PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Haid Pertamaku

Haid Pertamaku

Penulis:Pena Asmara

Berlangsung

Pengantar
Kisah tentang gadis kecil bernama Amira, yang sedari balita sudah dijual kepada seorang muncikari bernama Mami Merry, bersama beberapa anak wanita lainnya. Tujuan sang mami hanya satu, menjual kegadisan mereka dengan harga tinggi kepada penawar tertinggi. Pertemuan Amira dengan Darmawan, akhirnya merubah takdir hidupnya.
Buka▼
Bab

Namaku Amira, usiaku sekarang jalan empat belas tahun. Aku adalah korban dari mafia perdagangan anak. Aku terjual saat masih bayi pada Mami Merry--seorang mu*cikari, penyedia khusus perempuan penghibur berusia muda, di bawah umur dua puluh dua tahun.

Aku terpenjara dalam asuhan Mami Merry. Sama seperti lima gadis kecil lainnya. Diasuh dan dibesarkan untuk dijadikan pemuas nafsu lelaki berduit.

Di bawah pantauan Mami Merry, tidak ada tenaga yang terbuang percuma. Mencuci, memasak, dan segala pekerjaan rumah adalah tugas yang tak boleh dibantah. Kami semua adalah budak. Patuh pada perintah adalah keharusan mutlak.

Keperawanan kami adalah harta berharganya. Puluhan juta, bahkan sampai di atas seratus juta--harga yang Mami Merry tawarkan kepada para pelanggan. Bos-bos penikmat maksiat, berharap khasiat pada sebuah darah keperawanan.

"Itu harga yang pantas, untuk mengembalikan uang yang sudah aku keluarkan dalam merawat kalian." Begitu ucapnya ketus, kepada kami.

Di usia dini, kami sudah diajarkan cara merias dan merawat diri. Cara memuaskan pria, mengenalkan titik-titik birahi pada pria, cara berse*ggama. Inti utamanya adalah memberikan servis yang terbaik kepada para tamu langganannya.

÷÷÷

Siang itu, aku melihat Asmah yang bernasib sama denganku, sedang menangis di pojok kamar mandi. Tubuhnya menyender di tembok dan tangannya memeluk lutut kaki.

"Kamu kenapa, Asmah?" tanyaku khawatir, sambil ikut berjongkok di sampingnya. Tanganku menyentuh bahu Asmah.

"Kamu kenapa?" tanyaku sekali lagi, karena Asmah belum juga menjawab pertanyaanku.

Ragu-ragu Asmah berucap, "A--a--aku dapat haid, Ra."

Asmah langsung memeluk erat dan menangis dalam pelukanku.

"Ya ... Allah ...," ucapku lirih

Haid adalah azab bagi kami--budak-budak Mami Merry. Seperti layaknya menunggu sebuah kematian yang pasti datang, tetapi tidak tahu kapan.

Kedatangan haid adalah pertanda jika kami siap untuk ditawarkan, dilelang dengan harga termahal. Mami Merry hanya tinggal menghubungi pelanggan kelas atasnya, dan mencari siapa penawar tertinggi. Lantas setelah masa haid Asmah berakhir, maka siap untuk dijual dan ditawarkan keperawanannya.

Malam ini, Asmah dan Anita sudah di persiapkan. Diberikan pakaian bagus dan di dandani layaknya wanita dewasa. Tidak lupa, Tante Yusnia, lelaki yang berperilaku seperti perempuan--asisten Mami Merry--mewanti-wanti dan mengingatkan mereka berdua untuk mempraktikkan ilmu maksiat yang sudah diajarkan. Agar dapat memberikan kepuasan kepada pemenang lelangnya.

Hingga menjelang subuh, aku tidak bisa tidur, atau mungkin memang tidak kepingin tidur. Aku menunggu Asmah dan mencari tahu bagaimana keadaannya. Sangat khawatir terhadapnya.

Asmah dan Anita pulang dengan wajah yang lelah, seperti menahan rasa sakit. Langkah mereka tertatih-tatih, sesekali memegang pangkal paha. Air mata berurai di pipinya. Asmah terus menangis memelukku. Dia tidak bercerita apa pun dan hanya menangis saja. Terus menangis.

