PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Fail In Love

Fail In Love

Penulis:savage page

Tamat

Pengantar
Katanya salah satu momen yang paling diingat oleh seseorang adalah momen kegagalan. Kegagalan meraih impian, kegagalan menjaga yang tersayang, atau kegagalan menerima realita di depan mata. Semua jenis kegagalan itu akan jadi lebih menyakitkan jika dalam prosesnya sudah mencapai kata "hampir". Hampir terwujud, hampir bersama, hampir selamat. "Sih." "Ya?" "Lo selalu punya waktu dan kesempatan lepas dari dia." Adimas menyurukkan sebungkus rokok ke dalam saku jaketnya kala melanjutkan perkataannya, "Tapi, kenapa gak lo lakukan?" "Karena gue tau, sebesar apa pun gue mencoba ... gue hanya akan kembali ke titik awal dan usaha gue sia-sia. Jadi, daripada gue susah payah menolak kenyataan, lebih baik gue hidup bersama kenyataan pahit kaya gini." Dari sekian hampir, kegagalan paling pedih adalah kegagalan yang memang harus terjadi. Berulang kali, menghujam tanpa ampun kemudian menyaksikan penderitanya mati perlahan. © 2021, Savagepage.
Buka▼
Bab

“Ayoo buruan!” Langsung gue tarik lengan berisi Adimas tanpa aba-aba yang membuatnya hampir terjungkal dari kursi tempat dia duduk sejak 2 jam lalu. “Ini hari pertama, gue gak mau dateng telat!”

Adimas mendengus acuh, "Gaya lo kaya murid teladan banget. Biasa juga ngatain dosen di grup."

Gue melotot mendengar ucapannya, "Yee, itu tergantung dosennya kali!"

"Dasar pilih kasih jadi orang," cibirnya sebelum berlalu sembari membawa tas gue turut serta bersamanya. Nyindir sih nyindir, tas gue tetep aja digondol.

Hari ini bukan hari pertama perkulahan semester baru. Tapi, tingkah manja Adimas yang minta ditemenin masuk kelas matkul Bahasa Indonesia Wajib membuat gue merasa seperti ibu-ibu yang terpaksa ikut sekolah karena anaknya gak mau ditinggal sendirian.

Menjengkelkan.

Kalau aja gue gak berhutang hadiah hasil kekalahan main uno tempo hari, kayaknya sekarang gue sudah duduk cantik di kelas Bahasa Inggris.

Gue berlari-lari kecil menyusul langkah lebar Adimas yang kelihatannya masih kesel setelah hampir terjungkal depan mahasiswa lain. Semua masih berjalan lancar dan gue bisa saja menjambak rambut Adimas kalau gak ada orang lewat tiba-tiba dan menubruk gue. Belum cukup sampai situ, kesialan lannya datang dari minumannya yang membuat setengah kaki gue basah.

"Eh, maaf-maaf!" Gue refleks meminta maaf. Detik berikutnya gue membuka mulut lagi untuk mengeluh, "Duh, sepatu gue..."

Bukannya membantu, cowok yang barusan nabrak gue malah diam di di tempatnya dengan botol minuman yang tersisa gak sampai setengahnya. Matanya memandang kaki gue, clueless. "Basah gak?" tanya dia akhirnya.

"Basah sampe ke lapisan terdalam kulit gue," sahut gue kesal sekaligus panik. Pasalnya mata kuliah Bahasa Inggris dimulai 15 menit lagi dan jarak dari Fakultas Ilmu Keolahragaan ke kampus utama lumayan jauh, ditambah sepatu gue basah begini. Duh, rasanya gue mau bolos aja.

"Duh, sori banget ya? Bukannya gak mau tanggung jawab atau gimana tapi gua bentar lagi ada kelas dan gak bisa lama-lama dis—"

"Siapa, Ci?" Ah, akhirnya Adimas muncul juga. Memang deh, soal membela dan menolong gue dari masalah kaya gini jagonya dia banget. "Hoi."

Salah satu telunjuk gue menunjuk cowok asing itu sementara yang satunya lagi menunjuk kaki gue yang persis akuarium berjalan. Lepek, kuyup. "Pas gue lari ada yang nubruk terus minumannya tumpah kena sepatu gue sampe kuyup. Ini orangnya."

