PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Fiore Tale

Fiore Tale

Penulis:Hyagi_0z

Berlangsung

Pengantar
Aku bukan makhluk yang hidup, memiliki nyawa dan dapat bergerak sesuka hati tapi, aku bisa merasakan semua hal yang dirasakan oleh manusia. Kesedihan, rasa bahagia, marah, kecewa bahkan perasaan takut. Meski aku hanya seonggok boneka yang dibuat oleh sepasang tangan tua dari seorang veteran perang yang terperangkap di negara orang lain dan tidak bisa pulang ke negaranya sendiri bernama Augustine Volstav tapi aku sangat cantik dan dia selalu membuatku menjadi sebuah boneka yang tidak ternilai harganya. Dia selalu mengatakan bahwa dia membuatku untuk dia hadiahkan pada putrinya, Feloxia dan berharap agar dia bisa kembali ke negaranya, ke tanah kelahirannya untuk berkumpul dengan putri semata wayangnya itu. Namun, semuanya berubah ketika pria tua itu mati. Hidupku tak lagi sama, bisakah aku benar-benar kembali pada rumah yang ingin dia tuju? Ke Prancis, ke tanah kelahirannya?
Buka▼
Bab

Ini bukan cerita yang yang akan kukisahkan. Ini juga bukan sesuatu mengenaiku. Aku tidak pernah memiliki cerita atau apa pun mengenai diriku. Hanya orang-orang yang membuatku saja yang sering memasangkanku pada sebuah kisah, membuatku seolah memiliki sebuah cerita seperti mereka yang merasakan hidup. Tidak, aku sama sekali tidak seperti mereka. Aku berbeda, aku jauh lebih spesial.

Namun, sebelum aku memulai ini semua, ada yang ingin aku tanyakan pada kalian.

Pertama, berapa lamakah kalian bisa tetap diam tanpa melakukan apa pun dalam kurun waktu yang tak di tentukan? Satu menit? Satu jam? Satu hari? Bulan? Atau bahkan tahun? Mungkin pertanyaanku ini akan dapat bantahan yang serius dari kalian. Karena, pasti tidak akan ada yang mampu bertahan untuk berdiam diri, tanpa melakukan apa pun dalam kurun waktu selama itu. Mustahil, bukan? Ya, memang sangat mustahil karena tidak akan pernah ada manusia mana pun yang sanggup melakukan hal tersebut.

Akan tetapi, apa yang sedang kutanyakan saat ini adalah keseharian yang kujalani selama hampir sebelas dekade. Dan ini sangat membuatku bosan sebenarnya. Tak ada bagian dari tubuhku yang dapat kugerakkan, satu pun, mungkin dibenak kalian ada satu pertanyaan yang terus bergelayut tentang, 'bagai mana mungkin aku tak sanggup menggerakan bahkan untuk satu jemari pun?' dan sayangnya itu juga yang ingin kutanyakan, tentang; 'kenapa aku diciptakan jika hanya untuk diam?'. Sekaligus menjadi hal yang ingin aku jelaskan pada kalian.

Cerita ini berawal di tahun-tahun sulit seorang pria tua yang bahkan untuk mendapatkan sesuap nasi pun dia sangat kesulitan. Selama itu, aku mulai mendapatkan hidupku di mana aku tidak pernah merasakan kalau tubuhku ini bergerak dengan sekehendakku. Tubuh ini selalu saja digerakan oleh mereka. Aku memang bisa bergerak dan memiliki perasaan, namun untuk bergerak sendiri itu seolah menjadi cerita lain yang harus di pertimbangkan kata demi katanya.

Selama ini hidupku hanya kulewatkan dengan diam. Namun bukan diam karena aku cacat atau karena aku terkena stroke yang menyebabkan kelumpuhan dan tak mampu bergerak ataupun beranjak dari tempat tidur. Asal kalian tahu, aku bahkan tidak pernah tidur sejak aku ‘dilahirkan’. Kalian mungkin terkejut dengan ini. Tapi ini memang kenyataannya. Usiaku hampir sepuluh dekade. Dan aku masih ingat berapa kali tepatnya aku digerakkan oleh ‘ayahku’.

Ya, ayahku, dia hanyalah seorang pria tua dengan tubuh yang sudah renta dan jika boleh kutambahkan, dia bahkan adalah pria yang sudah tak berdaya. Sekalipun itu untuk menghadapi kehidupannya sendiri, bahkan mencari makan untuk perutnya sendiri pun, dia sudah tidak mampu hingga tak jarang dia menahan lapar hanya karena tidak memiliki satu sen pun uang untuk dibelanjakan makanan, meski hanya untuk sepotong roti yang berjamur.

Namanya Augustine Volstav. Seorang pria tua berkebangsaan Prancis yang juga seorang veteran militer pada masanya. Saat itu, pria itu sudah menginjakan kakinya ke kepala delapan. yang aku pun tak dapat memungkiri kalau di usia seperti itu dia seharusnya menyerah dengan kehidupan dan duduk diam dirumah bersama cucu dan anak juga menantunya, menanti pupus.

Namun tidak dengan si tua ini. dia malah terjebak di negara orang dan harus berjuang sendirian demi ‘kami’. Dirinya, aku juga beberapa ‘anak-anaknya’ yang lain.

