PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Edelweiss Yang Layu

Edelweiss Yang Layu

Penulis:Risastory

Berlangsung

Pengantar
Cinta terkadang bukan hanya membicarakan tentang cara untuk bersama dan saling memiliki. Dalam hidup sebagian orang justru ia adalah rasa melepaskan dan mengikhlaskan. Suatu perebutan tahta pasti saja terjadi karena sejatinya cinta tumbuh tanpa memandang untuk siapa dan karena apa, tapi ingat juga kata yang sering orang-orang ucap bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Bukan rasa itu sendiri yang salah, tetapi emosinya untuk bisa bersanding sungguh terlalu besar. Terkadang banyak orang diperbudak keegoisan hanya untuk mendapatkan cinta. Cinta itu penting. Karena sejatinya tumbuh tanpa diminta dalam setiap hati manusia, juga tanpa memandang peran apa yang ia sendiri lakoni dalam hidupnya. Terlepas dari itu, hati manusia bisa kapan saja berubah. Namun, jika suatu perubahan itu mendatangkan kesedihan yang mendalam hingga membuat sang delweiss akhirnya layu, apa yang seharusnya dilakukan? Apakah kembali pada saja?
Buka▼
Bab

Asap kendaraan menusuk indra penciumanku, membuat tangan ini beberapa kali menutup hidung untuk menghindari asap knalpot yang menerpa wajah. Aku terus mengayuh sepeda butut yang setia menemani sejak masa SMA hingga sekarang sudah dua tahun bekerja di sebuah pabrik garmen. Sebenarnya aku sudah membeli motor, tapi rasanya sepeda lebih nyaman dipakai.

Keringat sudah bercucuran membasahi seluruh tubuh. Dengan gerakan yang pelan aku menyeka peluh yang meluncur di kening. Rasanya aku ingin segera mengistirahatkan tubuh di atas kumpulan kapuk yang ditutup sedemikian rupa oleh seprai bermotifkan bunga kesukaanku.

Setelah menunggu beberapa menit, Lampu merah telah berubah warna dengan cepat para penunggang kuda besi itu berlomba agar bisa melaju, tak lupa dengan klakson yang lagi-lagi membuat telingaku sedikit terasa sakit. Sesegera mungkin aku meninggalkan para pengendara di sekelilingku dan mengayuh sepeda dengan santai sembari bersenandung apa pun lagu yang ada di otak.

Meski sore ini cukup melelahkan, tapi aku tetap berusaha menikmatinya sambil menyapa para pejalan kaki yang beberapa memang aku kenal. Hal itu membuatku tak sadar sudah sampai di pertigaan jalan menuju rumah, kini giliran lagu hanya rindu milik Admesh Kamelang yang menemani perjalananku sampai tak sadar seorang pengendara motor tiba-tiba melintas di sampingku dengan kecepatan yang tinggi. Jika saja aku tidak bisa mengendalikan keseimbangan mungkin akan terjatuh saking kagetnya.

"Astagfirullah," ucapku lalu merapikan sedikit rambut yang berantakan akibat terkena tiupan angin.

Saat hendak kembali melajukan sepeda, sebuah motor dari arah berlawanan menarik perhatianku. Mereka sepertinya sepasang kekasih, terlihat dari kemesraan yang ditunjukkannya.

Sepeda yang sejak tadi masih kutunggangi akhirnya ditepikan sejenak di bawah pohon rindang. Angin sejuk kental terasa dari sini sampai-sampai jaket yang aku kenakan rasanya masih kurang hangat. Segera kupasang mata jeli untuk mengamati gerak gerik pengendara tadi. Dari jenis motor dan pelat nomornya sepertinya aku mengenal siapa itu.

Motor mereka berhenti di sebuah minimarket tak jauh dari tempatku berdiri.

Seorang penumpang Wanita turun lebih dulu yang kemudian di susul oleh si pria. Aku kira mereka akan masuk minimarket bersama, tapi ternyata dugaanku salah, wanita itu menyandarkan tubuhnya di motor. Tanpa berpikir panjang aku menghampirinya untuk memastikan penglihatanku tidak salah.

"Mbak," panggilku saat sudah berada di dekatnya. Wanita itu menoleh sembari menautkan dahi.

"Ya?" ketika wajah Wanita itu sudah sepenuhnya menghadap padaku, jantungku berdetak begitu cepat. Kakiku mundur secara otomatis beberapa langkah dari tempat berdiri sebelumnya seraya menutup mulut.

Dia adalah Laila, seorang Ibu dari satu anak berumur tiga tahun. Sebenarnya usia aku dan Mbak Laila hanya terpaut dua tahun, tapi saat lulus sekolah waktu itu Mbak Laila memilih menikah walaupun umur pernikahannya hanya seumur jagung. Mantan suaminya memilih bercerai meninggalkan seorang anak yang masih berusia tiga bulan dengan alasan yang tidak aku tahu.

Yang membuatku kaget bukan kehadiran Mbak Laila, tapi mengingat orang yang bersamanya tadi. Jika mungkin Pria itu benar adalah orang yang aku kenal, hatiku sangat dibuat hancur olehnya. Bagaimana mungkin dia bisa bermesraan dengan Mbak Laila sementara aku bersusah payah menjaga hati untuknya?

Pria itu. Aku menoleh sedikit pada jendela besar minimarket yang tampak dengan jelas dia sedang berhadapan dengan meja kasir. Dia terlihat memberikan beberapa lembar uang berwarna biru lalu mengambil kantung belanjaannya. Tubuhnya kemudian berputar arah untuk selanjutnya berjalan ke arah sini.

