PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Hai Haykalku, Lama Tak Jumpa

Hai Haykalku, Lama Tak Jumpa

Berlangsung

Pengantar
Adiratna Ratu mengira dia sangat beruntung. Lahir dari keluarga kaya, dia dijodohkan dengan Haykal Rahartono, pria yang paling dia cintai.Namun, dia tidak pernah mengira suaminya akan sangat membencinya. Dalam pernikahan dua tahun tersebut, dia hanya tidur dengannya sekali namun tidak pernah menetap malamnya. Semua kelembutannya diberikan kepada wanita lain, Aulia.Ketika dia memutuskan untuk melepaskan pernikahan ini, dia tiba-tiba menemukan bahwa dia hamil. Karena tidak ingin kehilangan bayinya, ia memilih untuk menyembunyikan kandungannya. Namun ketika dia mempersiapkan perjanjian perceraian, Haykal menolak untuk menandatangani surat perceraiannya.
Buka▼
Bab

Kehamilan Minggu Ke-6

Aku terdiam di tempat ketika membaca kata-kata dari laporan USG. Ngomong-ngomong, kita kan hanya melakukannya sekali, bagaimana mungkin bisa hamil semudah ini?

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Jika aku memberitahu Haykal, apa dia akan menunda perceraian karena ini? Tidak, jelas tidak. Malah, nanti dia pikir aku hina dan mengira aku menggunakan anak itu untuk mengancamnya.

Aku mengesampingkan rasa khawatir dan memasukkan laporan itu ke dalam tasku dan keluar dari rumah sakit.

Terlihat Maybach hitam bersinar yang diparkir di luar rumah sakit, dengan jendela yang terbuka sepertiga. Dari luar, dengan samar terlihat ekspresi dingin dari seorang pria yang duduk di kursi pengemudi.

Banyak orang yang lewat, tentu saja, tertarik dengan pemandangan pria tampan yang mengendarai mobil mewah.

Haykal Rahartono terkenal sebagai orang yang kaya dan menarik. Namun, setelah bertahun-tahun, aku sudah terbiasa dengan apa yang aku lihat. Tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar, aku masuk dan duduk di kursi penumpang.

Pria itu awalnya sedang beristirahat dengan mata tertutup, tetapi ketika dia merasa beberapa gerakan, dia sedikit mengerutkan keningnya dan bertanya dengan suara rendah tanpa mau repot membuka matanya, "Udah?"

"Udah!" Aku mengangguk dan menyerahkan kontrak yang telah ditandatangani oleh rumah sakit, dan berkata, "Dapat salam dari Reza Heryanto buat kamu!" Awalnya hanya aku yang menandatangani kontrak itu hari ini, tetapi aku bertemu Haykal di jalan. Entah apa alasannya, dia memutuskan untuk mengantarku.

"Kamu akan bertanggung jawab penuh ya untuk kasus ini!" Haykal bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Setelah memberi perintah, dia menyalakan mobil tanpa peduli untuk mengambil kontrak yang kuberikan padanya.

Aku mengangguk dan tetap diam.

Setelah sekian lama terdiam, kecuali untuk patuh dan mengikuti perintahnya, aku tidak membahas hal lainnya.

Kami sedang menuju pusat kota dan saat itu sudah malam. Dia tidak kembali ke vila, lantas dia mau kemana? Rasa ingin tahu memenuhiku tetapi aku tetap diam sepanjang perjalanan, karena aku tidak pernah mengambil inisiatif untuk bertanya tentang kehidupannya.

Laporan ultrasound adalah satu-satunya hal yang aku pikirkan, namun aku tidak tahu bagaimana cara memberi tahu Haykal tentang hal itu. Aku memandangnya dari sudut mataku dan melihatnya tengah menatap ke depan. Mata itu tajam dan dingin seperti biasanya.

"Haykal!" panggilku dan tanganku yang sedang memegang tas, terasa sedikit lembab. Mungkin karena aku gugup, makanya penuh keringat.

"Apa yang kamu inginkan?" Empat kata yang keluar dari bibirnya terasa dingin, dan aku tidak bisa menemukan emosi lain di dalamnya.

