PopNovel

Baca Buku di PopNovel

I Want You In Sixty Days

I Want You In Sixty Days

Penulis:Runicha Hatta

Berlangsung

Pengantar
Sial. Disaat Jenta mencari kenikmatan dari gadis ke gadis demi menemukan hormon seimbang, Gadis yang cuek itu membuatnya candu. Ia bersumpah namanya bukan Jenta Panjaitan jika tidak bisa membawa Gadis itu ke kamarnya. Untuk menyicipinya di musim penghujan hingga siklus musim membiarkan matahari setinggi ujung tombak. Lihatlah, ketika dia mencumbu orang lain, bahkan matanya tidak bisa beralih pada bibir sensual itu, agresinya semakin liar dan panas, sekalipun baru pertama kali bertemu. Dear Miss Gendhis, I want you in Sixty Days.
Buka▼
Bab

Beberapa cahaya lolos dari kusen jendala, menyorot ke dalam dengan sombong. Sinar matahari sore terus mengirim partikel secara berkesinambungan, tanpa kenal lelah, berbeda dengan suasana Apartemen yang mulai lengang. Sebagian besar sudah pulang kampung karena sebentar lagi lebaran. Aku mengamati sekitar—tangga—tempat favoritku.

Aku memilih tangga untuk turun dibanding lift agar bisa menikmati detail-detail tiap koridor dan sentuhan minimalis yang elegan di bangunan ini. Dinding berwarna krim cerah dan keramik senada, beberapa tumbuhan dari suku pinang-pinangan—hijau teduh—lalu kamar-kamar yang pintunya terbuat dari kayu jati diberi dipelitur, menambah kesan natural di dalamnya.

"Arghhh, terus sayang, emmmhhh…"

Aku nyaris terjengkang ketika melihat pasangan yang sedang bercumbu di ujung anak tangga . Kerongkonganku tersumbat sesuatu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Jemariku meremas ujung baju dengan kuat. Bisa-bisanya mereka melakukan sesuatu yang sangat privasi di tempat umum seperti ini. Apa urat malu mereka sudah putus?

"Ini bukan tontonan yang geratis, kau sepertinya sangat tertarik menyaksikan ini." Kata si pria dengan kurang ajarnya, sambil semakin liar menyesap tengkuk wanitanya tanpa berhenti melirikku.

Aku melotot, lalu mendecih dan buru-buru pergi dari dua manusia menjijikan tadi. Entahlah, mungkin itu adalah kali pertamaku menyaksikan adegan dewasa, tepat di depan mata, jelas, tanpa syarat!

"Shit!" Umpatku sambil berlari-lari menuju garasi kendaraan.

Seyogianya hari ini dimulai dengan hal yang positif, agar hari pertamaku bekerja juga akan baik-baik saja. Tapi mereka malah…, Aku menghela udara, mengatasi rasa kesal. Tidak baik mengutuki orang lain, pikirku, sejurus kemudian masuk ke dalam mobil dan membelah pagi Jakarta yang masih sepi.

***

Aku sungguh tidak percaya. Aku bertemu dia lagi. Lelaki yang mengumbar kemesraan di tempat umum tanpa rasa malu. Dia berjalan dengan langkah 'seseorang yang nyaman dan percaya diri dengan keadaannya'.

Lelaki itu memakai setelan tuksedo, lengkap dengan dasi satin dan gaya rambut army look. Aku yakin sekali pagi tadi dia terlihat sangat memalukan. Dan now look at him, entah keajaiban seperti apa, setelan itu benar-benar membuatnya bertranformasi menjadi sosok yang punya daya tarik melebihi grafitasi bumi, sampai-sampai berhasil menyedot perhatian seisi kantor hanya untuk memujanya.

Semua wanita pasti mendamba sosoknya. Dan setiap pria akan berdecak iri dengan apa yang dia punya. Bahwa dia nyaris sempurna.

Tapi, tunggu dulu.

