PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Lembayung Senja

Lembayung Senja

Penulis:Lan Makalangan

Berlangsung

Pengantar
Winda yang pernah gagal berkali-kali dalam menjalin hubungan,membuatnya trauma dan enggan untuk memulai kembali sebuah hubungan. Karena terlalu lama untuk mobe on, Winda tak sadar bahwa usianya hampir menginjak kepala tiga. Winda baru sadar setelah statusnya jadi bahan obrolan tetangg. Akhirnya Winda kembali untuk membuka hatinya untuk laki-laki lagi. Siapa laki-laki yang akan dipilih oleh Winda?
Buka▼
Bab

Winda menatap wajahnya erat di depan cermin. Ana memandangi wajahnya yang tak lagi anak-anak. Dia menelusuri garis-garis wajahnya yang kini nampak jelas, bahwa dia telah dewasa.

"Win, sini sebentar, Kak!" seru Bibi Enung pada keponakannya itu.

"Iya, Bi, ada Apa?" Winda segera merapihkan kerudungnya dan beranjak menghampiri Bi Enung yang sedang membuat gorengan di dapur.

"Tolong beliin Bibi garam di warung, ya, kebetulan garam bibi habis, nih!" Bi Enung mengetruk-ngetruk sisa garamnya di dalam toples ke atas adonan bala-bala yang akan dibuatnya.

"Boleh, Bi," jawab Winda, melihat Bi Enung mengambil uang dari dalam saku dasternya.

"Jangan lupa sekalian sama tomatnya ya, bibi mau bikin sayur lodeh," tambahan Bi Enung saat Winda sudah mulai memakai sandal di muka pintu. "Iya, Bi." jawab Winda, segera berangkat ke Warung Mang Kopi. Kenapa disebut Warung Mang Kopi, karena sang pemiliknya berkulit agak gelap.

"Eh tahu gak, Ceu, si Winda, masa udah dua puluh delapan tahun belum nikah juga!" Bisik Mamah Ujang pada Mimin di sudut Warung Mang Arab.

Deg.

Batin Winda tersentak, mendengar desas-desus ibu-ibu di Warung yang paling laris di kampungnya itu. Sebenarnya Winda lebih memilih pergi ke  Warung Ni Aton, karena disana warungnya cenderung agak sepi, jadi tidak terlalu banyak ibu-ibu yang merumpi.

Tapi, Warung Ni Aton lumayan jauh, Winda sedang ada kerjaan, jadi dia lebih memilih Warung Mang Kopi saja yang lebih dekat, dengan resiko banyak ibu-ibu yang merumpi. Apalagi di jam masak siang seperti ini, jam sepuluh, sebelasan, orang sedang sibuk pulang pergi ke warung.

"Dianya sih, yang pilihan ... makanya jadi wanita itu jangan pilihan, nantinya susah jodoh. Noh,  buktinya sekarang si Winda, kan. Umur segitu masih menjomblo." jawab Mimin, menanggapi Mamah Ujang.

"Sssttt ... sstt ...!" Mamah Ujang menempelkan telunjuk ke bibirnya, memberikan bahwa Winda sedang ke Warung Mang Kopi.

Winda berjalan di depan Mamah Ujang dan Ceu Mimin, pura-pura tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

"Punten, Mamah ... Eceu ...!" Winda meminta permisi, lewat di depan mereka berdua.

"Eh, Winda, mangga, Win!" jawab Ceu Mimin dan Mamah Ujang. Dari belakang mereka memperhatikan apa yang dibeli Winda. "Garam," bisik Mamah Ujang pada Ceu Mimin, melihat Winda juga mengambil beberapa tomat pesenan Bi Enung.

"Jadi berapa, Mang?" tanya Winda pada Mang Kopi, menyiapkan uang untuk membayar belanjaannya.

"Lima ribu aja, Neng," jawab Mang Kopi, melihat Winda mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu.

"Ini, Mang!" Winda mengasongkan uang pada Mang Kopi di depan etalase warung itu. Mang Kopi sejenak membuka laci dan mencari kembalikan belanjaan Winda.

"Makasih, Neng, ya!" ujar Mang Kopi memberikan kembalikan pada Winda yang masih berdiri di depan etalase. Winda melihat dengan sudut matanya, Mimin dan Mamah Ujang sedang memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Winda risih dengan Mamah Ujang dan Mimin, ya seolah selalu memperhatikannya dalam segala hal. Winda ingin segera beranjak dari warung itu. Winda ingin segera pulang ke rumah.

"Eh bentar, Neng ini dua ribu lagi!" Mang Kopi tanpa sepersetujuan Winda, langsung lari ke dalam rumah untuk mengambil kembalikan Winda yang kurang.