Aku ingat dengan jelas, kalau di malam itu dia hanya mengenakan sebuah Kinagashi dan penerangan hanya mengandalkan sebuah lampu minyak yang terangnya tak seberapa. Kinagashinya pun sudah sangat lusuh dan sepertinya dia sudah tidak mencucinya selama beberapa hari atau mungkin hanya itu yang ia miliki. Jemari tuanya pun dipenuhi oleh cat yang sudah mengering. Kendati demikian dari wajah tua itu, dia terus saja menunjukan aura kegembiraan tak ada kesedihan sedikit pun dari raut wajahnya. Meski sebenarnya ia sangat lelah dan sangat ingin sekali tertidur, sekalipun itu di lantai yang dingin. Namun tak ia lakukan, ia masih terus memegangi 'tubuhku' yang sudah setengah jadi.

“Setelah kupoles kau dengan make-up, maka kau akan terlihat semakin cantik. Bahkan kau akan terlihat lebih cantik dari para putri kaisar. Atau mungkin kau akan menyaingi para permaisuri kerajaan mana pun.” Ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan betapa banyaknya kerutan tua yang terlukis di wajah tuanya yang bersih tanpa sedikitpun jenggot maupun kumis itu. Kalian tahu, wajah si tua ini memang tidak terlalu tampan. Hanya saja, dia memiliki aura yang mampu membuat siapapun yang melihatnya merasakan keteduhan ketika mendapatkan senyuman yang sederhana tersebut. Begitu pula denganku.

Malam itu, meskipun hanya dengan penerangan yang serba terbatas, tapi Augustine dapat melakukan tugasnya dengan benar. Dia mengambil sebuah kuas lukis kecil dan mencelupkannya pada cairan merah yang sudah tersedia tak jauh darinya. Beberapa kali ia mencelupkan kuas tadi hingga ia mendapatkan cukup warna, lalu memulai mengarahkan kuas tadi ke wajahku. Dengan apik dia memoleskan warna merah itu di bibirku, sebuah pewarna yang menggantikan gincu untuk bibir pucat milikku.

Setelah selesai dan merasa kalau pekerjaannya rapi dengan warna dan ketebalan yang sempurna, pria tua ini dengan perlahan dia menaruh kuas tadi dan dengan hati-hati, mengambil kuas lain untuk warna yang lain pula. Kali ini ia mengambil warna hitam untuk garis mata atas dan mata bawahku. Seakan itu adalah eyeliner dan pensil alis. Meski sejujurnya aku tidak tahu apakah warna yang dibubuhkanya ini cocok untukku atau tidak tapi, aku berusaha untuk menyukainya. Ya, setidaknya aku sedang berusaha

“Kau lihat, kau adalah gadis cantik. Bahkan kau lebih cantik dari Feloxia.” Gumamnya setelah menaruh kuas terakhir dan kembali mengangkatku ke udara.

'Aku jadi ingin melihat bagaimana wajahku setalah kau mendandaniku, pak tua.'

“Apa kau ingin melihat dirimu di cermin, anakku?” tanyanya padaku masih dengan senyum. “Kalau begitu, tunggu aku sebentar.” Lanjutnya kemudian meletakanku kembali di mejanya, sementara ia pergi mengambil sesuatu di rak lain yang terdapat di kamar sumpek itu. Tak lama, ia kembali sambil membawa sesuatu bersamanya. Sebuah cermin yang terlihat cukup buram namun masih dapat digunakan.

“Kau lihat, kau sangat cantik.” pujinya sambil mengangkat tubuhku dan mengarahkan wajahku ke cermin tadi seraya tersenyum lebar memperlihatkan kedua lesung pipinya di antara keriput tua yang memenuhi wajahnya, yang tersamar bersama kerutan-kerutan di wajah tua pria itu.

'Hei, apa ini?!' gumamku saat aku sendiri melihat pantulan wajahku di cermin tadi. 'Apakah ini aku? Benarkah, ini benar-benar aku?' gumamku tak karuan ketika melihat pantulan wajahku sendiri di cermin ini. Aku benar-benar tidak percaya.

Aku melihat pantulan wajahku di dalam cermin tersebut. Kulihat betapa indah dan meronanya bibir mungil yang dilukis dengan cat merah merona. Seakan kalau cat merah itu adalah pewarna bibir yang sering digunakan para bangsawan kerajaan. Selain bibir merona tadi, aku pun melihat sepasang bola mata yang indah memperlihatkan bagaimana pria tua ini begitu teliti menggambar simpulan garis bola mata dengan kuas kecil yang sama ketika ia gunakan untuk mewarnai bibirku. Juga warna eye shadow dan hitamnya eyeliner yang sesuai dengan warna kulit wajahku yang sudah ia warnai sejak awal. Masih di dalam pantulan cermin tadi. Aku melihat bagaimana warna ‘kulit’ wajahku yang berwarna putih kecoklatan, dengan mata yang besar dihias bulu mata lentik yang indah dan garis wajah yang sangat oriental.

“Kau menyukainya?” Tanya Augustine masih tersenyum memperlihatkan padaku kerutan tuanya yang terangkat semua ke atas.

Seandainya aku bisa berucap, aku akan berkata ‘Aku sangat menyukainya pak tua.’