PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Egois

Egois

Penulis:Izza Asyifa

Berlangsung

Pengantar
Apa yang terucap manis di mulut tak semuanya sesuai dengan hati. Terlebih terucap dari orang terdekat. Luka hati yang diberikan akan lebih kuat menancap dibanding yang ditorehkan orang lain. Luka itu juga yang mengajarkan untuk menjadi sosok kuat dan tentu saja untuk membungkam mulut orang-orang yang selalu memandang rendah status orang lain.
Buka▼
Bab

[Yanti, Aku saja yang istrinya tak berani meminjam uang pada Mas Eza]

Deg.

Ada rasa nyeri saat aku membaca pesan balasan dari Mbak Eka, istri dari Mas Eza-abangku. Entah kenapa aku merasa, kalau pesan dari Mbak Eka menunjukkan sebuah penolakan atas permintaanku. Meski tidak secara gamblang menyampaikannya, aku bisa merasakan penolakan itu. Selain itu, tumben Mbak Eka yang membalas pesanku, bukan Mas Eza. Apalagi pesan itu berasal dari nomor ponsel Mas eza.

Meski perasaan tak menentu, aku mencoba bersikap biasa. Membuang pikiran buruk yang sempat terlintas. Tak mungkin lah, Mbak Eka seperti itu. Selama ini, tak ada yang aneh dengan sikapnya. Selalu ramah dan lemah lembut.

Benar, mungkin aku saja yang terlalu sensitif.

[Lah, kenapa juga Mbak Eka Pakai acara minjam, kan tinggal minta, beres]. Tak lupa kusematkan dua emoticon tertawa lebar di akhir kalimat.

Terlihat Mbak Eka tengah mengetik balasan. Setelah menunggu beberapa saat, pesan itu masih belum selesai juga. Entah apa yang ditulis oleh iparku itu?

[Ngomong saja langsung pada Mas Eza! Mungkin kalau yang pinjam adik perempuannya, siapa tahu dikasih. Aku saja mau pinjam uang pada masmu nggak berani.Tapi, kamu jangan bilang Mas Eza kalau aku mau pinjam uang tapi nggak berani. Aku tak mau aib suamiku diketahui orang lain. Cukup aku dan Allah yang tahu. Tolong hapus langsung pesanku ini!!!]

[Nggak usah dibalas pesanku].

Berulang kali aku membaca pesan dari Mbak Eka. Tetap saja merasa ada yang janggal. Perasaanku mengatakan bahwa ada masalah antara Mas eza dengan istrinya.

Lalu, aib mana yang dimaksud Mbak Eka? huh.

Tanganku gatal ingin membalas pesan itu. Menanyakan apa maksudnya, tapi melihat pesannya yang memintaku untuk tak membalasnya, membuatku ragu.

Apa mungkin Mbak Eka keberatan aku meminta bantuan pada Mas Eza? Kalau bukan pada Mas Eza, siapa lagi aku meminta tolong? Hanya dia saudaraku yang jaraknya dekat, sedangkan meminta tolong pada Temi tak mungkin. Selain jaraknya yang jauh, ada perasaan tak enak pada istrinya. Apalagi setelah tahu kalau iparku itu tak secantik parasnya.

Minta tolong pada Bapak? Ah, aku sudah sangat malu. Terlalu sering diri ini merepotkannya.

Astaghfirullah ... Apa yang harus aku lakukan?

Lagi, aku membaca pesan dari Mbak Eka. Kembali memastikan bahwa aku salah membaca, atau mungkin salah paham. Namun, hatiku justru semakin yakin kalau Mbak Eka melarangku untuk meminta bantuan pada suaminya, meski tak secara langsung.

Saat ini, aku memang sedang membutuhkan uang untuk berobat ke dokter. Akibat asam lambung yang sudah sejak lama kuderita. Aku sendiri merasa heran, kenapa sering kambuh? padahal aku sudah berusaha mencegahnya dengan makan teratur, juga menghindari makanan-makanan yang bisa memicu sakit perut.