Meski bagaimanapun juga, tampilannya kali ini tidak bisa mengubah imagenya dimataku. Dia hanyalah lelaki memalukan. Itu saja yang kutahu darinya.

"Selamat siang," uaranya asing, "selamat datang di Skysifood. Saya Jenta Panjaitan, President Directur perusahaan ini, senang bertemu kalian."

Aku melongo. Wow. Seorang Presdir, dia?

Kemudian sisanya hanya dialog atasan-bawahan yang menjemukan untuk didengar. Aku pura-pura fokus tatkala mata Jenta bertemu dengan mataku, aku memasang wajah hormat seakan aku tak pernah melihat apapun di pagi tadi.

***

Breifing selesai, saatnya menuju ruang kerja yang ditunjukkan COO Skysifood, bersyukur aku tergabung dalam Tim Product Developement. Tanggung jawabku untuk mengembangkan produk baru maupun yang sudah ada sehingga perusahaan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih efektif. Terkadang, divisi ini juga akan berkomunikasi dengan para klien agar dapat menggambarkan Visi dan Misi mereka.

Namun kabar gembiranya, aku mulai bertugas setelah mengikuti training beberapa hari di Skysifood pusat yang ada di Jakarta Timur. Jadi aku tidak harus bertemu dengan Jenta untuk beberapa waktu dulu.

"What a surprise!" Jenta menyapa ketika ia melangkah masuk ke dalam lift yang sama denganku, tanpa kuduga ia berdiri di sisiku. Jemarinya yang panjang dan koko memencet digit tombol tanpa memalingkan pandangannya dariku.

Neuronku seperti tersulap untuk mogok berjamaah sampai tidak bisa memberikan intruksi pada otot. Ini bukan kabar baik, tentu saja. Entah kenapa aku jadi gugup sekali ketika pintu lift tertutup dan tersisa kami berdua disini. Hanya berdua!

"Amanda Gendhis." Dia tersenyum, mengetahui namaku. Well, tentu saja. Dia adalah Boss disini, dia mungkin sudah mengingat seluruh nama bawahannya. Termasuk aku, kan?

Aku membalas senyumnya dengan keki. Berusaha terlihat menghormatinya—sebagaimana mestinya.

"Bagaimana kabarmu, Miss Gendhis?" Dia bertanya, basa-basi standar. Seolah tidak terjadi apa-apa pagi tadi. Jemarinya berada pada saku celana, dan aku tidak tahu kenapa dia terus tersenyum seperti itu.

"Seperti yang kau lihat, Pak. Saya baik-baik saja." Mungkin aku bisa terlihat setenang itu ketika menjawab pertanyaan Jenta. Tapi percayalah, sedang terjadi gempa skala tinggi dalam diriku. Alat pemompa darah berkerja lebih keras di dalam sana, dan di suhu sedingin ini aku masih bisa berkeringat.

Oke, apa yang terjadi padaku?

Aku melihat angka pada layar kecil diatas digit tombol lift. Sudah di Lantai 3. Aku mengaitkan poni rambut pada daun telinga, kemudian membenarkan tas cangklong , bersiap-siap keluar. Lebih tepatnya bersiap-siap mejauh dari Jenta.

Sejurus kemudian, goncangan kecil terjadi. Seketika lampu utama meredup. Tersisa lampu kecil yang masih mampu menyorot ekspresi shock-ku. Kemudian barulah aku sadar, kalau harapanku sudah pupus. Aku terjebak. Dalam lift. Berdua. Dengan Jenta.

"Alright, sepertinya kau harus memeriksakan jantungmu setelah ini."

Aku melihat Jenta mengangkat keningnya dari pantulan alumunium mengkillat Lift.

Aku diam saja. Mengotak-atik ponsel, mengubungi siapapun diluar sana. Aku tidak bisa membayangkan mati disini atau menjadi beku bersama seorang seperti Jenta. Pria yang mungkin bisa memakan siapa saja.

