlina menangis sedih dan memarahi Sanjaya tanpa henti.
Supriyatna duduk diam di samping dengan ekspresi membeku.
"Sudahlah, Bu." Supriyatna memaksakan diri untuk tersenyum, lalu berkata, "Mungkin... Kakek benar-benar menemukan seorang pria yang baik untukku."
Dia tahu betul kalau kedua pamannya takut kepadanya.
Sejak kelulusannya hingga saat ini, hanya dalam waktu dua tahun yang singkat, prestasinya telah berhasil membuat beberapa orang segenerasinya berada di bawah tekanan.
Saat ini mereka mengkhawatirkan kebangkitan Supriyatna, sehingga akan bersaing dengan anak-anak mereka untuk memperebutkan properti keluarga. Itulah yang membuat mereka menghasut orang tua itu untuk mencarikan suami baginya.
Meskipun Marlina dan Sanjaya tahu, tetapi mereka tidak bisa melawan.
Dalam Keluarga Laksita, orang tua itu selalu lebih mementingkan pria daripada wanita, ini adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Supriyatna berdiri dengan sedikit gemetar, lalu dia menenangkan orang tuanya, "Ayo kita pergi, jangan sampai terlambat, nanti Kakek akan bilang kita tidak tahu diri."
Kini ayahnya cacat, seluruh keluarga harus bergantung kepadanya, jadi dia tidak bisa keras kepala.
Lobi hotel dihiasi dengan lampu-lampu yang indah dan tampak semarak.
Solihin mengenakan pakaian adat tradisional, dia tampak sangat sehat dan bahagia.
Di antara para tamu, banyak orang yang memuji dan mengatakan bahwa Keluarga Laksita memilih menantu yang sangat luar biasa.
Bakri berdiri di samping Solihin. Setelah melirik jam, dia segera berkata dengan suara keras, "Hasil pemilihan menantu telah keluar. Pria yang terpilih tentu saja adalah pemuda berbakat yang paling luar biasa."
Setelah Supriyatna menikah, maka aset Keluarga Laksita tidak akan ada hubungannya lagi dengan Supriyatna.
Karena Solihin adalah orang yang sangat konservatif. Dia hanya menyukai cucu laki-laki, dan tidak suka cucu perempuan.
Jika pria dari keluarga lain berani menyentuh aset Keluarga Laksita, maka dia akan turun tangan dan membunuhnya.
"Para hadirin." Solihin berdiri, "Saat ini saya akan mengumumkan calon suami cucu saya, Supriyatna."
Tubuh Supriyatna sedikit gemetar, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
Kakeknya tidak pernah mempedulikannya, hanya karena dia bukan anak laki-laki.
Saat ini, bahkan hak untuk memilih suaminya sendiri telah diambil alih.
Sebenarnya Supriyatna ingin menolak. Tetapi ketika melihat ayahnya yang duduk di kursi roda karena kedua kakinya yang cacat, dia menggelengkan kepalanya sendiri. Bahkan dia menekan keinginan melawan yang ada di dalam hatinya.
"Dari belasan pelamar yang luar biasa, akhirnya kami telah melewati seleksi terakhir untuk memutuskan yang terbaik. Kami berharap para hadirin memberikan doa restunya bagi pasangan baru ini."
Terdengar suara tepuk tangan meriah bawah panggung.
Suara itu sangat menusuk telinga Supriyatna sekeluarga.
Bakri mengambil sebuah kartu, lalu menyerahkannya kepada Solihin.
Mereka telah menyelidiki dengan jelas. Orang yang masuk dalam pilihan adalah orang yang tidak memiliki latar belakang dan seorang yatim piatu.
Kini pria itu telah berusia lebih dari tiga puluh tahun, tanpa kemampuan akademik dan keahlian khusus, seorang pria yang sama sekali tidak kompeten.
Tentu saja, yang paling penting adalah dia menderita gangguan mental, dan penyakit itu bisa menurun kepada anak cucunya.
Jika dia dan Supriyatna menikah, Sanjaya sekeluarga tidak akan memiliki kedudukan lagi di dalam industri Keluarga Laksita.
Bakri melirik Supriyatna sekeluarga, rasa bangga terlintas di matanya.
Solihin mengambil kartu di tangannya. Dia menyipitkan matanya sejenak, lalu berkata, ''Pemuda yang beruntung adalah Hasanudin Juwono!"
Semua orang menoleh dan melihat ke arah pintu hotel, kebetulan calon suami Supriyatna baru saja datang.
Sanjaya dan Marlina telah menundukkan kepala mereka. Mereka benar-benar tidak tahan melihat orang yang menderita gangguan mental.
Berbeda dengan Supriyatna, dia justru membuka mata lebar-lebar. Meskipun hatinya terasa berat, tetapi dia juga ingin tahu, pada akhirnya siapa yang menjadi suaminya?
Kedua pasang mata itu bertatapan, tapi tak ada kata-kata yang terucap.
Hasanudin melangkahkan kakinya dengan mantap menuju Supriyatna. Orang-orang melihat mereka dengan tatapan mengejek.
Melihat adegan itu, Bakri melontarkan candaannya, "Aku tahu kamu sangat bersemangat, tapi kamu tidak perlu berterima kasih kepada kami. Kami hanya berharap kamu dapat memberikan keluarga yang sempurna kepada Supriyatna di masa depan."
Di mata Bakri dan yang lainnya, Hasanudin hanyalah seorang yatim piatu, bahkan seorang sanak keluarga pun dia tidak punya.
Kini dia bisa menjadi suami Supriyatna, juga sebagai seorang menantu yang tinggal di rumah mertua. Itu sudah merupakan sebuah berkah yang sangat luar biasa.
Bakri menarik Supriyatna, wajahnya tampak penuh perhatian. Orang yang tidak tahu akan benar-benar mengira bahwa paman ini sangat menyayangi keponakannya.
Bakri meletakkan tangan kecil Supriyatna yang sedingin es itu di tangan besar Hasanudin. Bakri memperlihatkan senyuman lebarnya. Sesaat kemudian terdengar suara tepuk tangan di seluruh penjuru ruangan.
Tapi Sanjaya dan Marlina merasakan kepahitan yang luar biasa di dalam hati mereka.
Mulai besok, seluruh Kota Jantaram Timur akan mengetahui lelucon ini.
Supriyatna telah menikah dengan seorang suami yang tidak berguna dan menderita gangguan mental!