PopNovel

Baca Buku di PopNovel

FALL

FALL

Penulis:Nics

Berlangsung

Pengantar
Awalnya, hidup Bemi baik-baik saja. Pekerjaan, pertemanan, dan percintaan, semuanya tidak ada masalah. Status lajang yang dia sandang pada usia 25 tahun tidak menjadi sebuah beban, melainkan kebebasan. Namun, semenjak insiden di titik nol kilometer, di mana dia dipertemukan lagi dengan tetangga masa lalunya yang menyebalkan, hari-hari Bemi tak lagi sama. Semuanya mendadak terasa kacau karena kehadiran seorang Mika. Laki-laki yang dia hindari sejak dulu kala.
Buka▼
Bab

"Mi, lo kenapa, sih? Manyun mulu dari tadi. Kalau emang ada masalah, kan, bisa cerita sama gue."

Bemi menghela napas panjang, kemudian bertopang dagu. Membiarkan layar komputer di depannya masih menampilkan microsoft excell dengan deretan angka yang memuakkan.

"Capek gue. Rasanya kerjaan nggak kelar-kelar dari jaman batu. Bikin sesek aja."

"Hadeh, gue kira apaan." Eksa, rekan kerja sekaligus sahabatnya memutar bola mata malas. Membuat Bemi semakin mengerucutkan bibir.

"Lo, sih, nggak ngerasain kerjaan gue!" protes Bemi.

"Eh, sebelum bilang gitu, coba sini gantiin gue sejam aja ngurus pajak-pajak ini!" Eksa tersenyum ngeri.

Bemi mendadak cengegesan mendengar ucapan sahabatnya, lantas dengan segera kembali fokus pada layar komputer. Yah, mau bagaimana lagi? Semuak apa pun Bemi pada pekerjaannya, dia tidak bisa mengabaikan semua itu. Sudah untung dia bisa bekerja saat ini, karena di luar sana masih banyak orang yang berjuang mencari pekerjaan.

"Eh, iya, Mi, pulang kerja hang out, yuk!" kata Eksa tanpa mengalihkan pandang dari layar komputer. "Gue butuh jalan-jalan."

Bemi menoleh. "Boleh juga. Mau ke mana?"

"Enaknya ke mana?"

"Nol kilometer?" usul Bemi. "Gue udah lama nggak ke sana."

"Boleh, tuh. Gue juga udah lama nggak ke sana."

"Oke kalau gitu deal, ya?"

"Deal," sahut Eksa. "Eh, tapi gue boleh ngajak someone, ya?"

Bemi menghentikan aktivitas mengetiknya. Dia menoleh cepat dengan mata menyipit, curiga dengan someone yang dimaksud Eksa.

"Jangan bilang si Deka?"

Eksa terlihat salah tingkah sembari menggaruk tengkuknya. Lantas senyum-senyum tidak jelas yang lebih mirip minta ditabok. "Nggak apa-apa, ya?"

Kan, benar dugaan Bemi. Aduh bagaimana, ya? Bemi tidak bermaksud melarang Eksa yang hendak mengajak Deka. Namun, bisa dipastikan jika spesies satu itu diajak, bukan hiburan yang akan dia dapat. Melainkan pemandangan yang membuatnya semakin terlihat ngenes.

Jomlo detected.

"Harus banget ngajak dia?" tanya Bemi malas.

"Ya, gimana, ya, Mi, gue udah beberapa waktu nggak jalan sama doi. Kan, kangen."

"Jijay!" Bemi bergidik ngeri. "Sok-sokan kangen padahal jarak kantor nggak ada sepuluh kilometer."

"Bilang aja lo pengin!" ledek Eksa. "Makanya, Mi, sono cari pacar. Kalau nggak, sekalian aja cari pendamping hidup."

"Kok, gue ngerasa dikatain, ya?"

"Gue nggak ngatain, loh."

Bemi memutar bola matanya malas. "Ya udah, gue nggak jadi ikut. Sana pergi berdua aja sama Deka."

