PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Bukan Prioritas

Bukan Prioritas

Penulis:Keping Kaca

Berlangsung

Pengantar
Anindita Felisya biasa dipanggil Anin adalah seorang gadis berumur 22 tahun yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Beruntungnya, ia cepat mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan yang cukup besar di kota metropolitan itu. Cerita ini bermula dari Anin diterima di perusahaan itu dan menimbulkan masalah untuknya. Aryan Aldari, putra sulung dari keluarga Aldari. Ia merupakan ahli waris perusahaan ayahnya yang kebetulan adalah perusahaan tempat Anin bekerja. Bertemu dengan Anindita merupakan keberuntungan sekaligus masalah untuk dirinya.
Buka▼
Bab

Anindita Felisya namanya. Gadis manis yang baru saja menyelesaikan kuliahnya, Ia bertekad akan menjadi wanita karir. Gadis ini merupakan sarjana Akuntansi. Menurutnya, ia akan mudah mendapakan pekerjaan mengingat jurusannya pasti dibutuhkan saa ini. Ia sudah tidak sabar untuk menghitung neraca laba rugi seperti yang ia pelajari ketika kuliah. Untuk itu, ia telah melemparkan berbagai lamaran kepada perusahaan-perusahaan yang ia inginkan dan membuka lowongan pekerjaan.

“Nin, lo serius gak mau cari pacar? Kemarin aja waktu wisuda, lo gak ada gandengan,” ujar sahabatnya itu, Vania. Anin yang sedang makan seblak, makanan favoritnya, menjadi terganggu dengan ocehan sahabatnya itu. Siapa juga sih yang gak mau cari pacar? Ya dia maulah. Tapi kan harus ada seleksi dulu. Ia jelas tidak mau kalau ia sampai salah pilih lagi. Ia tidak mau mengulang kesalahan yang sama dalam urusan romansa hidupnya.

Apalagi, saat ini ia sudah sampai pada usia dewasa. Ia harus mempersiapkan dengan matang seperi apa masa depannya nanti. Semoga saja dengan penantian yang lama kelak, ia akan mendapatkan jodoh yang ia inginkan.

“Berisik banget sih. Nanti kalau gue punya pacar, jangan kaget ya” Vania yang mendengar sahutan sahabatnya itu mendelik sinis. Sombong banget punya pacar, pikirnya. Dideketin cowok aja langsung menjauh, katanya alergi. Tuhan, berikanlah pria yang tepat untuk sahabatnya ini. Anin bukan tidak suka pacaran, ia hanya terlalu waspada.

“Kayak yang benar aja lo bakal punya pacar” sinis Vania kemudian meminum es jeruknya. Cuaca yang panas terik ini seperti pembicaraan mereka saat ini. Sebenarnya bagi kebanyakan orang, ini merupakan topik yang menyenangkan atau biasa saja. Namun bagi Anin, ini merupakan hal yang sensitif bagi dirinya. Anin hanya menaikkan kedua bahunya sebagai balasan untuk Vania. Ia tidak ingin melanjutkan pembicaraannya lagi. Begitu juga Vania, ia menghela nafas melihat sahabatnya itu.

***

“Lo udah diterima kerja?” Tanya Vania dari panggilan suara. Pertemuan kemarin adalah pertemuan terakhir mereka setelah lulus. Mereka meninggalkan kampus tercinta dan tempat tinggal ternyaman menurut mereka selama empat tahun belakangan ini.

Susah dan senang telah mereka lewati bersama sebagai sahabat dan juga saudara. Bahkan kelaparan juga pernah mereka rasakan. Bagi anak perantauan, khususnya anak kos, ini merupakan hal yang wajar. Cukup sedih dengan perpisahan kemarin. Namun, ini namanya hidup. Semuanya harus berjalan, tidak bisa berhenti di satu titik saja kalau ingin berkembang dan melanjutkan kehidupan baru.

“Iya! Gue diterima, Van!” Vania ikut senang dengan kabar gembira dari sahabatnya itu. Diterima kerja setelah lulus kuliah itu merupakan anugerah terindah bagi setiap orang. Bahkan Vania sendiri ingin seperti itu. Namun ia memilih melanjutkan usaha ayahnya yaitu toko bahan bangunan. Ia adalah anak tunggal, tidak tega rasanya melihat ayahnya harus bekerja di toko sendirian.

“Gue mau minta traktir tadinya, tapi kita udah gak satu kota lagi,” ujar Vania sedih. Anin di seberang telepon terkekeh pelan mendengar penuturan sahabatnya itu. