“Manda Aulitama, ini kartu bank saya, passwordnya 131224. Di rumah perlu menambah barang apa, kamu atur saja sendiri.”
Sudah lewat beberapa jam, di telinga Manda masih terngiang perkataan suami yang baru dinikahinya saat menyerahkan sebuah kartu bank padanya tadi pagi.
Jujur saja, pemahaman dia tentang lelaki yang menjadi suami dia saat ini masih minim sekali.
Selain memberitahu sendiri kalau dia bernama Leonard Biantara, yang lain mengenai dirinya dia nggak tahu sama sekali. Bahkan di rumahnya ada siapa saja dia juga nggak terlalu jelas.
Manda juga nggak tahu dari mana keberanian dia yang mau menikah dengan lelaki yang hanya dua kali bertemu.
Sepuluh hari lalu, dengan bantuan sahabatnya Chika Tasya yang antusias, ketika Manda untuk ke sekian kalinya melangkah ke jalan kencan buta, dia bertemu dengan lelaki bernama Leonard Biantara ini.
Awalnya dia tidak memiliki harapan apa-apa, lagipula sejak tiga tahun lalu dia dijebak orang lain, dia sudah nggak punya hak untuk pilih-pilih, yang ada malah orang lain yang pilih-pilih terhadapnya.
Justru karena dia nggak bisa lagi pilih-pilih makanya hari kencan buta dia datang lebih awal 15 menit.
Keadaan dirinya sendiri nggak ada kelebihan, jadi hanya bisa memperlihatkan dari sisi lainnya dengan baik, berharap bisa memberikan kesan yang baik pada pihak lawan.
Jika bisa bertemu dengan lelaki yang cocok maka dia akan menikah, dengan begitu juga bisa membuat orang tuanya tenang.
Lelaki yang kencan buta dengannya tidak awal dan juga tidak telat.
Lelaki berjas dan mengenakan sepatu kulit berpakaian sangat formal, membuat orang merasa kalau dia sangat menghargai kencan buta kali ini, memberikan perasaan pertama pada pandangan Manda sangat baik.
Cara dia menyapa juga sangat biasa: “Halo, Nona Aulita! Saya Leonard Biantara.”
Sebuah kalimat yang sangat biasa hanya karena suara dia sangat magnetis jadi membuat Manda merasa sangat enak di dengar, kesan terhadap lelaki ini juga bertambah lagi.
Mereka berkomunikasi dengan singkat dan biasa kemudian meninggalkan nomor telepon dengan sopan lantas pergi masing-masing.
Jumlah kencan buta sudah terlalu banyak, Manda juga tidak menanggapi kencan buta kali ini dengan serius.
Dia pikir, kencan buta kali ini juga akan sama dengan dulu yang lewat begitu saja, nggak disangka dua hari kemudian dia menerima telepon dari Leonard Biantara.
Suara dia masih tetap sungkan dan sopan: “Nona Aulita, apa kamu ada waktu luang nanti malam?”
Malam itu, Leonard mengajak dia makan di sebuah Rumah Makan Hidangan Sichuan.
Manda nggak terlalu suka dengan suasana canggung kencan buta, di perjamuan dia nggak banyak bicara. Selama makan dia terlihat sedikit berhati-hati juga nggak makan dengan kenyang.
Tadinya ingin mencari alasan untuk pergi dulu,dalam keragu-raguannya, Leonard berbicara terlebih dulu: “Nona Aulita, saya rabu depan ada waktu, di hari itu kita pergi membuat akta nikah, bagaimana?”
“Akta, akta apa?” Manda terkejut dengan omongan Leonard hingga dia tertegun.
“Akta nikah.” Dia mengulangi omongannya, nada suaranya sangat serius dan bersungguh-sungguh, sedikitpun nggak seperti sedang bercanda.
“Akta nikah?” Manda masih tetap nggak berani percaya dengan apa yang didengarnya. Tangan di atas pahanya mencubit dengan kuat untuk memastikan kalau dirinya nggak sedang bermimpi, barulah dia mulai mengamati dengan sungguh-sungguh lelaki di depannya.
Leonard Biantara memiliki sepasang alis pedang yang sangat tebal, matanya terang bersinar, bentuk wajahnya indah seperti lukisan dan pahatan. Merupakan jenis yang jika dimasukkan ke ribuan kumpulan orang juga akan langsung bisa menemukannya.
Raut wajah dan sikapnya sangat serius, terlihat bukan orang yang impuls. Ini baru pertemuan kedua kali mereka, dia sudah bilang mau menikah dengannya?
Selanjutnya, suara magnetis rendah lelaki kembali masuk ke dalam telinganya: “Saya kira Nona Aulita sama dengan saya, kencan buta karena ingin membina sebuah rumah tangga, menikah dan memiliki anak, melewati hidup‘normal’ sesuai anggapan orang-orang.”