"Mbak Laila sedang apa di sini?" pertanyaanku ternyata membuatnya gelagapan. Mbak Laila berkali-kali bergantian menatapku dan Pria itu. Dari gelagatnya aku seperti sedang melihat seseorang yang tengah ketahuan melakukan sesuatu. Entahlah, mungkin aku terlalu sering menonton sinetron.

"M-mbak sedang menunggu teman, Nau. Iya, menunggu teman," katanya mencoba bersikap biasa saja. Meski kentara sekali Mbak Laila sedang mencoba berbohong.

"Oh, teman. Aku kira pacar Mbak, habisnya tadi aku lihat kalian sangat mesra."

Mbak Laila membuka mulutnya dengan susah payah, berusaha mengatakan sesuatu padaku. Namun, suara seorang Pria membuatnya menoleh. Sedangkan aku memilih memalingkan wajah ke arah lain saat Pria itu mendekat.

"Minuman pesananmu habis, La" ucapnya sembari melihat-lihat belanjaannya.

Dari suaranya saja aku tahu persis siapa dia. Pria yang dua tahun lalu datang dengan badan tegap dan berjalan dengan gagahnya menuju rumahku, membawa sebuah buket bunga dan kalung.

"La, sedang bicara dengan siapa?" ucap Pria itu yang pastinya ditujukan pada Mbak Laila bukan padaku.

'Haidar, tega sekali kau,' batinku memaki dirinya. Ingin sekali aku langsung menghampiri lalu memberikan tamparan dan sebuah cacian untuknya. Aku menggelengkan kepala, menghilangkan pikiran itu dari otak. Beberapa kali aku merapalkan kata 'kuat' dalam hati agar tangisanku tidak keluar dari netra.

Kuberanikan diri menatapnya, menarik nafas berharap diberikan sebuah ketenangan hati oleh Sang Kuasa. Senyumku dibuat setulus mungkin agar Haidar tidak cemas, tapi cemas untuk apa? aku pun tak yakin akan jawabannya.

"Assalamu'alaikum, Haidar. Apa kabar?" Raut wajah Haidar berubah seketika. Aku tak ingin mendeskripsikan ekspresinya yang menurutku terlalu basi. Bisa saja itu kaget yang dibuat-buat.

Haidar memajukan badannya kemudian berusaha menggenggam lenganku, dengan halus aku menghindarinya. "Wa'alaikumsalam, Nau. A-aku baik-baik saja. Maaf gak telfon kamu kalau aku pulang." Haidar tergagap-gagap menjawab pertanyaanku.

"Alhamdulillah kalau begitu. Oh ya, Haidar. Aku pamit duluan, ya. Ingin cepat-cepat istirahat. Assalamu'alaikum."

Tanganku saling bertaut sembari menatap ke tanah. Kakiku tak tahu kenapa terasa sangat lemas untuk berjalan. Hatiku terasa perih melihat interaksi mereka tadi Haidar, terutama ketika mengingat perlakuan-perlakuan manis yang masih terekam jelas diotak, berputar terus menerus layaknya kaset rusak.

Aku kembali menaiki sepeda dan melanjutkan perjalanan dengan hati yang hancur. Bahkan ketika aku mulai menghilang dari pandangan mereka, Haidar sama sekali tidak mengejar atau mencegahku pergi untuk menjelaskan sesuatu.

Samar aku mendengar Mbak Laila dan Haidar berbincang membawa namaku.

"Haidar, bagaimana ini? Naura sudah melihat kita," ucap Mbak Laila, cemas.

"Sudah, tidak apa-apa. Naura biar serahkan saja padaku," jawab Haidar mencoba menjelaskan pada Mbak Laila

Mataku mulai memanas. Air mata yang sejak tadi kutahan ternyata berhasil lolos membasahi pipi. Apa maksud mereka?

Pikiranku berkelana pada kenangan beberapa tahun yang lalu. Haidar memberikan aku bunga dan kalung sebagai tanda bahwa saat itu kami berkomitmen untuk saling menjaga perasaan masing-masing sampai akhirnya menikah nanti. Di antara kami memang tidak ada hubungan seperti pacaran, itu karena aku yang memang tidak mau.

"Sekarang jarak kita gak lagi dekat. Besok aku berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikanku di sana. Beberapa tahun ke depan aku gak akan mengganggu kamu seperti biasa, tapi aku harap saat aku pulang rasa cintamu sudah sepenuhnya untukku. Aku tahu kamu mulai membuka hatimu agar aku bisa masuk dengan leluasa," ucapnya dua tahu inin yang lalu. Saat itu wajahnya sangat serius. Dia menggenggam tanganku kemudian mengecupnya ketika sudah selesai berbicara.

Bodoh sekali aku saat itu, bisa dengan mudahnya percaya pada ucapan seorang penjahat Wanita sepertinya. Ngomong-ngomong, julukan itu memang sudah sepantasnya tidak dicabut dari dirinya. Sebenarnya julukan itu sudah melekat sejak pertama menginjakkan kaki di SMA, tapi saat dia mendekatiku dan berusaha mengambil hatiku selama satu tahun, julukan itu tiba-tiba menghilang begitu saja seperti ada yang mencabutnya.

"Mau sampai kapan pun buaya tetap buaya," gumamku pelan bersamaan dengan air mata yang meluncur melintasi bibir.

Hari ini pertemuan pertamaku dengan Haidar setelah kejadian dua tahun lalu aku sering berkhayal bahwa di saat kita bertemu lagi, kita langsung menjalin hubungan yang serius tanpa embel-embel pacaran. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain tentang kisah cintaku.