PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Cover

Cover

Penulis:Reza Pena

Berlangsung

Pengantar
Reisa adalah seorang yatim piatu yang memiliki sahabat baik bernama Zami. Dalam persahabatan yang telah dibangun selama 6 tahun, tiba-tiba Zami pergi tanpa kabar berita seperti ditelan bumi. Akankah Reisa dan Zami bertemu kembali dalam ikatan yang sama? Atau malah mereka bertemu dalam keadaan yang berbeda? Dan seperti apakah sebenernya perasaan mereka? Mari kita baca bersama dan jadilah saksi sebuah perjalanan persahabatan dan cinta yang berliku-liku.
Buka▼
Bab

“Ayo kita berjanji untuk saing melupakan” Ungkap Zami tiba-tiba.

“Maksudmu?” Ungkap Reisa terperanjat.

“Iya, mulai saat ini hingga seterusnya anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Ayo ucapkan tanda perpisahan”

“Sebenarnya ada apa Zam, aku benar-benar tidak mengerti”

Malam itu benar-benar menjadi malam yang sangat membingungkan bagi Reisa. Bagaimana mungkin sahabat satu-satunya yang ia miliki didunia ini meminta perpisahan dengannya.

“Tolong jeaskan padaku, Apa salahku Zam?”

“Aku tidak bisa berlama-lama disini, aku harus pergi, selamat tinggal Re, maafkan aku” ungkap Zami sambil berlalu pergi.

“Ya Tuhan, apa sebenarnya salahku sehingga Zami memilih pergi meninggalkan aku, lupakah dia jika kami sudah bersahabat sangat lama dan sudah menghabiskan banyak waktu berdua, apa sebenarnya salahku Tuhan, apa? Mengapa dia tega” rintih Reisa yang masih duduk termenung dikursi taman tempat mereka biasa bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

...

Hari-hari dilewati Reisa seperti biasanya, ia tetap bekerja dan melakukan aktifitas sehari-hari, hanya saja ia tak tau dimana sahabatnya itu, Zami seperti hilang ditelan bumi tak pernah terlihat dimanapun, ia telah berhenti dari pekerjaannya dan meninggalkan kamar koz nya. Reisa benar-benar sudah tidak tau lagi harus berbuat apa untuk sahabatnya itu, meskipun Zami telah meminta perpisahan tetapi Reisa tetap saja menghubungi sahabatnya itu meskipun saat ini nomernya sudah tidak aktif lagi.

“Kamu dimana sih Zam?” ucap Reisa yang masih memandangai kontak sahabatnya itu.

“Apa aku memiliki salah yang sangat fatal sehingga dia meninggalkan aku begini, tetapi kenapa dia harus berhenti bekerja, dan kenapa juga ia harus pindah koz, terlebih ia tidak menjelaskan mengapa ia ingin memutus tali persahabatan kami. Pasti ada yang tidak beres dengan semua ini” ujar Reisa yang terus berbicara sendiri.

...

Enam bulan kemudian

”Saya terima nikah dan kawinnya Khaulah binti Rasyid dengan maskawin tersebut dibayar tunai” Suara qabul dengan lantang diucapkan.

“Barakallahulakuma Wabaraka Alaikuma Bainakuma Fii Khair...” Ucap penghulu di depan pengantin dan tamu-tamu undangan.

“Selamat ya Zami dan Khaulah atas pernikahan kalian, semoga Sakinah, Mawaddah dan Warahmah” Ucap Fikri sembari bersalaman dan memeluk Zami yang sedari dulu selalu bersama dalam suka duka.

“Kamu benar-benar engga ngundang Reisa Zam” bisiknya pelan.