Bibir Eksa melengkung ke bawah. "Yah, kok gitu? Nggak asik lo, ah."

"Lah, ketimbang gue ikut cuma jadi obat nyamuk? Mending gue tidur di kos."

"Ikutlah, Mi. Ya? Gue suruh Deka ngajak temennya, deh, biar nggak bertiga doang."

"Ogah!"

"Gue traktir, deh."

"Palingan cuma cimol goceng."

"Wedang ronde, gimana?"

"Lo semiskin itu, ya?"

"Asem lo!" kesal Eksa. "Gue traktir apa mau lo, deh, terserah lo mau makan apa."

Detik berikutnya mata Bemi mulai berbinar. "Bener, nih?"

"Iye!"

"Oke. Awas aja lo bohong!"

"Hm."

"Sip, pulang kerja langsung cus ke nol kilometer."

"Dasar! Gilirian disogok makanan aja maju paling depan."

"Gue denger loh, Sa."

***

Begitu pulang kerja, Bemi dan Eksa langsung bergegas menuju nol kilometer di Malioboro. Suasana sore di sana lumayan ramai. Banyak wisatawan yang berkunjung dan menikmati kota Jogja di kala senja.

Senyum Bemi mengembang saat kedua kakinya menjejak pelataran yang berada di pinggiran jalan titik nol kilometer. Rasanya sudah lama sekali dia tidak ke sini. Kalau tidak salah ingat, terakhir kali dia berkunjung yaitu saat keluarganya datang ke Jogja. Itu sudah lewat beberapa bulan yang lalu. Nyatanya, kesibukan kantor begitu menyita waktu hingga untuk berlibur sejenak saja membuatnya sangat malas karena kelelahan.

"Eh, kalian udah lama?"

Bemi dan Eksa refleks menoleh ke arah sumber suara ketika suara seseorang terdengar. Di sana, tidak jauh dari tempat Bemi berdiri, ada dua orang laki-laki yang tengah berjalan ke arahnya.

Laki-laki yang kemudian Bemi ketahui adalah Deka, kekasih Eksa.

"Hi, Dek!" Eksa tersenyum sembari melambaikan sebelah tangan. "Belum lama, kok. Baru beberapa menit lalu nyampe."

Setelah itu, Bemi bisa melihat adegan drama yang menurutnya memuakkan.

Saling pelukan dan bertukar senyum satu sama lain. Padahal, ini di tempat umum dan mereka melakukannya tanpa ada rasa canggung sedikit pun.

"Oh iya, kenalin nih, temen gue." Deka berucap sembari menoleh pada laki-laki yang berada di sebelahnya. "Namanya Bagas."

Kemudian laki-laki bernama Bagas itu berkenalan dengan Bemi juga Eksa.

"Eh, ngomong-ngomong gue sama Eksa cari minum dulu, ya," kata Deka. "Lo mau apa, Mi? Sekalian gue beliin."

"Lah, terus gue sendirian duduk di sini?"

"Ya elah, kan, ada Bagas," kata Deka lagi. "Nggak lama kok, ya? Gue beliin, deh, lo pengen minum apa."

"Idih, nggak lo nggak Eksa sama aja. Tukang nyogok."

"Nggak mau, nih?"

"Ya maulah!" sahut Bemi tidak santai. "Gratisan itu lebih nikmat."

Bisa Bemi lihat dari ekor matanya, Bagas tersenyum geli.

"Ya udah, mau minum apa?"

"Serah lo, dah. Gue ngikut aja."

"Ya udah, kalau gitu." Deka mengaitkan jemarinya dengan milik Eksa, kemudian berjalan santai meninggalkan Bemi dan Bagas yang sedang duduk di salah satu bangku di sana. "Titip Bemi, ya, Gas. Jangan sampe ilang."

"Sialan lo!" Bemi mengumpat lirih yang sepertinya tidak didengar oleh Bagas.

Beberapa menit terasa canggung ketika Bemi maupun Bagas saling diam. Tidak ada pembicaraan apa pun antara mereka selain perkenalan tadi.

