PopNovel

Baca Buku di PopNovel

I Love You Doc

I Love You Doc

Penulis:Rizky dee

Berlangsung

Pengantar
Apa jadinya, jika seorang dokter yang sempurna menikahi wanita yang tidak sempurna? Fero Maharsyah, anti bermain-main dengan wanita. Dia mencintai rekannya yang sesama dokter. Rencananya mereka akan menikah. Namun sayangnya gagal karena ayah Fero tidak merestui. Ayah Fero malah menjodohkan anak sulungnya dengan seorang gadis yang mempunyai penyakit leukimia dan gadis itu adalah pasiennya, Anika June. Fero menolak. Selain karena dia sudah memiliki calon, usianya dengan Anika June terpaut sepuluh tahun. Dia tidak ingin dicap pedofil. Lalu, bagaimana Fero mengatasi pernikahan yang tidak diharapkannya?
Buka▼
Bab

Dokter Fero memeriksa berkas-berkas pasien rumah sakit. Di sampingnya ada lembaran data inventaris rumah sakit.

"Perhatikan fasilitas dan tenaga medis yang kita punya. Dana yang dikeluarkan sangat banyak untuk mendukung keduanya. Tapi dua hal itu, akan mendatangkan banyak pasien."

"Baik, Papa. Aku mengerti."

Pria tua yang dipanggil Papa oleh Fero itu berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya.

Dia adalah Raharja Maharsya. Pemilik rumah sakit besar di kota kecil. Rumah sakit Pelita Utama yang selalu jadi jujukan warga kota yang membutuhkan perawatan ketika sakit.

RS. Pelita Utama terkenal karena reputasinya yang baik. Layaknya hotel bintang lima. Fasilitas lengkap memudahkan pasien untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan. Biaya pengobatan dan perawatan juga wajar.

Puluhan tahun Raharja mengembangkan dan mempertahankan reputasinya. Tidak sekalipun rumah sakit itu terkena imbas omongan miring. Tenaga ahli yang bekerja di sana juga pilihan.

Raharja menyiapkan Fero dangan matang agar suatu saat bisa menggantikannya memimpin rumah sakit.

"Fer."

Fero mendongak dari laptop. "Iya, Pa?"

"Kamu umur berapa?"

"Tiga puluh tiga, tahun ini. Kenapa, Pa?"

"Sudah waktunya kamu menikah."

Fero tersenyum simpul. "Gampang itu, Pa. Kewajiban utama Fero membantu Papa menjalankan rumah sakit ini. Nanti Fero tanyakan kapan Eliza siap menikah."

Raharja menatap Fero penuh arti. "Bukan. Bukan Eliza yang nantinya jadi istri kamu."

"Bukan Eliza gimana maksudnya?"

Raharja menarik napas panjang dan menghela perlahan. Sebelum anaknya siap menerima berita ini, dia harus meyakinkan diri terlebih dahulu jika kepetusannya sudah benar.

"Papa sudah siapkan calon buat kamu."

Fero melempar tawa kecil. "Jangan bercanda, Pa. Fero sudah pacaran dengan Eliza hampir lima tahun. Tidak mungkin pacaran selama itu lewat begitu saja gara-gara jodoh dari Papa."

"Lima tahun itu cuma sebentar."

"Lama, Pa. Hampir seperti menyicil mobil." Fero mengacak rambutnya. "Papa enggak tahu suka duka kami menjalani hubungan. Kami juga sudah merencanakan dan membicarakan tentang masa depan."

Dada Fero naik turun. Dia ingin mengungkapkan semua. Tetapi kejutan dari Raharja mengunci unek-uneknya. Ditambah papanya hanya mengangguk-angguk.

"Papa mengerti, kan? Maksud Fero?"

"Mengerti."

Fero bernapas lega. "Jadi Papa setuju aku nikah dengan Eliza, kan?"

"Tidak," jawab Raharja tegas.

"What?" Fero kehabisan kata-kata. Dia berusaha mencari celah untuk memperjuangkan pacarnya.

Eliza adalah cinta pertamanya saat di bangku kuliah. Selama kuliah, Fero hanya memendam karena tekadnya untuk menjadi yang terbaik agar bisa meneruskan kepemimpinan rumah sakit Pelita Utama.

Setelah dia mendapat gelar dokternya, satu tahun kemudian Fero melanjutkan sekolah spesialis onkologi. Saat itu Fero memberanikan diri menjadikan Eliza pacarnya. Bukan hal mudah, karena saingannya adalah Dayaz.

Anak pemilik rumah sakit Heksa Central. Rumah sakit terbesar kedua di kota.

"Pa, Fero sayangnya sama Eliza."

"Pikiranmu masih sempit. Kamu belum tahu segala sesuatu tentang apa yang ada di depanmu."

