PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Way To Eiffel

Way To Eiffel

Penulis:Todayiss_Junee

Berlangsung

Pengantar
Eiffel kini menawarkan satu lagi kisah romansa yang terjadi di bawah kaki-kaki besi tua nya. Kisah cinta yang melibatkan anggur anggur yang memabukkan kan setiap orang yang meminumnya. Sebastian tidak pernah menyangka, tentang apa yang terjadi pada ibunya 20 tahun yang lalu. Ayahnya, Alexander Dinan, begitu merindukan ibunya namun ia tidak pernah menunjukkannya. Gini Bastian berhadapan dengan segudang masalah yang diwariskan oleh mendiang kakeknya kepada keluarga kecilnya.
Buka▼
Bab

Paris, Prancis, 2001

Adakah yang tau tentang kapan seseorang akan berpisah dan bertemu kembali dengan orang yang dicintainya?. Atau apa mungkin ada sesuatu yang dapat membuat kita mengetahui apa yang akan terjadi esok?. Pertanyaan ini seringkali berbelit di hati manusia. Hati yang dipenuhi ketidaksabaran. Hati yang dirasuki rasa curiga. Hati yang dikuasai amarah dendam masa lalu. Hati manusia.

Eiffel telah sering menjadi saksi untuk itu. Semua orang silih berganti datang dan kembali dengan suasana hati yang berbeda. Adakalanya saat mereka datang, hati mereka bahagia dan bangga. Namun saat mereka kembali lagi kesana, hati tersebut telah hancur.

Sepasang manusia, didalam sebuah apartemen di seberang menara Eiffel. Terlibat percakapan yang menyatakan keadaan yang sulit bagi mereka berdua. Aku sudah mengatakannya diawal barusan, bahwa hati manusia itu bercampur dengan berbagai rasa. Dan salah satu rasa tersebut, yang akan kau temui dalam cerita ini, bermula dari sebuah percakapan di apartemen ini.

“Aku akan kembali ke Wina besok, aku berjanji akan kembali secepatnya.”. Ujar Agatha seraya menggenggam tangan Dinan.

“Pikirkan kembali, kumohon. Terlalu berbahaya jika kau mencoba mengurusnya sendiri”. Bujuk Dinan pada Agatha.

Agatha memandangi Sebastian kecil yang sedang tertidur di kereta bayi disamping Dinan.

“Aku akan kembali, aku berjanji”.

“Kau tidak akan meninggalkanku kan? Bersumpahlah bahwa kau akan kembali”. Dinan mendekap tangan Agatha, Istrinya ke dadanya.

“Aku berjanji, aku akan kembali dalam satu Minggu”.

Mereka kemudian berpelukan. Menara Eiffel sore itu, menjadi saksi peristiwa yang akan mengubah semuanya kearah dinamika tak terduga dikemudian hari nanti. Peristiwa yang secara tidak sengaja menjadi sebab perpisahan dan pertemuan kembali dua insan yang saling mencintai.

Paris kelabu Minggu sore itu. Awan mendung sendu menutupi segala sudut kotanya. Hujan turun serintik demi serintik sebelum lebatnya. Taman Champ de Mars diseberang apartemen mereka basah oleh hujan, kehilangan keindahannya sesaat. Jalan-jalanan Paris pun demikian. Lengang. Hanya beberapa mobil yang melintasi jalanan saat hujan turun.

Keesokan harinya, Agatha terbang ke kampung halamannya di kota Wina, ibukota negara Austria. Kota yang selama berabad-abad menjadi ibukota kerajaan Habsburg ini, telah bersolek dan berbeda dari ingatan Agatha 10 tahun yang lalu. Agatha melirik kembali ke luar jendela pesawat. Ia membatin. Sudah 10 tahun ia pergi dan belum kembali lagi selama itu.

Agatha disambut oleh kolega ayahnya, Mr. Abbondio Nico bersama dua orang pengawal pribadinya setibanya di bandara.

“Mrs. Agatha Brigitte?”. Tanya seorang pria dengan wajah kebapakan. Dia menggunakan setelan jas formal dan seperti umumnya pria berusia 50 tahunan, dia agak sedikit buncit.

“Oh benar, itu saya. Tuan ...?”. Agatha menyalami pria itu, tapi dia malah lupa dengan namanya.

“Abbondio Nico. Terimalah ucapan belasungkawa ku atas mangkatnya kedua orangtua anda kemarin”. Tuan Nico menjulurkan tangannya tanda berjabat.