Dia selalu memperlakukanku seperti ini. Aku sudah mulai terbiasa setelah beberapa waktu. Aku menekan kegelisahan di hati, menarik napas, dan berkata, "Aku ..." Aku hamil.

Hanya dua kata yang aku ucapkan, tetapi pada saat itu juga, handphone-nya berdering, jadi terpaksa aku menelan kembali keberanianku.

"Aulia, ada apa?" Rupanya, dalam beberapa kasus, kelembutan seseorang ditakdirkan hanya untuk satu orang, baik itu kasih sayang yang dalam, atau kegembiraan. Bagaimanapun, kelembutan itu hanya dimaksudkan untuk satu orang.

Kelembutan dari Haykal hanya untuk Aulia Benediktus, seperti yang terlihat dari percakapan mereka berdua.

Tidak ada yang tahu apa yang dikatakan Aulia di seberang telepon tersebut, tetapi itu membuat Haykal tiba-tiba mengerem mobil. Dia menghiburnya di telepon, "Baiklah, aku akan segera ke sana. Tetap di sana."

Setelah menutup telepon, dia kembali dengan wajah dingin dan tegas sambil menatapku, "Turun dari mobil!"

Sebuah perintah yang tegas darinya.

Ini bukan pertama kalinya dia bersikap seperti ini. Aku mengangguk dan menelan semua kata yang ingin kukatakan. Kemudian aku membuka pintu dan keluar dari mobil.

Pernikahan Haykal dan aku adalah suatu kebetulan namun juga takdir, tapi tidak ada cinta yang terlibat. Haykal hanya memiliki Aulia di dalam hatinya, sedangkan aku hanyalah hiasan atau bahkan penghalang.

Dua tahun lalu, kakek Haykal mengalami serangan jantung dan dia dikirim ke rumah sakit. Di ranjang rumah sakit, dia memaksa cucunya untuk menikah denganku. Meskipun Haykal enggan, dia tetap setuju untuk melakukannya demi kakeknya. Ketika lelaki tua itu masih di sini selama dua tahun terakhir, Haykal sepenuhnya mengabaikan keberadaanku. Sekarang lelaki tua itu telah meninggal, dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk akhirnya menyewa pengacara untuk mengurus perceraian.

Saat aku kembali ke vila, hari sudah gelap. Rumah besar yang aku masuki itu sangat kosong seperti berhantu. Mungkin karena hamil, aku jadi tidak nafsu makan, jadi aku langsung menuju kamar tidur dan mandi sebelum tidur.

Sebelum aku tertidur lelap, sayup-sayup mendengar suara mesin mobil yang dimatikan datang dari halaman.

Apa itu Haykal?

Bukankah dia bersama Aulia?

Aku melihat pintu kamar tidur terbuka sebelum aku mencoba membuat kesimpulan. Pria itu basah kuyup dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa memperdulikanku. Lalu, diikuti dengan suara air mengalir.

Begitu dia kembali, aku tidak bisa tidur lagi. Oleh karena itu, aku bangun dan mengenakan pakaianku, aku mengeluarkan piyamanya dari lemari dan meletakkannya di pintu kamar mandi sebelum aku keluar ke balkon.

Saat itu adalah musim hujan dan di luar gerimis. Saat langit semakin gelap, suara tetesan hujan yang jatuh di atap samar-samar terdengar juga.

Begitu aku mendengar suara di belakangku, aku menoleh ke belakang dan melihat Haykal keluar dari kamar mandi. Dia memakai handuk yang membungkus tubuh bagian bawahnya. Tetesan air dari rambut basahnya yang menetes mengalir di sepanjang tubuhnya yang berotot. Itulah yang kusebut sebagai pesona seorang pria.

Dia mungkin sadar bahwa aku sedang menatapnya. Saat dia melihatku, dia sedikit mengernyit dan berkata, "Sini!" Sekali lagi, dia mengatakannya dengan nada tanpa emosi.

Seperti biasa, aku pun menurut. Saat aku mendekatinya, dia melemparkan handuk di tangannya kepadaku dan berkata dengan suara rendah, "Keringkan untukku."