Bemi mendengkus kesal. Benar, kan, seharusnya dia tadi tidak ikut saja jika hanya berakhir mengenaskan seperti ini. Ya, tidak semengenaskan itu juga, sih. Sekarang dia tengah duduk ditemani sosok laki-laki bernama Bagas. Namun. sama saja menyebalkan jika sedari tadi laki-laki itu hanya diam sambil memperhatikan sepatu.

"Lo temannya Deka?"

Nah kan, akhirnya ngomong juga. Bemi kira Bagas tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

"Iya."

"Asli Jogja?"

Bemi menggeleng. "Enggak. Gue anak rantau."

"Oh." Bagas mengangguk mengerti.

Untuk beberapa saat, Bagas terus mengajak Bemi ngobrol. Membicarakan banyak hal tentang Jogja dan segala pesonanya. Meskipun awalnya sedikit kesal, tetapi lama-lama Bemi menikmati. Ternyata laki-laki ini asik juga, tidak semenyebalkan yang dia kira. Mungkin efek kesal kareana Eksa dan Deka yang ujung-ujungnya asik pacaran. Makanya sudah men-judje orang bahkan sebelum mengenalnya.

Selagi asik berbincang dengan Bagas, Bemi dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Orang itu terlihat panik, kentara sekali dari wajahnya yang berpeluh, juga napasnya yang sedikit ngos-ngosan.

Bemi mengernyit memperhatikan sosok laki-laki asing yang tiba-tiba saja bersembunyi di dekatnya. "Kamu siapa? Main duduk tempat orang aja!"

Laki-laki itu celingak-celinguk, seperti tengah mengawasi sesuatu yang begitu darurat.

"Heh, nggak bisa bahasa indonesia, ya?" Sebut saja Bemi sedang pms. Bicaranya pedes gila.

"Kamu ini—"

"Aduh, Mbak, tolongin saya!" potong laki-laki itu sembari mencengkeram erat lengan baju Bemi.

Wanita itu otomatis tersentak. "Heh! Ngapain tarik-tarik?"

"Aduh tolongin bentar, ya, Mbak! Saya ngumpet di sini dulu. Please, Mbak! Ini urgent se-urgent urgent-nya. Ya?"

Belum sempat melayangkan protes, laki-laki berpostur tinggi itu sudah lebih dulu bersembunyi di samping Bemi. Membuat si empunya menganga tidak percaya, juga Bagas yang hanya melongo.

"Apaan, sih? Pergi nggak? Kalau nggak pergi, saya teriak sekarang juga!" ancam Bemi. Namun, laki-laki itu hanya diam.

"Oh, minta diteriakin beneran, ya?"

"Jangan, Mbak!"

"Kalau gitu pergi sekarang juga!" Bemi menarik laki-laki itu supaya menjauh, tetapi cengkeramannya pada lengan Bemi semakin erat.

Detik berikutnya, Bemi sibuk mengusir laki-laki asing yang dengan songongnya bersembunyi bahkan hampir memeluk tidak jelas seperti ini. Sedangkan Bagas hanya melongo di tempatnya, bingung hendak melakukan apa.

"Aduh, Mbak, jangan heboh dong! Nyawa saya terancam, nih!"

Kelopak mata Bemi melebar. "Kamu pencuri ya?"

"Iya. Pencuri hatimu."

"Banyak bacot!" seru Bemi pedas. "Pergi sana!"

"Nggak, Mbak. Sebentar lagi, oke? Tuh cewek jadi-jadian yang ngejar saya makin dekat!"

Dan setelah itu, Bemi mendengar teriakan heboh seseorang yang berada tidak jauh dari tempatnya.

"Ganteng, kamu di mandose? Hih, jangan main petak umpet gini dongse. Eike, kan capek. Ganteng, kamu di mandosdos?"

Seketika, Bemi ingin tertawa.

Jadi laki-laki ini dikejar waria? Oh ya ampun!