“Untuk saat ini biar begini dulu, aku juga ga tega sama dia Fik, pasti dia sekarang lagi cari-cari aku kan”

“Dia berkali-kali hubungi aku nanyain kamu, tapi seperti yang kamu minta kan kalau aku harus rahasiakan semua tentang kamu dari siapapun”

“Syukran Fik, maaf ya jadi bikin kamu kebawa-bawa sama masalah kami”

“Santai aja kali Zam, gapapa kok Cuma gituan aja. Tapi saran aku kamu harus jelaskan semuanya ke dia biar dia juga ga kebingungan. Dan yang paling terpenting kamu harus jujur kalau kamu sudah menikah dengan Khaulah”

“Insya Allah Fik, tapi yang jelas belum sekarang”

Zami benar-benar bingung dengan keadaan nya saat ini, banyak hal yang ia sembunyika dari Reisa, padahal Reisa selalu menceritakan semua kehidupannya kepada Zami. Persahabatan mereka memang tidak bisa diremehkan. Sudah enam tahun lamanya mereka bersama dalam ikatan persahabatan yang memang benar-benar hanya sekedar sahabat bagi keduanya.

...

“Khaulah” Panggil Zami kepada wanita yang baru saja ia halalkan beberapa jam yang lalu.

“Iya Zam” Jawab Khaulah yang sedang duduk memebersihkan wajah di depan meja riasnya.

“Untuk malam ini mungkin kita belum bisa melakukan apa-apa terlebih dahulu ya, aku masih butuh waktu, tentu kamu juga bukan?”

“Itu terserahmu saja” Jawab Khaulah singkat namun terlihat jelas bahwa ia memenadam sesuatu.

Malam itu, malam pertama bagi Khaulah dan Zami tetapi tidak ada ritual apapun bagi keduanya. Tidak ada Sholat Sunnah berjama’ah dan tidak ada malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Zami memutuskan untuk tidur di sofa yang ada dikamarnya seraya membelakangi Khaulah yang tertidur dikasur yang telah di rias sedemikian rupa layaknya kamar pengantin.

Tidak banyak yang mereka bicarakan, mereka hanya berjalan-jalan dalam pikiran mereka masing-masing, Khaulah yang kelelahan melayani para tamu pada siang tadi memutuskan untuk tidur dan menghentikan pikiran-pikiran yang sedari tadi terus berputa-putar di otaknya. Namun beda halnya dengan Zami yang masih saja meringkuk sambil terus berzikir demi menutupi rasa yang benar-benar sudah tidak bisa ia tafsirkan lagi.

...

“Zami, kamu sudah memutuskan akan membawa Khaulah tinggal dimana?” Ujar Rasyid yang masih duduk di meja makan setelah menyudahi sarapannya.

“Nanti akan saya bicarakan lagi dengan Khaulah, agar sama-sama nyaman jika sudah sama-sama sepakat”

“Ok, ayah setuju kalau begitu. Kamu juga jangan menyusahkan Zami ya nak, harus nurut dengan suami” Kata Irsyad sembari memandang wajah anak perempuan nya.

“Iya ayah” Jawab Khaulah.

Sarapan bersama telah berahir, Zami memutuskan untuk tenggelam dengan komputernya, dan Khaulah memilih untuk membantu ibunya di dapur. Zami membuka Email yang sudah sejak enam bulan lalu tidak ia buka, disana ada banyak pesan dari Reisa dan Zami memutuskan untuk menutup dahulu sebelum membaca pesan-pesan dari Reisa. Zami khawatir Khaulah mengetahui kalau ia membuka pesan dari Reisa dan akan membuat Khaulah cemburu.

“Zam mau kopi?” Tanya Khaulah yang hanya berdiri di anatara pintu kamar mereka.

“Tidak usah Khaulah, jika aku ingin aku bisa membuatnya sendiri” Jawab Zami tanpa memalingkan wajah dari layar komputernya.

Lagi-lagi Khaulah mendapat penolakan dari Zami, setelah tadi pagi Zami menolak dibuatkan teh hangat saat ini ia menolak untuk dibuatkan kopi, padahal sepengetahuan Khaulah Zami termasuk penggemar teh dan kopi. Khaulah berjalan menuju dapur dengan wajah sedikit kecewa karena Zami yang menolak dibuatkan kopi dan pikirannyapun mulai melayang dan sulit dijelaskan.

