PopNovel

Baca Buku di PopNovel

My Perfect Idol

My Perfect Idol

Penulis:Nona Izzy

Berlangsung

Pengantar
Ditemukan tidur bersama di dalam sebuah kamar hotel, membuat Cinta harus menikah kontrak dengan Daniel, seorang idola baik hati yang pada kenyataannya bersifat dingin, ketus, kasar, dan cuek. Setelah pernikahan yang cukup mendadak, Cinta malah berurusan dengan Robby, sepupu Daniel. Sialnya, first kiss Cinta malah jatuh kepada Robby bukannya Daniel, suaminya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu begitu goyah. Banyak masalah dan pihak yang membuat Cinta selalu terluka. Sampai akhirnya Cinta memutuskan untuk pergi. Akankah Daniel merasa kehilangan?
Buka▼
Bab

Namanya Cinta Cantika Firdaus. Anak sulung dari dua bersaudara. Memiliki seorang adik bernama Indah Nur Firdaus. Kedua orang tua mereka telah menghadap Sang Pencipta kurang lebih satu tahun lalu.

Sekerang, mereka tinggal menumpang di salah satu rumah kerabat yang paling dekat dengan orang tua mereka dulu. Paman dan bibinya yang juga menjadi wali, setelah kecelakaan na'as yang merenggut nyawa orang tua Cinta dan Indah.

Berdasarkan kalimat, "Mencari pekerjaan di jaman sekarang ini susah. Ambil semua kesempatan yang ada di hadapanmu!", maka gadis itu ada di tempat itu saat ini.

Hidup itu berat ....

Cinta menuangkan segelas anggur lagi ke dalam gelas seorang tamu kaya dengan kaku. Tangannya gemetar. Katanya anggur itu harganya mahal. Satu botol saja harganya lebih dari gajinya sebulan di tempat itu.

"Hei, Cantik ... kenapa gugup? Kamu tidak nyaman dengan kami?" tanya laki- laki yang sudah setengah mabuk itu. Jono? Johan? Cinta lupa siapa namanya.

Cinta menggeleng dengan senyumannya yang terpaksa.

"Ti-tidak, Tuan. Saya hanya—“

"Halah! Jangan alasan! Kamu takut pada Joni, kan?" tanya satu orang lainnya yang tidak kalah mabuk. Ia bahkan tidak membiarkan Cinta menjawab pertanyaan tadi dengan benar.

Netra Cinta membulat saat ia tidak sengaja melihat gadis yang tadi masuk dengannya. Kalau ia tidak salah ingat, namanya Rere.

Kini gadis itu sudah duduk di atas pangkuan orang yang bicara membentak tadi. Merangkul tengkuk laki-laki itu dengan mesra.

"Gila! Apa yang mau mereka lakukan di sini?" batin Cinta ngeri. Bukankah rekannya itu terlalu berani?

Belum lagi habis rasa bingung Cinta, kini giliran dirinya yang ditarik lebih dekat ke arah Joni. Tamu yang harus ia 'layani' malam hari ini.

"Eh! Apa-apaan ini? Tolong lepaskan saya, Tuan!" mohon Cinta sambil terus berusaha melepaskan cengkeraman Joni di pinggangnya.

"Tugasmu baru saja dimulai, Nona. Kami membayarmu untuk ini, bukan hanya untuk menuangkan minuman dan menjaga kami!" sahut Joni dengan sedikit kesal.

Mendengar kalimat itu, Cinta semakin takut dan ngeri. Netranya kembali menangkap bayang Rere dan tamunya yang sudah semakin liar. Kecupan di pipi, bibir, tengkuk, dan ... Cinta tidak berani melihatnya!

Ada sedikit rasa menggelitik di bawah sana, saat melihat keduanya bercumbu mesra seperti itu. Apa yang terjadi?

Belum lagi rasa terkejutnya hilang, Cinta merasakan jika tangan Joni berusaha meloloskan tali gaunnya ke samping.

"Tu-tuan!" protes Cinta takut.

Namun Joni tidak peduli. Ia telah berhasil mendorong Cinta dan membuat gadis itu terkurung di bawah kungkungannya di atas sofa.

"Saya mohon, Tuan ... jangan sentuh saya!" mohon Cinta dengan air mata tergenang. Ia cukup yakin kalau tangisnya akan pecah.

Namun, bukannya melepaskan Cinta, Joni malah semakin menjadi. Sebelah tangannya berusaha untuk menarik gaun Cinta ke atas.

Sayangnya, Cinta tidak punya pertahanan lain. Ia hanya bisa menahan tangan Joni dengan kedua tangannya sendiri.

Akan tetapi, tubuh Joni yang gempal tidak sebanding dengan Cinta yang mungil. Laki-laki itu berhasil menyingkap gaun Cinta, hingga memperlihatkan pemandangan indah bagi Joni.

Di bawahnya, Cinta hanya bisa terisak. Malu. Sedih. Ia tidak ingin berakhir begini. Mau ditaruh di mana wajahnya, jika sampai hal itu terjadi? Hal menakutkan yang bisa merusak hidupnya.

