PopNovel

Baca Buku di PopNovel

No Title

No Title

Penulis:Quora_youtixs

Tamat

Pengantar
Dia dijebak dan dijual oleh orangtuanya sendiri untuk dijadikan istri muda. Gadis cantik yang polos berjuang bertahan dengan sekelumit kisah cinta yang mengharukan. Mengorbankan masa depan hanya demi kebahagiaan orang lain. Mempunyai suami dengan hasrat yang tinggi, membuatnya menjadi perempuan yang berbeda. Semakin kuat dan bergelora. Akhir perjalanan cinta dengan tetesan air mata.
Buka▼
Bab

Dua orang datang menghampiriku, dengan membawa kertas. Mereka orang yang sangat aku kenal beberapa hari ini.

“Cepat kamu tanda tangan pada kertas ini!”

“Apa ini maksudnya om Hendra?“

“Kamu sudah diserahkan pada kami berdua, orang tuamu sudah menerima kompensasi dari kita.”

“Maksud Om ... maksudnya aku sudah dijual? Aku tidak terima Om! Bu Yosi tolong aku! Bagaimana aku bisa dijual oleh orang yang selama ini membesarkan aku?”

“Itu kenyataan Ara, kamu harus terima. Mereka hanya berpura- pura baik di depan kamu selama ini. Tenanglah, sebentar lagi kamu akan menjadi maduku, istri dari kedua dari suami ibu.”

“Tidak ... tidak ... ini tidak mungkin.”

Sekelebat memori tentang masa laluku hadir. Tidak pernah menyangka jika hidupku akan berakhir seperti ini. Orang yang selama ini sangat aku sanjung ternyata tidak sebaik yang aku pikirkan. Mengapa mereka bisa berubah dan tidak pernah menjengukku selama aku berada di rumah ini. Rumah guruku Bu Yosi yang merupakan walikelasku yang baru satu bulan aku tempati.

Lima bulan yang lalu, aku menikmati menjadi keluarga bahagia. Meskipun dalam keadaan ekonomi yang serba pas-pasan. Bukan berarti aku selalu ngeluh dengan kondisi keluarga. Tetapi sebaliknya aku sangat bangga dengan kasih sayang yang ibu dan ayah berikan. Mereka tidak pernah mengurangi kasih sayangnya. Meskipun ekonomi di bawah rata-rata kami selalu hidup rukun. Tidak pernah ada pertengkaran apalagi salah paham hanya karena masalah keuangan.

Hari-hariku selalu bahagia hidup bersama dengan mereka. Meskipun terkadang untuk membiayai sekolahkau dan adikku saja kami harus banyak pertimbangan. Ayah dan ibu hany bekerja sebagai kuli, itu katanya. Dan sampai aku terharu saat kami hanya dapat makan sekali sehari saja

Apalagi jika ada biaya sekolah yang harus kamia keluarkan, karena sekoalah itu meskipun gratis tetap saja masih mengeluarkan uang pada akhirnya.

"Ibu, apakah ibu punya uang untuk membayar biaya praktekku besuk?"

"Mengapa kau tanyakan itu Ra, bukankah Ibu sudah bilang akan menyiapkan segala keperluan sekolah kamu?"

"Iya bu, tapi Alek juga butuh biaya nanti buat kerajinan tangan katanya. Apakah ada uangnya bu? Kalau tidak ada aku akan mencari pinjaman dulu."

"Ara, ibu dan ayah minta maaf sama kamu jika Ibu tidak bisa membuat kamu bahagia. Tapi kami berjanji akan selalu memberikan kasih sayang kami padamu nak."

"Baiklah kalau begitu bu, Ara berangkat sekolah dulu assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsallam."

Aku menyusuri jalan setapak dengan menggunakan sepatu butut. Ah ... sungguh miris rasanya. Gadis seusiaku yang seharusnya dapat bermanja dan berpesta pora bersama dengan teman sebayanya, sekarang terlihat kusut. Kusut tidak punya uang untuk membeli sekedar kue untuk dimakan. Aku menahan rasa lapar karena sejak kemarin sore tidak makan.

Wajahku yang cantik sering menjadi godaan para laki-laki iseng yang aku lewati. Bahkan tidak jarang tangan mereka berusaha meraih bagian-bagian tubuhku yang sedang mekar. Hidup diantara orang-orang yang tidak mempunyai adat tata krama. Mereka hanya bisa bersenang-senang menikmati indahnya dunia.

