PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Kekasih CEO

Kekasih CEO

Tamat

Pengantar
Karena sebuah ikatan kontrak, dia menikah dengan pria paling berkuasa di Surabaya. Hanya saja pria yang dimaksud itu menderita impotensi. Ya sudahlah, Susan Yahya berpikir tidak terlalu buruk juga menjadi istri orang kaya yang lugu seumur hidupnya. Tapi entah mengapa ada beberapa hari dalam setiap bulan ketika bangun tidur, Susan merasa pinggangnya pegal dan kakinya terbuka saat berjalan. Akhirnya suatu hari Susan mengetahui kenyataannya dan dengan emosi dia bertanya. “Billy, bukannya kita sudah sepakat nggak berhubungan badan?”. Namun pria itu menjulurkan tangannya memeluk Susan dan berkata, “Kayaknya aku harus mengingatkan sekali lagi biar kamu tahu, apa itu yang namanya bersetubuh ….”
Buka▼
Bab

  “Bu Susan sudah mikirin ini dengan baik? Pak Billy ada penyakit, dia itu impoten. Kalau Bu Susan menikah sama Pak Billy, nggak ada bedanya sama hidup sebagai janda seumur hidup.”

  Pengacara Susan sudah berkali-kali mengingatkannya akan hal ini.

  Dari sorot mata Susan terlihat bahwa dia sudah membulatkan tekadnya.

  “Aku sudah yakin, tolong kasih kontraknya ke aku.”

  Ibunya Susan sedang sakit keras sedangkan ayahnya sibuk berjudi dan mabuk-mabukan. Adik kandungnya juga setiap hari hanya keluyuran.

  Kini Susan sudah tidak punya pilihan lain lagi.

  “Bu Susan, ini isi kontraknya, silakan dibaca dulu. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, silakan ditandatangani”

  Si pengacara mengeluarkan sebuah dokumen berisi kontrak yang tebal dan menyodorkannya kepada Susan.

  Susan memejamkan matanya dan mengatur napasnya yang tergesa-gesa, kemudian dia mengambil dokumen itu dan membacanya halaman per halaman.

  Sekitar sepuluh menit kemudian Susan meletakkan dokumennya, mengambil pen yang ada di atas meja dan menandatangani kontrak tersebut.

  Tulisan tangannya sangat bersih dan jelas. Meski dia tidak memiliki paras yang luar biasa cantik, namun dia memiliki daya tarik tersendiri yang membuat orang merasa nyaman.

  “Sudah aku tanda tangan ….”

  Susan menorehkan nama dan tanda tangannya di atas selembar kertas A4 putih tersebut, lalu diam sejenak dan meletakkan pennya.

  Tatapan matanya terus tertuju kepada namanya yang sudah dia tulis di atas kontrak tersebut.

  Tidak lama lagi dia akan menjadi istri orang lain, dan orang itu adalah pria yang menderita impotensi ….

  “Bu Susan, ini notanya, disimpan baik-baik ya.”

  Si pengacara mengambil kembali kontraknya dan memberikan selembar nota tanda terima untuk Susan. Raut wajahnya tampak sangat serius, tampak pula kilatan cahaya dari mata sipitnya yang berada di balik kacamata bingkai emas yang dia kenakan.

  “Terima kasih.”

  Susan menundukkan kepalanya dan meraba-raba ujung nota itu dengan jari-jarinya yang lentik.

  Akhirnya sekarang dia bisa bernapas lega.

  Kini ibunya bisa terselamatkan ….

  ***

  Tiga hari kemudian.

  Sederet konvoi mobil hitam berhenti di depan sebuah gedung tua. Pintu terbuka dan puluhan orang dengan jas dan kacamata hitam pun berbondong keluar dari mobil. Salah satu dari mereka berlari ke mobil kedua terdepan dan membukakan pintu sembari membungkukkan tubuhnya.

  Mobil itu menurunkan semacam pijakan secara otomatis dan perlahan tampak seorang pria yang duduk di kursi roda turun dari mobil itu.

  Seketika itu segala pemandangan seakan kehilangan warna dan keindahan mereka.

  Susan memandangi pria itu dari balkon di lantai atas.

  Dia tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikan paras pria tersebut. Alis dan bola matanya hitam pekat, hidungnya mancung dan bibir tipisnya memberi kesan seakan dia tidak mudah untuk didekati orang lain.

  Setiap detail dari wajahnya yang tampan terlihat bagaikan ukiran patung yang indah tanpa ada cacat sedikit pun.

  Hanya saja sayang pria setampan dirinya ternyata adalah orang difabel.

  Karena alasan itulah dia harus berada di kursi roda.