Menjelang siang, Mami Merry--si raksasa gendut datang dan langsung masuk ke kamar. Mengumpulkan kami berlima di dalam kamar, dipanggilnya Asmah dan Anita.

"Ini uang untuk kalian berdua, lima juta untukmu Anita dan lima juta untukmu Asmah." Sembari menyerahkan uang itu ke tangan Asmah dan Anita, Mami Merry menoleh ke arah Tante Yusnia.

"Ini hape android termahal untuk kalian berdua," katanya lagi sambil menyerahkan gawai android terbaru untuk Anita dan Asmah.

"Dan, kalian berdua--Anita dan Asmah, tidak perlu lagi bekerja untuk membersihkan rumah. Kalian hanya khusus menerima pelanggan."

Licik memang Mami Merry. Kami yang terbiasa tidak pernah memegang duit, diberikan duit sebesar itu dan gawai terbaru. Juga tidak perlu bekerja lagi. Itu cara licik Mami Merry untuk terus menjerat kami semua.

Beberapa bulan kemudian, kulihat Asmah dan Anita perilakunya sudah mulai berubah. Sepertinya mereka sudah mulai menikmati uang yang mudah untuk didapatkan. Mereka bisa membeli apa saja yang mereka mau dan inginkan. Sesekali Asmah memberikan uang jajan kepadaku dan banyak bercerita jika sering diberikan barang-barang mewah dari pelanggannya. Aku hanya diam saja. Dalam hati, aku tidak ingin seperti Asmah.

÷÷÷

Hari ini terasa lelah sekali. Kerjaan seakan tidak pernah habis buatku. Di saat aku sedang menjemur pakaian, aku terhenyak, ada darah mengalir perlahan dari pangkal paha turun ke arah kakiku. Air mata mengembang, mengalir perlahan.

Apakah ini memang takdirku?

Aku benar-benar dibuat sedih, bingung sekaligus panik, dengan kedatangan haid pertamaku.

Rasa ketakutan, jika keperawananku akan di jual dan harus melayani kepuasan sang pemenang tender atas tubuhku, menimbulkan rasa ketakutan yang teramat sangat.

Apa yang harus kulakukan? Menyerah perlahan pada keadaan, atau menyembunyikan kehaid'anku secara diam-diam.

Aku menoleh ke kiri dan kanan. Memperhatikan sekitar tempatku menjemur pakaian di lantai paling atas tempat penyekapan kami. Sepi, tidak ada siapapun, lalu cepat-cepat kubersihkan darah haid, menyembunyikan pakaian bekas kupakai membersihkan darah, dan mengambil sebuah kaus t-shirt, entah itu milik siapa ... untuk menyembunyikan darah haid.

Untuk keluar membeli pembalut pasti tidak mungkin, melihat ketatnya pengawasan keluar masuk yang di jaga 24 jam, oleh tukang pukul Mami Merry. Bahkan, untuk membeli camilan atau minuman ringan di warung dekat tempat kami diasuh pun, kami diawasi ketat.

Satu-satunya cara adalah, jika di antara " SENIOR" mendapatkan haid, dan lalu menyuruhku untuk membeli pembalut. Itu pun terus dipantau.

Selesaiku menjemur pakaian, aku langsung menemui Asmah. Kuajak Asmah sedikit menjauh untuk mem bicarakan tentang haid ini kepadanya secara diam-diam.

"Aku dapat haid, As," kataku pelan kepada Asmah, sembari mataku mengawasi sekitar.

"Kapan?" setengah berbisik, Asmah menanyakan.

"Tadi, di saat aku sedang menjemur pakaian."

"Trus, buat nutupin haidmu, bagaimana?" Sembari Asmah menoleh kekiri dan kanan. Takut ada yang ikut mendengarkan pembicaraan kami.

"Aku gunakan T-shirt untuk menutupinya," jawabku pada Asmah.

"Mau berapa lama kau sanggup menyembunyikan haidmu, Ra?" tanya Asmah

"Entahlah ... aku juga bingung," jawabku pelan.

Air mataku mulai mengembang, mengalir perlahan.