“Ahh benar, aku melupakan namamu. Aku berterimakasih banyak kepadamu, Tuan Abbondio Nico”. Agatha tertawa kecil menyadari kesalahannya. Ia menjabat erat tangan Tuan Nico seraya tersenyum kecil.

“Panggil saja aku Nico. Kita pernah bertemu dua kali di pesta yang diadakan di mansion mu di Toulouse dan Marseille”. Pria itu menjelaskan kenangan kecil kepada Agatha.

“Monsieur Nico?”. Canda Agatha seraya melebarkan senyumannya.

“Est-ce que j’ai l’air d’être né en France? – Apakah aku terlihat seperti lahir di Prancis?”. Tuan Nico dan Agatha tertawa kecil setelah mereka balas membalas candaan.

“Kupikir anda orang Perancis, kurasa”.

“Aku lahir di Italia, kau tau. Sangat sulit untuk tidak mengatakan Ciao saat kau pergi ke negara lain”. Ujar Tuan Nico canggung.

“Si scopre che sei italiano – Anda orang Italia rupanya”. Canda Agatha dengan sedikit berbahasa italia.

“Parli anche italiano a quanto pare – Anda bisa berbahasa italia juga rupanya”. Tuan Nico kembali tertawa dengan lelucon kecil Agatha.

“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih padamu, Sinyore Nico. Tidak ada yang lebih dekat dengan ayahku selain dirimu, walaupun kita jarang bertemu”. Mata Agatha berbinar-binar. Tangannya dengan kuat memegang koper dan wajahnya berubah sendu.

“Tidak apa-apa anakku, santai saja. Kau sudah berada dirumah sekarang. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan ke rumah mendiang orang tuamu. Kau tentu tau bukan, cuaca disini sangat panas di bulan Agustus”.

Tuan Nico berjalan dua langkah lebih dulu daripada Agatha. Sedangkan kedua pengawal pribadinya membawakan koper dan tas Agatha. Sebenarnya, dari tatapan Tuan Nico dan kedua pengawal pribadinya, Agatha menaruh sedikit curiga. Ia merasakan sedikit firasat buruk. Namun, ia juga tau, Tuan Nico adalah kolega terdekat ayahnya yang mengurus hampir 60% perkebunan anggur milik ayahnya.

Mereka berjalan keluar dari Bandara. Sebuah Limousine Mercedez-benz telah menunggu mereka beberapa saat yang lalu. Agatha memandangi seluruh sudut bandara. Ada banyak sekali perubahan yang telah terjadi di tempat tersebut selama 10 tahun belakangan. Namun baginya, satu-satunya yang tidak berubah dari tempat tersebut adalah Aroma Khas Sungai Donau yang dirindukannya.

“Kapan pun kau siap, Nona Agatha”. Tuan Nico sudah masuk terlebih dahulu kedalam Limousine. Agatha, dengan salah satu tangannya dipegang oleh pengawal pribadi Tuan Nico, kemudian menyusul masuk dan duduk disebelah Tuan Nico tanpa sedikitpun rasa berat hati.

Kedua pengawal Tuan Nico duduk dibelakang sheet Tuan Nico dan Agatha. Mereka berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Agatha. Kecurigaan Agatha bertambah ketika ia melihat sebuah tali di samping sheet kedua pengawal pribadi tersebut saat ia naik ke mobil tadi.

“Kita berangkat sekarang tuan?”. Tanya sopir Limousine tersebut seraya menekan tombol kunci semua pintu.

“Sekarang saja. Kita tak boleh berlama-lama membuat Nona Agatha merindukan orangtuanya. Akan lebih baik jika dia menyusul keduanya”.

Jawaban Tuan Nico serta senyumnya yang mengerikan membuat Agatha hampir pingsan karena kaget. Ia masih tak mengerti dengan perkataan Tuan Nico barusan, namun ia paham bahwa itu tidak bagus. Limousine itu berlalu dan keluar dari bandara, menyisakan Agatha yang masih keheranan bercampur kaget.

“Apa maksudmu mengatakan bahwa aku akan lebih baik menyusul kedua orangtua ku?”. Agatha menggeser tubuhnya menjauhi Tuan Nico. Nafasnya tak beraturan dan ia sangat ketakutan.