Jika sudah kambuh seperti ini, napasku juga terasa sesak. Perut terasa besar, kepala berputar-putar, dan juga mual hebat yang membuatku susah menelan makanan. Aku hanya bisa berbaring, jika lelah berbaring maka aku akan sujud dengan menekan perut, berharap napasku kembali normal.

Lelah? tentu saja, tapi aku bisa apa? selain menerima keadaan. Ikhtiar tak henti-hentinya. Mulai dari yang herbal sampai berulang kali ganti rumah sakit, tetap tak menghilangkan penyakit ini dari dalam tubuhku.

Aku ingin sekali sembuh. Sudah hampir dua minggu, aku tak bisa beraktivitas. Bagaimana tidak? untuk jalan saja, dadaku terasa terhimpit batu berton-ton, membuatku kesusahan napas. Oleh karena itu, aku ingin pergi berobat. Hanya saja tak ada pegangan uang sama sekali.

Mas Pandu-suamiku, juga sudah hampir dua minggu tak bisa pergi bekerja dikarenakan kondisi tubuhnya sedang sakit. Demam tinggi. Jadi tak ada sama sekali pemasukan. Beruntung sebelum jatuh sakit, Mas Pandu sempat membeli beras satu karung dengan berat 25 kilogram. Cukup untuk makan sebulan. Mengenai lauk, anak-anak yang menyediakan. Tak mungkin juga, terus mengandalkan mereka. Apalagi gaji mereka tak seberapa.

Sebenarnya aku ada uang, namun saat ini masih dibawa oleh Mas Pandu. Mau memintanya, ada perasaan takut juga segan. Apalagi aku tahu bagaimana sifat suamiku saat sakit. Tempramen dan tidak mau diganggu. Maka dari itu, aku memilih meminjam uang pada Mas Eza. Dan langsung menggantinya saat Mas Pandu sembuh.

Aku meletakkan kembali ponsel di atas kasur. Jujur saja ada perasaan sedih juga kecewa. Sedih karena tak kunjung sembuh, dan kecewa karena orang yang kuharapkan bisa membantuku justru menolak untuk membantu. Aku yakin andaikan yang menerima pesanku bukan Mbak Eka, tapi Mas Eza sendiri. Abangku itu pasti mau membantuku.

Apa aku salah meminta bantuan pada Mas Eza?

Brakk ...

"Emakk ...," teriak via memanggilku.

Aku yang sedang berbaring di dalam kamar dan menatap langit-langit kamar tersentak kaget saat mendengar suara anak gadisku itu. Reflek kepala ini menoleh ke arah pintu kamar, di mana ia berdiri menatapku.

Tunggu!

Kenapa wajahnya murung? selain itu, ada jejak air mata. Apa ia selesai menangis?

"Nduk ...." Aku melambaikan tangan. Memintanya untuk mendekat. Sebagai orang yang sudah melahirkan dan merawatnya sejak kecil, aku bisa merasakan kalau putriku baru sedang tak baik-baik saja. Bukankah ikatan Ibu dan anak itu kuat?

"Mak, kalau perlu apa-apa bilang pada Via saja, Atau sama anak-anak. Mulai sekarang jangan mengharap pada keluarga Pak dhe. Meski kita bukan orang kaya, tapi kita masih ada harga diri," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku bisa merasakan ada amarah pada ucapannya, tapi karena apa?

"Apa yang terjadi, Nduk? Kenapa kamu bilang seperti itu?" tanyaku dengan suara pelan.

Bukan menjawab pertanyaan ku. Via justru menangis. Dan itu membuat diri ini semakin bingung. Ia tak akan seperti ini jika tak ada yang melukai hatinya. Tapi siapa? lalu kenapa ia membawa nama keluarga Mas Eza? Apa ini ada hubungannya dengan Pesan Mbak Eka tadi?