PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Heart Feeling

Heart Feeling

Penulis:bintangdfk

Berlangsung

Pengantar
Blurb: Bolehkah menuntut harapan pada semesta? Tentang keajaiban yang diharapkan tampak suatu saat nanti. Mengenai pertemuan ulang antara kedua insan yang belum sempat mengungkapkan afeksi dari lisannya masing-masing. Namun, pada akhirnya pertemuan ulang itu seharusnya tak terulang, karena hati yang ingin kembali sudah tak lagi mengitari satu sisi. Hati tahu di mana tujuan abadinya, dan setiap orang akan kembali pada rumahnya. Ia akan kembali singgah, tetapi tentang menetap atau tidaknya, hanya Tuhan yang mampu mengendalikan takdir.
Buka▼
Bab

ORKESTRA KEHIDUPAN

SATU

"Sama seperti kamu, matematika juga berperan penting dalam segala hal."

***

Hari ini aku merutuki kehadiranku. Semestinya aku tak datang. Suasana kelas yang tidak seramai biasanya, it bores me. Ralat! Bored us. Akan tetapi, bosannya teman-temanku berbeda. Kebosanan ini membawaku pada kesulitan-kesulitan menjawab soal berbentuk angka yang diikuti variabel atau apalah itu, aku tak mengerti.

“Thalia, udah?” tanya El.

Netraku mendelik. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu. Jujur saja, jika permainannya adalah menghafal undang-undang itu jauh lebih baik daripada mengerjakan matematika yang tak bersahabat.

“Ini mah bukan gue yang ngerjain soal, tapi soal yang ngerjain gue!” ujarku ketus.

Mereka tertawa. Baik El, Arka, Maya dan Tristan, mereka semua tertawa. Tak ada yang membelaku. Aku sangat mengharap belas kasihan sekarang. Mungkin kini raut wajahku sudah terlihat frustrasi.

“Semangat, Thalia!” ucap Maya, “kalau lo kalah, siap-siap kantong kering aja!” Ia tergelak lagi.

Maya temanku memang pandai dalam hal apa pun. Ia menempati peringkat kedua di kelas, lalu di peringkat pertama ada Azazel Narendra—kerap kali disapa El. Ia yang mempunyai ide konyol untuk mengurasku. Katanya, siapa yang tidak menjawab soal matematika dengan cepat dan tepat, harus bersedia mengeluarkan uangnya untuk mentraktir.

Aku hanya pasrah, memandang kertas kosong di hadapanku tanpa tercoret sedikit pun oleh pena yang sedang kupegang. El mengambil soal itu dari buku LKS—lembar kerja siswa—matematika kelas dua belas semester dua. Menurutku soal ini egois. Ia ingin dimengerti, tetapi ia tidak memahamiku. Aku tak ingin berteman dengannya, si program linear yang seharusnya kugampar.

“Gue udah,” ucap Tristan tak ada beban.

“Me too,” kata Maya.

Lalu El menyahuti, “Gue juga udah.”

Satu orang lagi. Aku harap dia menyerah atau semoga dia menulis jawaban yang salah.

Semua mata menuju ke arahnya, termasuk aku. Romannya terlihat tenang, santai, tidak tergesa dan kurasa dia bersungguh-sungguh mengerjakannya. Tak berselang lama, bibirnya membentuk senyum, membuatku menelungkupkan wajah di atas meja.

Sudah. Harapan itu tak ada lagi.

“Thalia,” El memanggilku lagi.

Sontak aku mengangkat kepala. “Gocap.” Aku memandang mereka satu persatu. “Gue cuma bawa duit gocap,” ungkapku.

“Makanan di kantin semahal apa sih, Tha?” tanya Maya.

“Siomaynya Bi Idah aja cuma goceng,” sahut Tristan si doyan makan, tetapi timbangannya anti ke kanan.

Aku mengembuskan napas. “Oke. Tapi, kalian aja. Gue nggak ngantin.”

El mengernyit. “Why?”

“Siomay empat aja udah dua puluh, es ... dua kali empat sama dengan delapan, jadi dua puluh delapan ribu.” Aku menghela napas, lalu melanjutkan perkataan, “Lima puluh ribu dikurang dua puluh delapan ribu–”

“Dua puluh dua ribu,” sahut Arka menyela.

“Tuh 'kan ... buat ongkos grab aja nggak cukup,” ucapku pilu, “itu baru kalian aja loh yang makan, gue nggak,” lanjutku.

“Udah-udah. Thalia traktir kita entar aja, kalau banjir duit,” ujar Maya mendapat respons anggukan dari El, membuatku tersenyum.

“Eits. Kesepakatan tetap kesepakatan dong!” bantah Arka, memicu senyumku pudar.

Tristan hanya terkekeh melihatku murung kembali.

“Lagian dari awal lo yang bikin game, El. Masa nggak konsisten banget,” katanya lagi.

“Heh! Kayaknya masalah banget buat lo, ya, liat gue senang,” ucapku merengut.

“Emang,” ujar Arka dengan santai.

“Shit!” umpatku.

Di antara yang lain, Arka lebih sering membuatku naik darah. Sepertinya ia tak bisa jika tak mencari masalah. Namun, dia punya paras tampan. Katanya, mau se-absurd apa pun juga, kalau tampan maka tak jadi beban. Tetapi, itu bagi mereka penggemarnya. Tidak bagiku.

“Udah ‘lah, Ka. Lo nggak lihat tuh mukanya udah asem gitu, mewek entar,” ujar Tristan membuat bibirku mengerucut.

“Don’t care,” tanggapnya.

“Gue mau balik ke ruang OSIS,” ujar El seraya memasukkan buku beserta pulpennya ke dalam tas.

El memang sedang sibuk-sibuknya. Ia menjabat sebagai ketua OSIS SMA Nusa Bangsa yang sebentar lagi masa jabatannya akan terlepas karena telah menginjak kelas dua belas.

Sudah menjadi rutinitas tiap tahun bahwa hari ini kegiatan belajar mengajar belum efektif karena diadakan masa orientasi siswa selama tiga hari, lalu satu hari terakhir kegiatan masa orientasi kepramukaan. Maka dari itu suasana kelas sepi, sebab banyak siswa yang tidak berangkat.

Sebenarnya tak apa jika aku pun tak hadir karena memang tak ada absen, tetapi aku jenuh, selama dua minggu di rumah hanya sekedar rebahan. Rebahan juga bisa membuat pegal.

“Fighting, El!” ujar Maya menyalurkan semangat.

Arka berdecak. “Terus nasib hasil jawaban gue, gimana?”

“Simpan buat nanti,” kata El, “pasti guru ngambil latihan soal dari sana,” lanjutnya melirik LKS yang terlampir di meja.

“Gue juga ada kumpulan ekskul musik, mau bahas demo,” ujar Maya.

Arka menggebrak meja pelan. “Ada lagi yang mau out?” tanyanya datar.

Tristan berdeham. “Gue ...,” kalimatnya menggantung, ia melirikku. “Tha, lo mau ngantin?”

Aku menggeleng. “Nggak mood.”