"Udah minta maaf lo?" Tanya Adimas lagi. Gue melihat dia bingung, ini anak gak salah tanya kan? Kok kayaknya nanya ke gue bukannya ke cowok yang nubruk gue.

"Hah?"

"Lo udah minta maaf belom ke abang-abang ini?" Adimas kembali bertanya lebih jelas, "Maafin ya, dia emang suka lari-larian kaya tadi. Sorry minuman lo abis buat ngerendem kaki temen gue."

Asli sih. Gue melongo mendengar pernyataan demi pernyataan yang keluar dari mulut durjana Adimas.

"Gapapa, gue juga salah. Jalan gak liat-liat."

"Yaudah, kalo mau cabut silakan. Kita juga mau pergi," Adimas merangkul gue kencang sengaja menahan gue.

Begitu cowok itu agak jauh dari kami, gue langsung memukul dada Adimas sekuat tenaga. Peduli amat dia bakal kesakitan atau marah.

"Anjrit! Napa sih lo?!"

Bibir gue melengkung ke bawah, Gue jelas kesal. "Kenapa lo gak belain gue tadi, ha? Lo temen gue apa temennya cowok tadi?!"

Adimas mengendikkan bahu acuh, "Kalo bisa sih gua lebih milih jadi temen orang tadi ketimbang jadi—ANJENG!"

Sukurin lo. Lagian bisa-bisanya dia bilang begitu mana gue disuruh minta maaf dan dibilang hobi lari-larian kaya anak kecil segala. Demen banget bikin imej sobatnya hancur berkeping-keping.

"Gak sabaran, lari-larian, ngambekan. Itu bukannya kaya anak kecil ya, Ci?" Lagi, si Adimas bersuara. "Mau temen atau bukan, gua gak peduli. Kalo dia salah ya ngapain gua bela."

"Ya tapi kan gue jadi pihak yang lebih dirugikan dibanding cowok itu, Mol!" kilah gue bersikeras.

"Betul, Aci anak Ibu Sarmila. Tapi lo juga gak tau kan apa yang bikin dia gak fokus jalan sampe nabrak dan numpahin minumannya ke lo?" Lagi juga, Adimas masih berusaha membuat ego gue mereda dengan semua pendapatnya sembari menghidupkan motor gunungnya dan memberi gue helm abu-abu, "Pake, dikancingin juga."

Gue menurut sambil masih menekuk wajah sebagai bentuk protes. Masih kesel sama kelakuan dan omongannya yang sok bijak.

"Kostan Divya deket gak dari sini?" Tiba-tiba topik pembicaraannya berubah begitu kami keluar dari gerbang Fakultasnya, "Woy?"

"Mau ngapain sih emang? Gue tuh lagi buru-buru ke kampus ngejar matkul, Adimas Hakim. Kok lo malah nanya kostan Divya?" Sumpah, kepalanya Adimas kayaknya kesiram minuman cowok tadi juga deh. Omongannya jadi ngaco. "Buruaan, tinggal sepuluh menit lagi."

Gue kira, selepas gue bilang begitu si Adimas langsung tancap gas membawa motornya menuju Jayendra. Tapi, nyatanya enggak. Kami masih di parkiran FIK dengan mesin motor yang masih menyala dan beberapa motor lain mengantre di belakang.

Detik berikutnya ada suara klakson menandakan kami harus segera pergi karena menghalangi jalan.

"Dimas!"

"Apa?"

"Ini motor lo kenapa gak jalan-jalan? Motor lain di belakang berisik tuh, minta kita buran jalan," tutur gue setengah emosi setengah panik diburu masa. "Lo kalo pengen balas dendam ntar aja deh, abis gue kelar kelas dilanjut lagi."

"Jawab dulu pertanyaan yang tadi."

“Yang ma—Oh Gawwd! Adimas? Seriously?”

Bahunya terangkat sesaat, gak peduli. “It depends on you.”

Demi kancut Ptrick, ingatkan gue buat memukul kepalanya pake helm nanti. Gampang banget buat dia kali ya situasinya? “Mau ngapain sih? Gue “kan udah bilang—“

“Sepatu lo basah, kaki lo juga.” Gue menghentikkan omelan guna mendengar alasan atas tindakan irasionalnya. “Kalo kaki lo basah kasihan temen-temen lo, nanti kebauan sekelas gimana?”

Adimas Hakim pastilah makhluk Tuhan yang paling brengsek di muka Bumi segalaksi Bima Sakti.