“Benar, saya memang berpikir seperti ini, tapi kita baru bertemu dua kali, apa kamu nggak merasa kalau ini terlalu cepat?” Manda mengutarakan pemikirannya, dia memang menginginkan sebuah keluarga sendiri tapi nggak pernah pikir bisa gegabah seperti ini.
“Memang sedikit cepat.” Raut wajah Leonard datar seperti biasa kemudian melanjutkan. “Setelah pertemuan pertama, saya pulang mempertimbangkan selama dua hari. Perasaan pertama yang Nona Aulita berikan ke saya lumayan, saya pribadi merasa kalau sifat kita berdua tidak saling bertentangan, maka dari itu saya ingin mencobanya.”
Alis Manda sedikit mengkerut, sedikit nggak senang: “Di dalam pandangan saya pernikahan itu bukan permainan anak-anak. Coba-coba? Jika percobaan nggak bagus, apa kamu ingin....”
Tidak menunggu dia selesai bicara, Leonard sudah mematahkan omongannya: “Nona Aulita, kita semua sudah dewasa, tentu saja tidak akan mengharapkan percintaan yang tidak ada, kita sangat jelas dengan apa yang hati kita inginkan.”
Manda nggak menjawab, dia menatap wajah Leonard dengan terpaku.
Dari luar lelaki ini tenang dan sederhana, sepertinya memang pasangan yang bagus untuk menikah.
Tapi, apa dia benar bisa menyerahkan hidup selanjutnya pada tangan lelaki yang hanya bertemu dua kali saja?
Benar bisa kah?
Melihat dia ragu, Leonard berkata lagi: “Mungkin saya yang terlalu buru-buru dan tidak mempertimbangkan perasaan kamu. Jika Nona Aulita merasa saya lumayan, kamu pulang dan pertimbangkan dulu. Saya tunggu telepon dari kamu.”
Hari itu setelah pulang, Manda semalaman memikirkan masalah ini.
Dia akui, dalam pandangan tertentu dia memiliki pemikiran yang sama dengan Leonard, misalnya percintaan yang sama sekali nggak mungkin ada.
Setelah disakiti dengan begitu dalam, dia sudah nggak percaya lagi ada cinta di dunia ini.
Semalaman nggak bisa tidur, keesokan paginya Manda menelepon Leonard dan menerima “lamaran” dia.
Pagi hari itu juga Manda membawa Kartu Keluarga, sorenya bersama dengan Leonard mendaftarkan pernikahan mereka.
Ketika dia dan Leonard membawa akta nikah keluar dari Pencatatan Sipil, di dalam hatinya ada sebuah perasaan yang nggak bisa diungkapkan.
Katanya pernikahan merupakan hidup kedua kali wanita, sekarang dilihat memang begitu mudah, akta seharga 9.900 sudah meninggalkan tanda Leonard Biantara di kehidupannya.
Kemarin merupakan hari Manda pindah masuk ke apartemen Leonard untuk tinggal bersama.
Semalam Leonard juga bertingkah sangat gentleman, dia berinisiatif menyerahkan kamar utama untuk Manda beristirahat sendiri. Sedangkan dia tidur di kamar tidur lainnya.
Manda nggak menyangka, hari ini sebelum berangkat kerja, Leonard menyerahkan kartu bank padanya.
Di antara mereka masih belum saling memahami, kenapa dia sudah dengan tenang menyerahkan semua harta padanya?
“Manda Aulitama, wartawan dari setiap media sudah menunggu di dalam. Jajaran direktur dan Presiden Direktur baru akan segera tiba, kenapa kamu masih melamun di saat seperti ini?”
Suara keras Manajer Hubungan Masyarakat Dinda Handayani mematahkan lamunan Manda. Dia segera menarik pikirannya dan membenarkan sikapnya: “Maaf Bu Dinda, saya akan memperhatikannya.”
Dinda menatap Manda, nada suaranya keras: “Manda Aulitama, meskipun kamu karyawan Departemen Bisnis tapi Manajer kalian mengutus kamu untuk membantu Departemen Humas kami. Jadi bersemangatlah dan jangan menjadi sandungan kami.”
Bibir Manda berkerut dan menganggukkan kepala: “Bu Dinda tadi saya terlamun, nggak akan terjadi kondisi seperti ini lagi.”
Dinda melihat Manda lagi kemudian mengalihkan pandangannya, dia menepuk tangan memanggil beberapa karyawan dalam Departemen yang sama yang bertugas menerima tamu.
“Semuanya ayo semangat, konferensi pers hari ini harus kita adakan dengan bagus, tidak boleh ada kesalahan sedikitpun.” Saat berbicara pandangan Dinda juga melihat setiap pekerja bawahannya dengan serius dan sungguh-sungguh.