Melihat tatapan Mimin dan Mamah Ujang, rasanya Winda ingin berlari dari warung itu. Agar tidak terlihat gugup, Winda mengedarkan pandangannya, melihat sekeliling Warung Mang Kopi yang penuh dengan dagangan yang digantungkan berjajar.

"Maaf ya, Neng lama, ini sisa kembaliannya," Mang Kopi memberikan sisa kembaliannya pada Winda.

"Mangga, Mamah, Eceu!" Winda menganggukkan sedikit kepalanya kepada dua serangkai biang gosip di kampung itu.

"Eh, Mangga Neng Winda. Tumben gak lama atuh belanja nya," Mamah Ujang basa-basi, melihat Winda menenteng garam dan tomat.

Winda segera meninggalkan Warung Mang Kopi dengan hati kesal dan menggerutu, karena kenapa di dunia ini ada orang seperti mereka berdua yang selalu ingin tahu tentang kehidupan orang.

Bukan itu saja, mengapa di dunia ini ada yang melihat orang senang malah susah dan melihat orang susah malah senang. Dan dua orang di warung itu kombinasi dari keduanya.

"Bi ...!" Winda segera masuk ke dalam rumah. Di dapur sudah ada beberapa orang yang sedang membeli gorengan pada Bi Enung. Bi Enung sibuk melayani pelanggannya satu persatu.

"Win, tolong ambil in kresek dulu di kamar sebelah, tadi Bibi, lupa, malah menyimpannya disana. Bi Enung masih fokus melayani pelanggan. Winda segera mengambil kresek di kamar sebelah.

Tanpa di suruh, Winda segera membantu Bi Enung melayani pelanggan yang mulai rame di jam makan siang ini. Pelanggannya beraneka ragam, dari mulai anak SD hingga bapak-bapak yang baru pulang dari kebun atau sawah.

"Amang, bala-bala tiga, gehu empat ya?" Winda memasukan gorengan ke kantong plastik hitam pesanan Mang Dudu yang sudah menunggu lumayan lama.

"Iya Neng," jawab Mang Dudu, memperhatikan Winda memasukan gorengan satu persatu.

"Bentar ya Sayang!" Winda melihat Caca, anak kecil yang sudah terlihat kesal menunggu gilirannya dilayani. Caca tak menjawab, hanya melihat tangan Winda saja, cekatan.

"Winda! Winda! udah cukup buat nikah, nih! Kapan dong mau sebar undangannya?" celetuk Onah dari balik antrian memecah suasana perdagangan jadi suasana batin bagi Winda.

Winda mati kutu, tak bisa menjawab pertanyaan Onah itu, karena jodoh bukan masalah cukup atau tidak, tapi masalah Alloh sudah mentakdirkan atau tidak.

"Jadi wanita mah, jangan pilih-pilih Win, nanti jadi perawan tua. Kasihan kan nanti anak kamu, anaknya masih muda, ibunya udah tua. Pantasnya punya cucu, malah masih punya anak." Onah belum puas membuat Winda mati kutu dan tertekan.

Winda benar-benar kesal dengan Ceu Onah, pasalnya bukan sekali dua kali dia membahas masalah itu di depan orang, sudah cukup kesabaran Winda rasanya menghadapi orang seperti itu.

"Mending kamu terima aja tuh si Amid, dia juga laki-laki baik kok, bertanggung jawab. Ya ... masalah pekerjaan mah, kamu yang sabar aja, namanya juga kehidupan, tak ada yang sempurna. Walau dia tukang rongsok, yang penting, kan halal!"

Winda makin sebal dengan omongan Onah itu. Winda tak sabar lagi, Winda ingin membela diri. Dulu ketika Winda dilamar pegawai Bank yang ganteng dan mapan, dia malah berkomentar, "Cari suami itu bukan dari ganteng atau banyak duitnya, tapi dari solehnya."

"Sekarang malah dijodohkan sama Amid. Boro-boro soleh, solat juga jarang" batin Winda menggerutu, benar-benar kesal dengan tetangganya yang satu itu.

Winda pura-pura tak mendengar pembicaraan Onah, Winda fokus melayani si kecil jutek Caca.

"Makasih ya, Sayang!" Winda tersenyum memberikan kembalian. Caca cuek tak menjawab sepatah kata pun ucapan Winda.

"Jadi orang itu harus mau mendengarkan pendapat orang lain, jangan nurutin hawa nafsu sendiri, nanti ujung-ujungnya malah menyesal di kemudian hari," Mata Onah masih lekat pandangannya pada Winda.

"Permisi, gorengannya, masih ada?"

Ucap seseorang yang baru terlihat di kampung itu memakai kemeja putih dan celana cino krem, serta sepatu pantofel.

"A, a, ada!" jawab Winda gugup.

!!! ...