"Tidak perlu khawatir, dalam lima menit semuanya akan baik-baik saja. Maybe, " ia mengindikkan bahu dan matanya menatap jenaka.

"Lima menit?" Aku membulatkan mata. Terlalu sulit menerima.

Jenta memprovokasi dengan mendekat, sontak aku mundur sampai bahuku menyentuh alluminium. Jantuku merespon seketika. Tunggu, dia mau apa?

"Jika beberapa gadis berharap bisa berdua denganku, selama

mungkin, kau malah ingin menghindariku, begitu Miss Gendhis?"

"Pak, aku tidak…em, aku….,"

"Apa yang ingin kau katakan dan kau menyebutku 'Pak'?" Jenta meletakkan tangannya ke dinding, mengunciku dintara lengan besarnya. Demi apapun, aku merasa seperti ingin menghilang secara ajaib, jauh-jauh dari keberadaan orang seperti Jenta . "Bisakah kau memanggilku sayang?"

Hng?

Apa katanya?

Kuhela napas lega ketika bunyi ting lift terdengar dan lampu utama kembali menyala, itu artinya lift sudah berfungsi dan Jenta harus keluar dan seperti seharusnya, ia memang keluar, dengan langkah tanpa beban. Menyambut para karyawan senior yang sebelumnya terperangah dengan keberadaan kami di dalam lift, berduaan, dengan posisi seperti tadi. Sementara aku cengo sendiri. Sisi hatiku yang picik menertawai rasa tak nyaman yang disebabkan Jenta.

Lelaki itu sempat mengedip padaku, sebelum akhirnya menangani anak buahnya yang sedang bertanya-tanya.

"Apa yang kalian lihat?" Jenta menyedekapkan tangan, menggunakan nada paling maskulin yang pernah kudengar. Wajahnya datar, memberi kesan intimidasi . "Dia?"Jenta menujukku.

Aku menebak-nebak apa yang ingin dia jelaskan.

"Amanda," Dia memanggilku.

"Iya, Pak?"

"Kemarilah,"

Hah?

"Kemari!" Tegasnya.

Aku melangkah dengan langkah yang kaku. Setelah sejajar dengannya, jantungku selaksa mau jatuh ke perut, merasakan jemarinya yang besar menyentuh jemariku yang sudah dingin seperti baru saja dicelupkan pada lautan es.

Aku deg-degan. Tidak mampu menghindari tatapan berbahaya dari beberapa wanita di ruang lobi ini yang melihatku seakan-akan saingan paling berat.

Oh, ayolah, hanya karena insiden pagi tadi. Hanya karena aku melihatnya mencumbu seorang wanita. Dan hanya karena dia menyapaku, lalu lelaki ini bisa seenaknya menciptakan gossip di perusahannya sendiri?

Aku mengelus kening, mencoba menghilangkan beban yang membayangiku. Kutarik napasku dengan pelan dan rileks, lalu melepaskan genggaman Jenta dengan satu gerakan. Membuat lelaki itu langsung menatapku dengan picingan.

"Maaf, Pak. Saya sudah ditunggu, untuk mengikuti training." Tapi usahaku nihil, dengan gerakan cepat Jenta kembali menjangkau jemariku dan menariknya dengan kuat, membuat tubuhku sempurna menyentuh dadanya yang keras.

Aku seketika membeku, nyaris mengerang ketika permukaan bibirnya menyentuh bibirku. Tangan kananya menyelip di tengkuk, membuatku tak bisa mundur atau membatalkan ciuman ini. Jenta menekan bibirnya, melepaskan dengan pelan, menekan lagi dan debit darahku melonjak luar biasa.

Aku linglung, aku berciuman dengan Jenta? Bosku? Lelaki yang sudah memiliki pacar? Dan itupun dihadapan karyawannya? Aku menahan dada Jenta, mendorongnya dengan kuat, lalu

PLAK

Menamparnya tanpa ampun.

BERSAMBUNG.......