PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Nyawa Dibayar Cinta

Nyawa Dibayar Cinta

Penulis:Adisa

Tamat

Pengantar
Siapa sangka, jalanan malam mempertemukan seorang perempuan dengan lelaki baik hati. Perempuan yang jiwanya berada di ambang sehat dan tidak. Pertemuan pertama penuh drama. Dengan sedikit perdebatan karena kejadian menegangkan. Kelam malam itu mengingat vonis yang dijatuhkan pada ibunya. Penyakit ganas yang sudah berada di ambang terakhir dalam kata hidup. Hingga pertemuan menegangkan yang terjadi memberinya kemudahan dalam melangkah. Nyawa ibunya harus segera ditolong, tetapi dengan satu imbalan.
Buka▼
Bab

Dari arah berlawanan, cahaya silau menembus netra sayu milik seorang perempuan di tengah jalan. Kedua tangannya menyilang dan kakinya dibiarkan membeku di tempat.

Bibirnya bungkam. Menunjukkan kepasrahan luar biasa dalam dirinya.

Cit ....

Mobil berhenti dengan direm mendadak. Seorang pengemudi turun dengan gagah dan derap langkah beratnya. Jas hitam dengan kemeja putih melekat rapi di tubuh kekarnya tersebut.

Dengan tatapan garangnya, ia mendekati perempuan yang hampir saja mengakhiri hidup dengan cara salah. "Apa kau ingin mengakhiri hidup?"

Perempuan itu diam.

"Jika iya, jangan berhenti di depan mobilku. Aku tidak ingin berurusan dengan hukum dan polisi," ucapnya dengan tegas.

Kedua tangan perempuan itu diturunkan. Menampakkan wajah kusut dan mata bengkaknya. Ia berbalik menatap lelaki berperawakan tinggi itu dengan tenang.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya lelaki itu setelah melihat wajah perempuan tersebut.

Dengan acuh, perempuan itu pergi. Meninggalkan ribuan pertanyaan dalam kepala lelaki itu.

"Siapa dia?"

***

"Regaza, ke mana saja kau semalam?"

"Pergi mencari makan," ucapnya berdusta.

"Ibu pulang saja ya, Nak. Biaya yang kita habiskan sudah mencapai puluhan juta. Kita tidak ada tabungan lagi. Ayahmu juga pergi entah ke mana dan tak lagi mencari kita."

Regaza Lalulina terpaksa harus mengakhiri pendidikannya di perguruan tinggi. Seluruh tabungan yang ia dan ibunya punya harus dihabiskan demi pengobatan. Ibunya divonis mengidap kanker darah stadium akhir sejak beberapa bulan lalu.

"Jika Ibu tidak ingin menghabiskan banyak biaya, tetap berada di sini dan sembuhlah. Kalau Ibu tetap ingin pulang, Ibu akan semakin memakan banyak biaya," ucap Regaza.

Ibunya berulangkali meminta keluar dari rumah sakit, tetapi itu tidak mungkin. Caranya bertahan hidup ada di sini. Jika ia pulang, Regaza tidak tahu harus melakukan apa jika terjadi apa-apa pada ibunya.

Tiba-tiba dokter masuk ke dalam ruang rawat.

"Regaza, bisa ikut dengan saya?"

"Bisa, Dok."

"Aku keluar dulu, Bu," pamitnya.

Dia mengikuti langkah Dokter. Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Dokter tersebut.

"Bersyukurlah sekarang juga. Karena beberapa waktu yang lalu ada seseorang yang menanyakan pasien dengan kanker stadium akhir di sini. Kebetulan hanya ada ibumu. Karena yang lain sudah membayar dan melunasi seluruh biaya perawatannya."

"Langsung saja, Dok," ucap Regaza menyela ucapan Dokter.

"Dia yang akan membiayai semua."

"Saya masih bisa mencari uang. Jangan terlalu mengasihani saya dan Ibu saya."

Regaza adalah perempuan keras kepala yang membenci dikasihani. Ia merasa hidupnya amat memprihatinkan jika ada orang yang mengasihaninya sampai terlalu seperti itu.

"Apa kamu yakin?" Suara berat itu seperti pernah ia dengar.

Regaza menoleh. Benar saja, lelaki itu yang hampir menabraknya semalam.

"Kau." Regaza menunjuknya.

"Untuk membiayai ibumu saja kesulitan. Kenapa masih ingin melukai diri sendiri? Bagaimana repotnya kau mencari ke sana-sini kalau sampai terjadi apa-apa malam tadi?" cibirnya yang mendapat tatapan tak suka dari Regaza.

"Tuan Arkana yang akan membiayai seluruh biaya perawatan ibumu, Re," tutur Dokter.

"Tidak perlu. Saya bisa cari uang sendiri," putusnya kemudian pergi meninggalkan lelaki sombong tersebut.