Ya, memang lingkungan tempat aku dibesarkan adalah lingkungan para gadis nakal yang menjual diri. Terkadang aku merasa asing berada di lingkunganku sendiri. Ayah dan ibu memilih tempat ini karena harganya terjangkau dan mudah aksesnya.

Setiap hari aku selalu menggunakan angkutan umum untuk pulang dan pergi sekolah.

"Bang nanti jemput jam dua ya."

"Iya neng, abang pergi dulu."

Teman sebangku Rere datang dan memberikan bungkusan kue kepadaku. Akhirnya aku bisa makan setelah semalaman menahan lapar. Rere temanku anak yang tahu tentang kesulitanku. Tidak jarang ia selalu membawakan bekal lebih banyak sehingga bisa mengajakku makan siang bersama.

"Makanlah tadi mama membeli kue bakpao banyak. Jadi lumayan buat ganjal perut kamu. Kemarin tidak makan ya Ra?"

"Kog tahu? Kelihatan ya, aku kelaparan?"

"Bukan kelihatan lagi tadi jelas, tuh muka kamu pucat banget walaupun kamu tutup dengan bedak."

"Ya gak apa-apa yang penting tidak berantakan Re. Em ... makasih ya Re, aku selalu merepotkan kamu gak enak jadinya."

"Tidak masalah lagian aku suka berteman denganmu daripada dengan anak yang lain. Mereka terlalu ja'im buat berteman pilih-pilih aku gak suka."

"Kamu tuh lucu Re, kamu kan anak orang kaya mau-maunya berteman dengan si buruk rupa ini ?"

"Aduh Ra, siapa bilang kamu buruk rupa, kakak saja sampai tergila-gila padamu. Bahkan setiap hari ngomong selalu saja nama kamu yang disebutnya. Gak tahu kesambet apa dia."

"Jangan ngaco Re, kakak kamu tampan pasti banyak yang antri nantinya, kog malah aku yang disudutkan."

"Sumpah Ra, aku gak bo'ong berani potong jatah bulananku jika bo'ong sama kamu." Ucap Rere tersenyum.

"Nah ngaco lagi kan? Siapa juga yan bisa motong bulanan kamu. Memangnya aku papa kamu?"

Aku dan Rere berjalan menyusuri jalan di dalam sekolah yang tembus ke dalam ruang praktek.

Ruangan masih sepi belum banyak anak yang datang. Tiba-tiba datang segerobolan cewek berkacak pinggang di depanku. Mereka menunjukkan aura permusuhan denganku.

"Sabar Ra sabar," batinku menenangkan hati.

"Ada apa kalian berkacak pinggang seperti itu? Mau lawan aku!" Tanyaku kepada pemimpinnya, Wega.

Aku memang orang miskin tapi jangan harap mereka menipuku atau membuatku tidak berdaya.

"Ra jangan kamu ladeni mereka, Sudah terkenal sekali mereka. jadi jangan buat ribut." Ucap Rere ketakutan berada di belakangku. Aku tidak mau menyerah, hidupku sudah susah,jangan ditambah susah lagi.

"Biar aku tanya maunya apa?" Ucap Ara mendekati pemimpin mereka.

"Hai kamu ! Bukannya Adiknya Andra? Mengapa kamu bersembunyi ? Ayo ikut aku menyelesaikan masalah dengan kakak kamu!"

"Mau apa dengan adiknya, Urus saja urusanmu dengan Andra jangan bawa-bawa adikknya."

"Gadis miskin sok pahlawan, berani juga kamu menantangku. Jangan harap bisa lepas setelah bermain-main dengan raja iblis kali ini.

"Biarpun aku miskin tapi masih punya nyali, Sedangkan kamu ini apa ? bertindak di belakang anak buah memalukan sekali."

Aku berdebat hebat dengan mereka. Adu mulut dan aksi saling dorong tidak bisa dicegah, Aku tidak akan menyerah selama sabahatku terancam. Aku sudah banyak berhutang budi kepada Rere. Aku tidak mau mengecewakan keluarganya meskipun mamanya sangat tidak suka saat tahu kakaknya mengejar-ngejar aku. padahal aku tidak pernah menanggapi kak Andra ketika menggoda dirimu.

Aksi terhenti ketika sudah banyak anak yang datang dan guru memasuki ruangan.

"Quora ! Nanti ke ruangan ibu sebentar setelah istirahat."

"Baik bu."

