PopNovel

Baca Buku di PopNovel

GEREBEK Suami Selingkuh

GEREBEK Suami Selingkuh

Penulis:Rara Arrazaq

Berlangsung

Pengantar
Aku terbang ke Paris untuk membuktikan bahwa suamiku memang selingkuh dan menagih janji suci yang pernah diikrarkannya. Namun siapa sangka, janji yang kucari malah dipenuhi oleh pria asing? Pria bermata hijau yang misteriusnya minta ampun! Novel ini TAMAT sebelum bab 30. Cus dibaca! Nggak ngabisin koin!
Buka▼
Bab

BAB 1 "Bismillahirohmanirohim..." desahku sambil menggenggam erat tangan kecil Si sulung.

"Kita akan ke Paris, Sayang. Kita pasti bisa!" bisikku.

Kukecup ubun-ubun Si bungsu dalam gendongan dengan nafas tertahan. Teringat kembali kata demi kata sahabatku, Rani, tempo hari.

"Pergi dan buktikan dengan matamu sendiri, Laikha! Suamimu itu hidup enak di sana!"

"Tapi Bang Am nggak mungkin menipu kami, Ran..." bantahku, "aku juga tinggal bersama ibunya, masa Bang Am tega ngelihat aku dan ibunya hidup sengsara, kalau dia mampu mengirimi kami nafkah?"

"Wallahualam!" kesal Rani, mengangkat kedua tangannya setengah menyerah. "Dia bukan hanya sekedar mampu, tapi berlebih! Keuangan di Paris itu memang sulit, aku juga merasakan itu walau aku udah lama kerja di sana. Tapi suamimu memang beruntung, 4 tahun disana dia udah jadi kepala Manajer di sebuah perusahaan besar, Laikha!" Bola mata Rani membesar, mencoba meyakinkanku dengan setiap kata-katanya.

Aku terdiam. Rani tak mungkin bohong atau pun berniat menjelek-jelekkan Bang Am di depanku. Aku sangat mengenal karakternya. Sahabatku sejak kecil itu tipe orang yang blak-blakan dan tak pernah menyimpan dendam. Jadi tak mungkin Rani memfitnah Bang Am, jika pun ada perseteruan di antara mereka di Paris.

Tapi aku pun sangat mengenal Bang Am. Suamiku itu bukan tipe orang yang akan memilih hidup enak sendiri.

"Ran, aku bukannya nggak percaya sama kamu," Ku tatap wajah cantik Rani tulus. "Aku yakin yang kamu lihat itu benar. Tapi mungkin Bang Am masih keteteran mengurus biaya hidupnya sendiri di sana, makanya belum bisa ngirimin kami nafkah. Dia kan belum pinter menyesuaikan diri kayak kamu, Ran...."

Rani menarik kembali selendang sifon yang melorot di rambut pirangnya dengan raut kesal. Netranya yang berlensa biru menatapku tak sabar. Sepertinya jiwa keras Rani mulai sampai pada batasnya, melihatku terus memaklumi Bang Am.

"Waktu 4 tahun itu udah cukup untuk setiap orang belajar memakai uang dengan bijak di sana. Kalau enggak, udah pasti jadi pengemis."

Aku menunduk. Menghindari pelototan marah Rani yang membuatku sedikit gugup.

"Aku akan menunggu sampai akhir bulan ini. Kalau Bang Am belum juga mengirim uang, aku akan...."

"Menunggu? Gimana kalau Bang Ammar mu itu nikah lagi?"

Aku langsung mengangkat kepala. "Naudzubillah, Ran! Kamu jangan ngaco gitu dong?!" protesku.

Rani menghela nafas.

"Oke... aku akan berterus terang sekarang. Bang Ammar, memang udah mendua...."

Seketika itu aku terpaku.

Nafasku tiba-tiba tertahan. Kutatap Rani lekat-lekat. Mencari kebenaran dalam matanya yang biru itu.

"Aku melihatnya beberapa kali bersama seorang wanita. Dan aku yakin mereka bukan hanya sekedar teman."

Mataku mulai perih. Membayangkan Bang Am disana bersama wanita lain. Sementara aku disini selalu setia padanya.