"Keras kepala," gumam Arkana.

Regaza kembali ke ruang rawat ibunya.

"Ada apa, Re?" tanya ibunya.

"Tidak apa, Bu. Istirahatlah, hari masih panjang dan Ibu pasti merasa lelah." Regaza menaikkan selimut sampai setengah badan ibunya. Mengusap lengan wanita tangguh di hadapannya. Membuat Regaza menahan air mata yang lancang ingin mengalir di pipi.

"Maaf karena telah menjadi Ibu yang menghabiskan masa mudamu dengan duduk di sofa rumah sakit dengan aroma kuat dari obat-obatan."

"Tidurlah, Bu. Saatnya Ibu istirahat."

Jika ibunya sudah istirahat, Regaza akan menutup tirai dan duduk di sofa, menangis sejadi-jadinya dengan tetap menjaga suara. Sampai terkadang ia terlelap dengan sendirinya karena lelah menangis tanpa suara dan sesak mengasak di dada.

***

Pukul 12 siang, Regaza mempunyai niat untuk bersumpah agar dirinya yang berada di posisi itu. Melihat ibunya kesakitan dan tengah ditangani Dokter. Regaza mampu melihat bagaimana raut wajah ibunya yang pucat dan seolah tak kuasa menahan sakit luar biasa yang bersarang dalam raganya.

"Mbak, harus ada tindakan yang dilakukan sesegera mungkin. Jadi, Mbak harus melunasi dan menandatangi administrasi lebih dulu."

Sudah merasakan bagaimana sakit yang ibunya rasakan, dia harus dihadapkan dengan pahitnya ujian mengenai biaya rumah sakit pula.

"Semuanya 15 juta, Sus?" tanya Regaza memastikan.

"Iya, Mbak. Jika Mbak belum melunasinya, kami tidak bisa mengambil tindakan apa pun."

"Apa kalian tidak kasihan dengan kondisi pasien? Apa kalian tidak punya hati nurani?" Regaza berdiri dari duduknya dan menatap perawat tersebut dengan tajam.

"Bukan masalah hati nurani atau apa pun itu, Mbak. Ini sudah peraturan dan kami tidak bisa mengubahnya."

"Sama saja. Kalian senang melihat orang sekarat. Di mana hati nurani kalian, ha!" hardiknya dan bersiap melayangkan pukulan pada meja.

Tangannya memberat. Tangan kekar menahannya sampai tidak bisa berkutik.

"Kau tahu, jadi orang keras kepala tak selamanya menguntungkan!" Arkana menyerahkan amplop tebal ke perawat, serta menandatangani suratnya.

Regaza dibuat bungkam dengan kejadian barusan. Tatapan matanya dibalas dengan tajam oleh lelaki sombong bernama Arkana. Pergelangan tangannya memerah karena genggaman kuat dari lelaki berlengan besi.

"Apa kau tega ketika melihat ibumu sekarat?" tukas Arkana.

"Terima kasih, tetapi saya memang tidak butuh bantuan apa pun dari siapapun," ucapnya masih dengan keras kepala.

"Aku tidak membantumu. Aku hanya membantu ibumu yang tengah merasakan sakit, tetapi anaknya menolak ketika ibunya ingin dibantu!" tajamnya lagi.

"Jika memang tidak ikhlas, silakan ditarik ulang. Saya tidak butuh orang riya' seperti Anda."

Arkana tersenyum sinis. "Dasar, perempuan keras kepala!"

Regaza seperti terhipnotis Arkana. Ketika lelaki itu pergi dari hadapannya dan duduk di ruang tunggu, Regaza mengikuti dari belakang. Ikut duduk di samping Arkana dengan bodohnya.

"Sudah lama ibumu mengidap penyakit ini?" tanya Arkana.

"Baru diketahui beberapa bulan lalu."

"Memangnya dulu ibumu tidak sakit-sakitan?"

"Sering, tapi Ibu tidak pernah ke rumah sakit. Dia menolak karena sayang biaya, demi kuliah anaknya."

"Lalu, sekarang bagaimana kuliahmu?"

"Terputus begitu saja."

"Apa kau tidak ingin melanjutkannya lagi?"

"Ingin, tetapi keadaan memang tidak berpihak untukku. Jika memang takdir berkata seperti itu, aku juga tidak akan memaksa."

Regaza mengucapkannya dengan rasa kecewa yang teramat besar. Cita-citanya untuk menjadi seorang Dokter harus terhenti di tengah jalan. Padahal dia ingin saat ini bisa menjadi seorang Dokter agar bisa turun tangan dalam keadaan ibunya saat ini.

Dokter keluar dari ruangan dengan raut khawatir. "Keadaannya semakin parah."

"Saya mau masuk." Regaza berlari tanpa mengindahkan larangan dari Dokter.

"Regaza, tunggu!"