“Loh kok wajahnya ceberut gitu” Ujar Maisaroh, ibu Khaulah.

“Oh gapapa kok bu” Jawab Khaulah seadanya.

“Kenapa dengan kalian, ibu lihat kalian seperti acuh tak acuh begitu sejak dimeja makan tadi, Zami marah padamu ya?”

“Oh engga bu, mungkin saja kami memang butuh waktu untuk saling mengenal lebih dekat”

“Oh begitu, oia tadi jika ibu ga salah denger kamu pannggil suamimu dengan namanya?” tanya Maisaroh selidik.

“Ehehe iya bu”

“Khaulah, Zami itu suamimu yang sudah sepantasnya mendapatkan penghormatan darimu, minimalnya dengan caramu memangginya, kamu bisa memanggilnya kak, mas, aa’, atau bisa dengan panggilan sayang yang sopan lainnya, tidak sepantasnya kamu memanggilnya hanya dengan namanya” Ujar Maisaroh menasehati.

“Dia juga hanya memanggilku dengan namaku bu” Jawab Khaulah sembari bersengut.

“Zami itu suamimu, dia berhak memanggilmu dengan panggilan apapun termasuk hanya memanggil namamu saja. tetapi mungkin kalian ini hanya tinggal pembiasaan saja, ibu kekamar dulu ya” pungkas Maisaroh sembari berlalu meninggalkan dapur.

Khaulah memang terlahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi adab, sopan santun dan tata krama. Maklum saja begitu karena ayah dan ibu Khaulah sama-sama menampuh pendidikan di pondok pesantren yang sama, dan jelas tentu mereka memiliki visi dan misi yang sama dalam pendidikan keluarganya dirumah.

“Sedang apa kamu duduk sendiri didapur” Tanya Zami yang membuat Khaulah kaget dan terperanjat.

“Oh enga” Jawab Khaulah gugup.

Sejak tadi Khaulah memang sedang melamun, memikirkan rumah tangganya yang baru memasuki hari ke-2. Ia berfikir mengapa rasanya tidak sebahagia pengantin baru pada umumnya yg ia tonton di Tv atau yang ia baca di Novel.

“Kamu ngelamun?” Tanya Zami sembari menuangkan air putih digelas kaca yag telah ia siapkan.

“Eeeenggak kok, aku cuma, cuma eee” Jawab Khaulah kebingungan.

“Cuma, Cuma apa?, Cuma bengong gitu maksudnya, mikirin apa?, mikirin pertanyaan ayah tadi pagi waktu di meja makan, iya?”

“Iiiiyaa Zam, eh Mas, eh Kak eh” Jawab Khaulah kebingungan dan ahirnya iya menutup mulutnya sendiri sembari berlari menuju kamar.

“Ada-ada aja perempuan mah ya?” Ungkap Zami sendirian sambil garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.

“Iiiiihhhhh,,, sebel, ya Tuhan kenapa bisa gini sih, kamu ini kenapa Khaulah, kenapa?” gerutu Khaulah di depan cermin dikamarnya.

“Kok aku malah kebingungan gini sih, ada apa sebenernya sama aku?” tambahnya sembari menutupi wajahnya di depan cermin.

“Khaulah” Panggil Zami yang baru saja memasuki kamar.

“Iya, ada apa?” Jawab Khaulah sembari menenangkan diri.

“Aku hanya ingin melanjutkan pertanyaan ayah, jadi kamu ingin kita tinggal dimana?”

Tetiba suasana hening, tidak ada jawaban dari Khaulah, ia malah menundukan kepalanya, entah sedang berfikir atau malah tidak menanggapi pertanyaan Zami.

“Khaulah” Panggil Zami yang sedari tadi menunggu.

“Oh iya Zam, maaf-maaf” Jawab Khaulah yang sedikit kaget.

“Apa kamu tadi mendengarku?”

“Iya, iya aku mendengar”

“Lalu?”

“Aku ikut denganmu Zam” Jawab Khaulah mantap.