"Yang membuat aku enggak bisa terima, dia begitu royalnya sama wanita lain sampai membelikan sepatu dan tas mahal, sedangkan istrinya disini buat makan aja harus nyari sendiri!" lanjut Rani dengan mata yang berkaca-kaca.

Dadaku bergemuruh!

Sesak!

Apa yang dikatakan Rani bagaikan petir yang menyambar di siang hari.

"Yang... yang bener kamu, Ran?" Ku remas ujung hijab syar'iku erat-erat.

"Sumpah! Aku nggak bohong! Mana mungkin aku main-main dengan masalah rumah tangga orang?!"

Mungkinkah Bang Am setega itu?

Aku di sini selalu menjaga marwahnya. Dengan menjaga sikap dan hatiku. Aku mencurahkan seluruh waktu dan tenagaku untuk menghidupi anak-anak dan ibunya. Bahkan terpaksa hidup irit karena penghasilan dari usaha menjual kue basah ku tak mencukupi kebutuhan kami.

"Mak..." saat itu, putra sulungku tiba-tiba datang. Membuatku harus menahan air mata yang hampir tumpah ruah dengan menggigit bibirku kuat-kuat.

"Iya, sayang?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Amir boleh beli cilok, enggak? Teman-teman pada manggil si Abang cilok soalnya," tanya Si sulungku ragu.

"Nggak usah, Sayang. Nanti kalau Mamak buatkan pesanan bakwan Wak Limah, Mamak lebihkan buat Amir dan adek, ya..." tolakku seperti biasa.

Amir langsung mengangguk dan pergi. Memang aku selalu menolak jajanan yang diminta Amir, di luar budget yang telah aku atur setiap harinya. Jadi anakku tak pernah protes, karena tahu yang dimintanya itu tak akan terpenuhi.

"Amir...!" panggil Rani lembut.

Si sulungku menoleh, dan mendekat.

"Iya, Bi...." jawabnya santun.

"Ini, 10.000 buat beli ciloknya."

Rani menyerahkan uang 10.000-an tanpa melirikku, yang menatapnya dengan tatapan protes.

"Kok banyak banget, Bi?"

"Hari ini Mamak sama Nenek puasa sunah, kan? Nah, Amir beliin buat bukaan sekalian, oke?"

Amir menoleh padaku. Meminta persetujuan.

Aku terdiam.

"Kenapa?!" suara Rani terdengar marah padaku. Air matanya mulai jatuh di pipi. "Kamu mau terus menahan diri begini? Kamu bisa membodohi diri dengan hati tulusmu itu. Tapi jangan korbankan mereka!" tegas Rani dengan suara bergetar.

Si sulung tampak bingung melihat Rani menangis.

Aku langsung mengangguk saat mata jernihnya beralih padaku. "Amir beli ciloknya sekarang ya, Sayang. Bilang makasih sama Bibi Rani," ujarku.

"Makasih ya, Bi..." ucap Amir dengan wajah sumringah. Lalu berlari girang membawa uang 10.000-an dari Rani.

Hatiku terenyuh.

Sungguh, aku tak berniat membuat anakku kekurangan seperti ini. Dengan penghasilanku yang kecil, aku harus mengeraskan hati terhadap keinginan anak-anak. Hingga melihat kebahagiaan Amir saat mendapat uang 10.000 perak seperti ini, benar-benar membuatku sesak. Sedih, karena tak bisa menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak.

"Menurutku, kamu itu benar-benar bodoh, Laikha. Maaf kalo kamu tersinggung. Tapi memang begitu penilaianku terhadapmu saat ini. Kamu cantik, punya warisan yang banyak, punya skill melukis yang hebat. Tapi malah jadi tukang kue!"

"Bukan melukis, cuma bisa menggambar. Dan itu nggak bisa menghasilkan uang di kampung," ralatku.

"Apapun itu. Semua harta warisan, kamu berikan untuk modal suamimu merantau. Sedikitpun nggak ada sisanya buat dirimu sendiri, apa bukan bodoh itu namanya?!"