“Kau hanyalah gadis kurang ajar dan tak kompeten. Kau tak bisa memiliki perusahaan tersebut. Kau dan orangtua mu adalah gangguan kecil dalam rencana ku”. Tubuh Tuan Nico semakin dekat dengan Agatha. Ia terperangkap. Dia berusaha menggedor-gedor jendela dan menendang pintu dengan kakinya, namun itu tak berhasil sama sekali.

“Mengapa...”. Agatha tak menyelesaikan kata-katanya, sebab tangan Tuan Nico telah mencekik lehernya. Agatha menggeliat menahan nafas.

“Beruntung sekali diriku karena kebakaran di Villa Salzburg kemarin menewaskan kedua orangtuamu”. Air mata Agatha menetes begitu mendengar penjelasan Tuan Nico.

“Kau membunuhnya...!!!”. Agatha berteriak. Kedua tangannya berusaha memukul tubuh Tuan Nico. Namun tidak ada efek yang terjadi.

“Sekarang giliranmu menyusul mereka. Johann, Evann, urus anak sialan ini”. Tuan Nico menarik rambut Agatha sehingga ia kesakitan. Agatha meludahi wajahnya. Namun itu hanya membuat ia semakin marah.

Johann, salah satu pengawal pribadi Tuan Nico yang bertubuh tinggi dan besar, memegangi kedua tangan Agatha. Sedangkan, Evann, yang bertubuh sedang namun berpenampilan rapi, berusaha mengambil alih leher Agatha dari tangan Tuan Nico yang sedang mencoba membersihkan wajahnya. Agatha menggeliat sekuat tenaga.

“Pegang tangannya dengan erat Johann”. Evann kesulitan karena Agatha terus menjauhkan tubuhnya dari tangan Evann.

“Dia menggeliat. Tangannya berkeringat”. Johann berusaha sekuat tenaga memengangi kedua pergelangan tangan Agatha.

Agatha memandang kedua kakinya yang bebas bergerak. Sejenak ia memandangi supir dan kemudian sebuah tendangan keras mendarat di bahu supir Limousine tersebut. Supir itu kaget setengah mati mendapat tendangan keras di bahu kirinya.

Limousine tersebut oleng. Termasuk semua orang didalamnya, menjadi terhempas diudara selama beberapa saat. Tangan Agatha terlepas dari genggaman Johann. Saat-saat tersebut dimanfaatkan Agatha untuk menendang tubuh Tuan Nico yang masih membersihkan wajahnya.

Kaki kanan Agatha menendang Tuan Nico serta menjepit tubuhnya diantara kaki dan pintu mobil. Kini, tujuan kaki kirinya adalah kepala si supir Limousine. Ia baru saja mengumpulkan tenaganya untuk melakukan hal tersebut, tapi sepasang tangan telah menggenggam erat tangan kanannya. Johann.

Agatha tetap pada rencananya. Ia kemudian menendang kepala si supir dan alhasil kepala supir tersebut tersentak ke tombol pengunci mobil. Tuan Nico yang melihat hal itu memberontak. Suasana didalam Limousine tersebut sangat kalut.

Tangan kiri Agatha mencari tuas pintu dan ia berhasil mendapatkannya. Agatha mungkin lupa karena ia sedang dalam berada di kondisi terdesak. Ia lupa bahwa ketika ia membuka pintu tersebut, punggungnya akan kehilangan sandaran dan ia akan terjatuh. Tapi memang itulah yang terjadi.

Tubuh Agatha terjatuh menghempas rerumputan di hutan musim panas saat itu. Untung saja, ia merupakan wanita yang kuat. Ia bangun dan berlari menembus hutan. Pendengarannya menangkap suara sebuah mobil yang berhenti. Larinya semakin cepat. Ia kemudian menoleh sebentar ke belakang. Dan benar saja, Johann dan Evann sedang mengejarnya.

Diujung hutan tersebut, Agatha dapat dengan jelas mendengar suara aliran air sungai Donau serta suara-suara sapi pegunungan. Agatha berlari menuju ke peternakan tersebut dan masih berlari hingga sampai ke sebuah kandang yang tanpa diduganya adalah kandang kuda. Agatha memberanikan diri masuk dan segera menutup pintu kandang tersebut.

Ia membuka sebuah peti di barisan kuda sebelah kanan, dibelakang salah satu kuda berwarna coklat. Ia tak bersuara, bahkan ia juga berusaha mengeluarkan nafas dengan sangat pelan. Diluar sana, ia dapat mendengar ada langkah kaki yang menuju kandang tersebut. Ia berdoa dengan sangat panik kala itu.