"Gawat ada apa aku dipanggil ke ruang guru, jangan-jangan ditagih buat bayar SPP lagi. Ya ampun bagaimana ini apa yang harus aku lakukan untuk membayar uang sekolah. Apakah aku berhenti saja sekolahnya?” Batinku menjerit.

Rere temannya melihatku gelisah menjadi kasihan. Dia tahu betul kondisi keluargaku itu, hingga terkadang uang saku Rere diberikan kepadaku untuk membayar sekolah. Tapi akhir-akhir ini ketahuan oleh mamanya. Hingga uang sakunya dikurangi bahkan setiap hari diinterogasi. Aku menjadi merasa bersalah kepada Rere.

Rere tahu aku pasti cemas ketika dipanggil ke ruang guru, pasti masalah pembayaran. Bahkan sekolah gratispun masih ada tambahan biaya untuk praktek. Sebenarnya sekolah sudah memberikan keringanan kepadaku karena termasuk golongan tidak mampu. Namun tetap saja masih membutuhkan uang untuk biaya yang lainnya.

“Ra, kamu kenapa bingung gitu? Apa kepikiran tentang uang bulanan kamu? Tenang Ra, Nanti aku pinjam kak Andra pasti boleh. Atau pakai tabungan aku dulu biar nanti bisa ikut ujian.” Ucap Rere menguatkan hatiku.

Aku sudah lelah dengan kondisi ini, tapi aku harus tetap bertahan untuk menggapai cita-citaku yang masih panjang. Andaikan saja ada yang menawari pekerjaan setelah aku pulang sekolah pasti aku terima. Berkali-kali aku melamar pekerjaan namun selalu gagal. Rere yang ingin membantuku tidak bisa berbuat banyak. Selalu saja kepergok mamanya dan dimarahi. Pernah suatu ketika membawaku ke restoran milik papanya supaya aku bisa bekerja paruh waktu, ternyata di sana sudah ada mamanya menunggunya. Terpaksa gagal lagi untuk membantu mencarikan pekerjaan untukku.

Setiap aku mendatangi toko atau warung selalu saja mereka menolak dengan alasan diriku terlalu cantik untuk menjadi pekerja kasar. Ada lagi alasan hanya membutuhkan karyawan sesungguhnya buka paruh waktu. Dan terakhir aku mendatangi rumah-rumah untuk mencuci pakaian mereka, namun tetap saja gagal, mereka tidak percaya dengan siluetku yang seperti artis katanya melakukan pekerjaan kasar.

Putus asa, akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima nasib dengan hanya mengandalkan pemberian orang tua.

“Gak tahu Re, aku pasrah saja jika karena uang bulanan aku dikeluarkan dari sekolah. Aku sudah berusaha tapi apa daya nasib belum berpihak kepadaku.”

Rere memelukku memberi kekuatan untuk bersabar, mataku sudah mendung ingin rasanya tumpah tapi takut malah diejek karena tidak suka. Wega dan kelompoknya pasti akan semakin mengejekku. Dia kesal karena tidak di perdulikan Andra kakaknya Rere. Andra selalu menghindar dari Wega dan memilih bersamaku ketika istirahat tiba.

Sebenarnya aku juga tidak memiliki hubungan apapun dengan Andra. Aku terlalu takut untuk pacaran karena kondisiku. Andra memaklumi hal itu dia tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk menerima. Tapi aku harus mengijinkannya untuk selalu dekat denganku. Hah, aku pikir sama juga bohong tidak diterima tapi ingin selalu berdekatan.

Saat istirahat tiba aku memenuhi panggilan ibu guru Yosi ke dalam kantor.

“Ra, apa perlu aku temani ke kantor kalau kamu takut ?” Ucap Rere ketika aku berdiri dan mulai melangkah keluar ruangan.

“Tidak perlu Re, nanti kalau kak Andra cari bilang saja aku sedang dipanggil ke ruang guru.”

“Oke, sabar ya Ra, badai pasti berlalu.” Ucap Rere memberi kekuatan semangat kepadaku.

Tiba di kantor guru aku segera mencari bu Yosi yang tadi memanggilku. Setelah duduk di hadapan bu Yosi aku mengucapkan salam agar bu Yosi menyadari kehadiranku.

“Selamat siang Bu.”

Bu Yosi menoleh dan tersenyum kepadaku, emm .... manis sekali. Semoga ini bukan hal buruk jika melihat dia tersenyum manis.

“Kamu sudah datang Quora, ayo duduklah dekat ibu!”