Dia selalu seperti ini dan aku sudah terbiasa dengannya. Melihat dia duduk di tepi tempat tidur, aku naik ke tempat tidur dan setengah berlutut di belakangnya saat menyeka rambutnya.

"Besok kan pemakaman Kakek. Kita harus pergi ke rumah lama sepagi mungkin." Aku tidak berniat untuk mencoba berbicara dengannya. Karena dia hanya memikirkan Aulia, dia pasti lupa jika aku tidak mengingatkannya.

"Iya!" sahutnya, dan hanya itu.

Mengetahui betapa dia menolak untuk berbicara denganku, aku tidak ingin berbicara lebih jauh. Akhirnya, setelah mengeringkan rambutnya, aku kembali berbaring di tempat tidur dan bersiap untuk tidur.

Mungkin karena hamil, aku mudah mengantuk. Biasanya Haykal pergil ke ruang belajar sampai tengah malam setelah dia mandi. Namun malam ini, dia berbaring di tempat tidur setelah berganti piyama.

Meski aneh, aku tidak ingin bertanya lagi. Tiba-tiba, dia memelukku dan menarikku ke dadanya, lalu menciumku dengan lembut.

Aku tertegun sejenak saat dia membuka piyama yang kupakai. Aku memegangi lengannya yang menjelajahi seluruh tubuhku dan mengangkat dagu untuk melihatnya, karena aku tidak tahu harus berbuat apa.

"Haykal, aku ..."

"Kamu nggak mau?" Dia bertanya. Mata hitamnya sehitam malam, dingin dan liar.

Aku menunduk. Ya, aku tidak mau, tapi itu bukan keputusanku.

"Bisa nggak lebih pelan-pelan?" Aku lebih khawatir tentang si bayi yang berusia enam minggu. Akan berbahaya jika dia tidak berhati-hati dengannya.

Dia mengerutkan kening tanpa mengatakan apa pun. Dia baru saja berbalik, lalu dia mulai dengan liar. Aku meringkuk kesakitan namun hanya bisa melakukan yang terbaik untuk melindungi bayiku semaksimal mungkin.

Seiring dengan keliarannya, hujan di luar pun semakin deras. Tiba-tiba, terlihat kilat, dan bayangan berkedip dengan ganas. Setelah itu, dia akhirnya bangun dan pergi ke kamar mandi.

Rasanya sangat menyakitkan sampai aku basah kuyup dengan keringat dinginku sendiri. Awalnya, aku ingin mengonsumsi obat penghilang rasa sakit, tetapi aku putuskan untuk tidak melakukannya demi sang bayi.

"Ding ...." Telepon di meja samping tempat tidur berdering. Itu punya Haykal. Aku melihat ke jam di dinding dan menyadari bahwa sudah jam sebelas.

Satu-satunya orang yang akan menelepon Haykal jam segini adalah Aulia.

Suara pancuran di kamar mandi terhenti dan diikuti oleh Haykal yang keluar dengan handuk mandi meliliti tubuhnya. Dia melap tangannya lalu mengangkat telepon. Bagaimanapun, aku tidak tahu apa yang dibicarakan di sisi lain telepon tersebut.

Haykal sedikit mengernyit dan berkata, "Aulia, jangan ribut!"

Setelah itu, dia menutup telepon dan mengganti pakaian bersiap untuk pergi. Jika ini di masa lalu, aku mungkin akan pura-pura tidak peduli. Tapi kali ini, aku tiba-tiba menarik Haykal dan memintanya dengan lembut, "Tolong, tinggallah bersamaku malam ini."

Haykal mengerutkan kening dan memberikan bahunya yang dingin. "Sekarang kamu menginginkannya lagi?"

Kata-katanya terasa dingin dan menyakitkan.

Aku tercengang dan merasa lucu. Aku menatapnya dan berkata, "Besok kan pemakaman Kakek. Meskipun kamu peduli sama dia, kamu harus tahu prioritasmu, bukan?"

"Kamu mengancamku sekarang?" Dia menyipitkan matanya dan tiba-tiba meraih rahang bawahku. Suaranya dalam dan dingin saat dia berkata, "Adiratna Ratu, kamu sudah berani sekarang, ya?"