  Pria itu seakan menyadari Susan menatapnya, lantas dia pun mengangkat kepala dan melayangkan pandangannya tepat ke mata Susan. Rasa muram yang terpancar di matanya sungguh membuat orang terkesiap.

  Tubuh Susan secara refleks bergetar seperti sedang tersengat listrik dan langsung memalingkan matanya dari pria tersebut.

  Ketika Susan menoleh kembali, pria itu sudah menghilang dari pandangan dan hanya pengawalnya saja yang terlihat sedang membungkukkan tubuh mereka sedang membicarakan sesuatu.

  Pria di kursi roda itu mengangkat tangannya untuk menghentikan para pengawalnya yang terus berbicara, lalu dia pun mendorong kursi rodanya memasuki area gedung.

  Ekspresi wajahnya masih terlihat begitu cuek dan dingin sama saat Susan menatapnya tadi, tapi mungkin itu hanya halusinasi Susan saja.

  Susan terus termangu di balkon hingga pria itu pun tak tampak lagi, tapi Susan masih saja melihat ke arah tempat pria itu berada.

  Ini pertama kalinya Susan begitu terpana melihat seorang pria.

  ‘Tok—tok—tok—’

  Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang berirama. Susan menoleh ke arah suara itu berasal dan menuju ke ruang tamu.

  Kalau tidak salah sekarang masih belum waktunya untuk membayar uang sewa, tapi kenapa ada yang datang mengetuk?

  Susan membukakan pintunya dan seketika itu juga terkejut saat dia melihat mata yang sama dengan yang dia tatap tadi.

  Di luar kamarnya datang pria yang tadi dia lihat di lantai bawah!

  “Susan Yahya?”

  Pria itu menatap Susan dan memanggilnya dengan nada bicaranya yang dingin.

  “Iya, aku Susan, ada apa ya?”

  Susan hanya berdiri kebingungan tidak mengerti apa yang harus dia lakukan

  Dia sama sekali tidak mengenali pria yang ada di hadapannya itu ….

  “Kenapa baru tiga hari yang lalu kamu tanda tangan kontrak itu? Lupa?”

  Jari-jari lentiknya yang tak bertenaga itu memegang kursi rodanya, suara yang keluar dari mulutnya pun sangat pelan.

  Meski begitu suara yang tersampaikan ke telingaSusan terasa begitu kuat sehingga membuatnya gentar.

  “Tiga hari yang lalu?”

  Ketika diingatkan seperti itu, tiba-tiba Susan teringat akan sesuatu dan menatap pria tersebut dengan kedua matanya yang lebar.

  “Ka-ka-kamu … Bill …”

  “Billy Haryanto.”

  Billy merasa sedikit kesal melihat Susan berbicara dengan terbata-bata seperti itu.

  Susan pun menatap wajah tampan Billy dengan pikirannya yang kosong.

  “Kak … Tuan Billy ada apa … nyari aku?”

  Hawa udara di sekitar langsung terasa membeku ketika Susan mengatakan hal itu.

  Dengan tatapan dan nada bicaranya yang dingin Billy berkata, “Kamu mau melanggar kontrak?”

  Di saat itu juga muncul semacam aura yang sangat mengerikan dari Billy. Dari situ barulah Susan menyadari betapa bodoh pertanyaannya.

  Memangnya ada hal apa lagi yang membuat Billy mendatanginya?

  Dia sendiri sudah mengatakan dengan sangat jelas perihal kontrak mereka tiga hari yang lalu.

  Entah hal apa yang membuat Susan masih bertanya seperti itu.

  “Maaf, Tuan Billy, aku nggak bermaksud ngelanggar kontraknya. Aku cuma …”

  “Kalau begitu ayo berangkat,” kata Billy memotong pembicaraan Susan.

  “Ke mana?”

  “Kantor catatan sipil.”

  Billy membalikkan kursi rodanya membelakangi Susan. Pengawal yang ada di belakang Billy juga maju dan mempersilakan Susan untuk pergi bersama mereka.

  “Silakan, Bu Susan.”

  Susan begitu tercengang.

  Di saat dia menandatangani kontrak itu, dia tahu tidak lama lagi dia akan menikah dengan seorang pria bernama Billy Haryanto.

  Tapi dia tidak mengira hari itu akan datang begitu cepat.

  Susan mencoba menenangkan kembali pikirannya dan berkata pada Billy.

  “Tunggu sebentar, aku mau ambil suratnya ….”

  Seusai mengatakan itu, Susan kembali ke kamarnya dengan wajah memerah seperti terbakar.

  Susan mengira dirinya menikah dengan orang yang penyakitan dan kondisi mentalnya terganggu.

  Siapa sangka selain kedua kakinya yang tak bisa digunakan, namun setiap gerak geriknya memberikan kesan anggun dan menawan.