"Apa yang Fero enggak ngerti, Pa?"

"Makanya, kamu harus cari tahu sendiri." Raharja menepuk-tepuk bahu Fero. "Nanti Papa aturkan pertemuanmu dengan calon menantu Papa."

"Maaf Pa, Fero menolak. Fero sudah besar. Bisa ambil keputusan sendiri. Pilihan Fero tetap Eliza."

Fero bangkit dari kursi kerja Raharja. Arlojinya menunjukkan pukul tujuh malam.

Dia ada janji dengan satu pasien lagi. Setelah itu pergi makan malam dengn Eliza.

Diambilnya jas sneli yang tersampir di punggung kursi.

"Fero!"

Fero terus berjalan ke luar ruangan. Mengabaikan Raharja yang berusaha memanggilnya. Pada panggilan ketiga, Raharja memekik.

Dada sebelah kirinya terasa sakit. Tangannya meremas dengan kuat.

"Fe...ro. To...lo...."

Perlahan tubuh Raharja merosot. Dan jatuh di atas permadani.

***

Fero tidak mengerti. Padahal baru saja mereka berdua mengobrol bersama. Hal itu terjadi terlalu cepat. Fero sendiri tidak sampai melewati pintu. Tiba-tiba saja papanya sudah tergeletak karena serangan jantung.

"Bagaimana bisa?" desahnya.

Tantri, Ibu Fero, duduk di sebelahnya dan menangis sesenggukan. Tangan besar dan hangat mengusap lembut bahunya.

"Sejak kapan Papa punya sakit jantung, Ma?"

"Sudah lama," jawabnya dengan terisak.

"Kenapa enggak pernah bilang?"

Tantri semakin menangis. Fero menyesal. Banyak sebenarnya yang dia sesali.

Kenapa papanya tidak mengatakan tentang penyakitnya. Seharusnya dia mengambil spesialis jantung dari pada onkologi. Kenapa dia tidak lebih care dengan sekitarnya.

Ponselnya berdering di ruangan hening. Eliza lah yang meneleponnya.

"Halo, El."

"Kamu di mana?"

"Aku di ruang rawat inap...."

"Ngapain di sana? Aku sudah nunggu dari tadi. Perutku lapar, Sayang," ucap Eliza manja.

"Makan di sini aja gimana? Papaku kena serangan jantung. Aku harus menjaganya."

Eliza memekik. "Oh! Oke. Aku akan ke sana."

"Thank's, Dear." Fero mematikan panggilannya.

Fero melirik mamanya yang masih sesenggukan.

"Sudah, Ma. Papa kan sudah melewati masa kritis. Lebih baik Mama makan. Atau istirahat di rumah."

"Mama di sini aja. Tunggu sampai Papa bangun."

"Kalau Mama ikut sakit, bisa repot nanti. Biar Fero yang jaga Papa."

Tantri menunduk lama. Dia bimbang antara pulang dan tetap tinggal.

"Ma," rayu Fero.

"Iya. Mama pulang," jawab Tantri dengan suara serak. Suasana kembali hening. Tantri menatap lesu suaminya. Mereka lebih memilih diam.

Setengah jam kemudian suara ketukan pintu terdengar keras. Fero bergegas membukakan pintu.

Berdiri seorang wanita berwajah Asia-Australia dengan rambut dicepol asal-asalan. Kulitnya putih dengan pipi kemerahan.

Fero tidak bisa tidak mencintai wanita ini

"Hai, Fer. Gimana Om Raharja?"

"Masih belum sadar. Masuk yuk."

Eliza mengikuti kekasihnya masuk ke kamar rawat inap. Dia melihat Tantri langsung mencium tangan.

"Maaf Tante, aku enggak bawa apa-apa. Soalnya habis praktik."

"Enggak apa-apa. Kamu duduk aja."

"Za, nitip Papa, ya. Aku mau antar Mama ke mobil. Sekalian beli makan malam. Kamu mau makan apa?"

Eliza memonyongkan bibirnya. "Sate aja."

"Oke, tunggu ya." Fero menoleh ke Tantri. "Ayo, Ma."

Tantri mengambil tasnya di sofa. "Nak Eliza, Tante titip Om dulu ya. Kamau tahu, kan harus apa kalau ada apa-apa sama Om?"

"Tahu, Tante. Enggak perlu khawatir. Tante istirahat aja."

Tantri mendatangi suaminya. Sebelum pergi, dia mengecup dahi dengan mesra. "Cepat sembuh, Pa."

Fero melihat iri kedua orangtuanya yang masih mesra di usia senja. Dia merangkul Eliza dan mengusap lembut. Harapannya, suatu saat dia bisa menua bersama Eliza dan mempunyai keturunan yang banyak.

Tantri berbalik. "Ayo Fer."