Joni yang telah buta akan nafsunya sendiri, berusaha mendapatkan bibir Cinta dengan beringas. Gadis itu terus berpaling agar tidak bersentuhan dengan wajah Joni.

Saat itulah Cinta melihat kesempatan untuk melawan.

Sebisa mungkin Cinta meraih asbak kristal yang ada di atas meja. Sampai akhirnya ....

Bugh!

Cinta melihat darah segar mengalir di pelipis kiri Joni.

Joni tersungkur dan jatuh ke atas lantai.

Hal itu membuat Rere dan tamunya menghentikan aktifitas. Sebelum keduanya menyadari yang terjadi pada Joni, Cinta memilih untuk pergi dari sana.

***

Cinta keluar dari Club Malam Suka-Suka dengan langkah terburu. Masih dengan seragam pegawainya dan Cinta tidak peduli.

Baru saja ia akan naik ke dalam angkot yang berhenti, sebuah tangan menahannya.

"Lepaskan saya, Tuan!" pekik Cinta membuat dua orang yang ada di dalam angkot, spontan menoleh ke arahnya.

"Cinta! Kamu kenapa? Ini Paman," tanya paman Cinta yang bernama Rudi.

Cinta berhenti berontak dan memalingkan wajah ke arah suara itu.

Saat melihat sang paman, air matanya menyeruak keluar. Sepertinya Rudi menyadari apa yang baru saja terjadi dengan keponakannya tersebut. Ia mencoba menenangkan Cinta dan mengajaknya masuk ke dalam angkot.

Angkot berwarna merah itu beranjak menjauh.

"Paman ... Cinta gak mau kerja di sana lagi. Cinta takut!" jelas Cinta dengan suara lirih.

Rudi mengangguk dan hanya bisa menepuk pelan punggung keponakannya. Ia juga tidak ingin keponakannya bekerja di tempat itu. Salahnya sendiri, saat meminta Cinta mencoba terlebih dahulu.

"Sudahlah, Cin. Besok kita cari pekerjaan lain saja. Paman minta maaf, ya ...," sahut Rudi.

Cinta mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahu sang paman.

Rudi adalah adik dari ayah Cinta. Ia bersyukur karena laki-laki itu mau menampung ia dan Indah. Adiknya.

Tidak ada siapa-siapa lagi. Orang itulah pelindungnya saat ini.

***

Hari-hari berlalu semenjak kejadian malam itu. Cinta lebih sering berada di kamar daripada berinteraksi dengan paman atau bibinya.

Rudi paham jika keponakannya itu masih merasa sedikit trauma. Namun tidak dengan Ajeng, bibi Cinta. Wanita itu terus saja menuntut Cinta agar pergi keluar dan mencari pekerjaan. Apalagi persediaan obat untuk Indah sudah semakin menipis.

"Mau sampai kapan, Pak'e? Trauma, sih, boleh ... tapi nggak perlu berlarut-larut begini. Adiknya perlu obat, loh. Sedangkan gajimu dan gajiku saja sudah hampir habis! Masa iya, mau enak-enakan saja di dalam kamar?"

Perdebatan yang hampir terdengar setiap hari.

"Sabar, Bu'e. Katanya ada pekerjaan di ibu kota. Kita tunggu kabar pastinya," jelas Rudi berusaha menenangkan sang istri.

"Pekerjaan apa? Cinta itu hanya lulusan SMA. Gak punya skill apa-apa. Orang jadi pelayan saja gak becus!" tukas Ajeng semakin kesal.

Mendengar hal itu, Lagi-lagi air mata Cinta menitik.

"Kakak ... jangan nangis ...," bisik Indah yang kini sudah duduk di samping Cinta.

Cinta tersenyum sambil menghapus air matanya.

"Enggak. Kakak gak nangis. Kakak kelilipan ...," bohongnya.

"Semua gara-gara Indah, ya? Kalau Indah mati saja, kakak pasti tidak harus bekerja seperti ini ...," lirih Indah yang usianya masih tiga belas tahun lebih sedikit.

"Hush! Kamu bicara apa? Kalau Indah meninggal, kakak sama siapa? Jangan bicara begitu! Oke?" tolak Cinta.

"Makanya kakak jangan nangis. Seandainya Indah sehat, kakak gak perlu bekerja mati-matian. Indah mau sehat ...," harapnya.

"Indah ... Kakak memang harus bekerja. Kakak sudah lulus sekolah dan sudah saatnya mencari uang untuk kita. Kamu jangan bicara begitu lagi, ya ...," mohon Cinta.

Kakak beradik itu berpelukan. Berharap agar kehidupan tidak terlalu kejam. Namun apa daya? Takdir menempatkan mereka dalam posisi ini. Suka tidak suka. Mau tidak mau. []

***

Selamat datang di judul kedua saya setelah KESALAHAN SATU MALAM. Semoga kalian suka. Terima kasih!