Kau tau bukan, ada beberapa doa yang akan dikabulkan saat kau terdesak. Mungkin doa Agatha saat itu dikabulkan, karena begitu pintu itu dibuka, yang ia dengar hanyalah langkah kaki tua pemilik peternakan tersebut. Agatha bersegera keluar, tetapi saat ia sudah hampir membuka peti tersebut, suara langkah-langkah kaki lainnya berdatangan. Adalah Johann dan Evann yang nafasnya tersengal-sengal seperti baru saja menyelesaikan Maraton.

“Tuan, heiii. Kemarilah”. Panggil Evann kepada Kakek tua pemilik peternakan.

“Kau memanggilku?”. Tanya kakek tua tersebut. Ia mendatangi Evann dan Johann dengan tatapan kebingungan.

“Aku ingin bertanya. Apakah kau melihat seorang wanita muda baru saja melewati peternakan mu ini?”. Evann mencoba mengatur nafasnya.

“Aku baru saja pulang dari Venezia, mana mungkin aku tau. Aku takut yang kalian lihat adalah peri-peri musim semi yang berkeliaran di hutan yang baru saja kalian masuki tadi”. Canda kakek tua tersebut sambil tertawa khas kakek-kakek.

“Aku tidak menyuruhmu bercanda orang tua”. Tangan Johann menggenggam kerah baju kakek tua itu. “Jadi katakan saja apakah kau melihatnya atau tidak ?”. Johann emosi. Namun kakek tua tersebut tidak bisa menjawab karena ia tercekik.

“Johann, perhatikan jejak kaki di kandang kuda kotor ini”. Evann melirik jejak kaki yang tercetak diatas lumpur di kandang kuda tersebut.

“Kau ini bodoh atau apa?. Mengapa tidak kau perhatikan saja sepatu jelek orang tua bau ini”. Evann mengalihkan perhatiannya kepada sepatu boot kakek tua tersebut. Dan ia kemudian tertawa kecil.

“Baiklah, dia mungkin tidak ada disini. Ayo kita pergi”. Kakek tua itu terjatuh keatas tanah berlumpur setelah kerah bajunya dilepas oleh Johann.

Johann dan Evann pergi meninggalkan kandang tersebut. Saat mereka telah jauh, dan kakek tua itu juga telah membersihkan tubuhnya dari lumpur, Agatha keluar dari peti tempat ia bersembunyi. Ia kemudian mendatangi kakek itu untuk meminta maaf.

“Tuan, permisi”. Agatha memecahkan perhatiannya dari bajunya yang kotor.

“Ohh jadi kau yang dicari kedua pemuda tadi. Lebih baik kau jangan berurusan dengan suami yang pemarah, sayang”. Canda kakek tersebut. Agatha tersenyum malu-malu.

“Mereka bukan suamiku. Mereka adalah suruhan dari pembunuh kedua orangtua ku”. Agatha mematung dan matanya berair kembali.

“Aku turut menyesal. Bagaimana jika kau datang kerumahku dulu. kau kelihatan lapar. Mungkin Anne ku tersayang bisa menyajikanmu Tiroler Gröstl buatannya”. Ajak kakek tersebut.

“Tiroler Gröstl?”.

“Yang terbaik di sepanjang sungai Donau ini”.

Agatha dan kakek tersebut berjalan beriringan menuju sebuah pondok kecil di sebelah Utara peternakan. Bisa dibilang, itu rumah yang cukup nyaman untuk ditempati dimusim panas seperti ini. Setelah perjalanan panjang Agatha sepagian itu, ia tentu saja kelelahan. Yang terbaik saat kau berada di Wina, saat kau berada di jantung Eropa, adalah kau bisa kemana saja, ke seluruh penjuru Eropa melalui kota ini.

Kau pasti bertanya-tanya, bukan?. Bagaimana bisa kisah ini akan berakhir di Eiffel, sedangkan segalanya berawal di Wina. Akan kuberitahu sedikit rahasia. Kita tidak pernah mengerti bagaimana jalan hidup seseorang, apalagi jika orang itu adalah anak orang kaya.

Kita juga tidak akan menemukan akhir yang bahagia jika kita hanya bertumpu pada bab pertama cerita ini. Karena setelah ini, deru bunyi kereta api akan memekikkan telingamu dan membawa Agatha serta dirimu ke kota Paris. Kota Mode Prancis.

~+*+~