Fero melepaskan pelukannya dari Eliza. Berganti dengan merangkul mamanya ke luar ruangan.

"Fer, kapan kamu menikahi Eliza?" tanya Tantri saat perjalanan menuju parkiran.

Fero merenung. Perdebatan dengan Raharja tadi teringat lagi. "Belum tahu, Ma. Papa...."

"Fer, Mama punya firasat enggak enak. Tapi tidak tahu apa. Akhir-akhir ini papamu jadi aneh. Mama khawatir ada terjadi sesuatu."

"Mama jangan over thingking. Semua baik-baik saja. Sebentar lagi Papa juga akan sembuh."

Tantri mengangguk lirih. Meski begitu perasaan buruknya tetap tidak mau lenyap.

Mereka berhenti di depan mobil. Sebelum pergi, Tantri memberikan pesan, "Fer, apapun yang terjadi, jangan tinggalkan Mama dan Papa, ya."

"Iya-iya, Ma. Mama jangan mikir berlebihan."

Tantri mengangguk. Kemudian masuk ke mobil.

Fero memegang pintu mobil. "Pak, langsung pulang, ya."

"Siap, Mas."

Fero menutup pintu dan beringsut. Mobil yang ditumpangi oleh mamanya pun melaju.

Dia berjalan ke luar rumah sakit. Di depan ada penjual sate. Matanya menatap lama ke arah warung yang sepi.

Diambilnya ponsel dan menelepon nomor Eliza.

"Ha-Halo, Fer."

"Kamu kenapa, El?"

"Enggak. Tadi sempat ketiduran. Kaget dengar kamu telepon."

"Oh, sorry. Aku mau ajak kamu makan di depan. Gimana?"

"Oh! Oke. Aku ke sana."

Fero mengakhiri panggilan. Dia berbalik kembali ke lobi.

Ternyata Eliza sudah berdiri di sana.

"Kupikir, aku akan menunggu kamu lama."

"Kalau urusan perut enggak bisa menunggu lama, Sayang." Eliza menyelipkan tangannya pada siku Fero.

Mereka pasangan serasi. Sama-sama dokter. Sama-sama kaya. Hanya saja Eliza sudah tidak punya orangtua. Tetapi harta warisan miliknya tidak akan habis tujuh turunan.

Fero bersyukur memiliki Eliza.

"Pak, sate dua porsi."

Fero dan Eliza duduk si kursi panjang. Mereka mengobrolkan banyak hal.

Beberapa menit sate dihidangkan di depan mereka.

"Makan yang banyak, El. Biar enggak kurus kayak orang-orangan sawah."

"Kalau aku gemuk, kamu masih suka, enggak?"

Fero mengangguk yakin. "Kamu berubah jadi sapi aja aku masih suka."

Eliza menggetok Fero dengan tusuk sate. "Kok aku disamaain sama sapi."

"Kalau disamaain kayak bunga, uda basi. Soalnya kamu beda dari yang lain."

Eliza tersenyum. "Kamu...kapan mau melamar aku?"

Fero tergagap. "Segera. Nanti aku bicarakan lagi dengan Papa."

"Bicarakan lagi? Oh, kamu sudah bilang ke Om Raharja?"

Fero mengalihkan pandangannya dari Eliza dengan menatap piringnya yang sudah kosong.

"Ya. Cuma...sedikit kurang lancar."

Eliza mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Gitu lah. Ayo kembali ke kamar. Siapa tahu Papa sudah sadar."

"Eh. I-Iya." Eliza cepat-cepat menghabiskan makanannya.

Setelah Fero membayar, mereka kembali ke ruang rawat Raharja.

Eliza mengutak-atik ponselnya. Kemudian dia memekik.

"Fer, aku kelupaan ambil I pod di ruangan."

"Mau aku antarkan?"

"Enggak perlu. Nanti aku menyusul."

"Oke."

Eliza pergi ke arah yang berbeda. Fero menuju lift ke lantai tiga tempat papanya di rawat.

Pintu lift terbuka. Pemandangannya tidak setenang saat dia meninggalkan rumah sakit.

Beberapa perawat berlarian panik. Fero mengikuti arah perawat berlari.

Jantungnya berpacu cepat mengetahui kamar papanya terbuka lebar dan beberapa perawat tadi masuk.

Kakinya memaksanya berlari.

Di dalam ruangan itu dokter sedang berusaha memacu kembali jantung Raharja dengan alat. Para perawat mengitari ranjangnya.

Mesin denyut jantung tidak lagi berbunyi sesuai detak jantung. Hanya suara sumbang yang tanpa jeda.

Fero mengerti keadaan ini. Kakinya mendadak terasa lumpuh. Hanya saja yang tidak dia mengerti, kenapa bisa secepat ini.