Aku terdiam. Lagi-lagi terdiam. Hatiku masih berdenyut sakit. Kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Mungkinkah Bang Am selingkuh?

Malam harinya, kutumpahkan semua perasaan gundahku pada Yang Maha Mendengar. Satu-satunya tempatku mengadu sejak kecil. Sejak ditinggalkan kedua orang tuaku.

Perasaanku sudah netral saat ini. Tak lagi menggebu-gebu seperti pertama kali mendengar Rani. Hanya tinggal tanda tanya dalam hati.

Aku tak ingin memvonis langsung sebelum melihatnya sendiri. Aku harus menjaga kepercayaan pada suamiku. Itu pondasi biduk rumah tangga kami selama ini.

Namun, kalau memang Bang Am sudah sangat mampu menafkahi kami sekarang, tapi tak mengirimkan sama sekali uang untukku dan juga anak-anak, aku tak bisa berdiam diri. Itu dosa besar!

Aku tak bisa membiarkan suamiku larut dalam dosa.

***

"Zulaikha... tiket pesawatnya sama kamu kan, Nak?" Suara Bibi, ibu mertuaku, membuyarkan lamunanku yang masih terpaku di ambang pintu.

"Ya Bi, udah Laikha masukin tas," jawab ku mengiyakan pertanyaan wanita paruh baya berkulit putih itu.

Aku memanggilnya Bibi, karena beliau memang Bibiku, adik perempuan ibuku. Ya, aku menikah dengan sepupuku sendiri. Hal ini bukanlah sesuatu yang tabu di sini. Orang orang tua lebih yakin menikahkan anak cucu mereka dengan kerabat sendiri, asalkan tidak termasuk mahram yang bisa menjadi wali bagi keturunannya.

Aku mengajak beliau ke Paris dengan alasan untuk menjemput Bang Am pulang, sebelum Ramadan yang tinggal satu minggu lagi.

Kuturunkan Si bungsu dari gedongan. Lalu memeriksa kembali paspor dan tiket di dalam tas kulit berwarna abu-abu yang tersandang di bahu.

Tiket ada. Paspor pun lengkap.

"Ayo, kita berangkat sekarang! Tuh, Rani datang jemput." Suara Bibi kembali menyadarkanku dari lamunan. Hh... suasana hati yang gundah, terus saja membuat fikiranku terbang kemana-mana.

Di dalam mobil sedan Rani, aku dan anak-anak duduk di bangku belakang. Sementara Bibi disamping Rani yang mengemudi.

Selama perjalanan ke Bandara, hanya bibi dan Rani yang mengobrol. Aku duduk mendengarkan dengan perasaan yang bercampur aduk.

Satu jam kemudian.

Aku berdiri di hadapan Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, dengan dada yang berdebar-debar. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Sekalinya terbang, langsung ke luar negeri yang jauh. Dan harus menjadi kepala perjalanan untuk keluarga kecilku ini.

"Ran... apa aku bisa?" desahku cemas.

"Kamu pasti bisa!" jawab Rani kuat.

"Tapi aku nggak bisa bahasa asing. Jangankan Perancis, Inggris aja aku cuma mengerti kata-kata yang umumnya. Aku juga nggak ngerti budaya orang disana," keluhku.

"Jangan takut, Laikha. Aku yakin, kamu pasti bisa. Kamu bilang akan berinteraksi dengan gambarmu, kan? Aku yakin semua orang akan paham melihat gambarmu."

Ku kecup puncak kepala Si bungsu lama, salah satu kebiasaan yang kulakukan saat gelisah.

Rani menatap lurus ke bola mataku. "Hasil goresan pena mu itu indah banget, Laikha. Begitu nyata! Dan kecepatan menggambar mu itu, benar-benar luar biasa. Harusnya kamu bisa terkenal kalau ada yang meliput keahlianmu itu," pujinya.

Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Bismillah... Semoga Engkau menyertai setiap langkah kami dengan perlindungan-Mu ya, Allah...." doaku dalam hati.

Aku berangkat. Dengan harapan akan pulang dengan bahagia. Namun ada satu hal yang membuatku menyesal, yaitu...

Terlalu mudah percaya!

Bersambung...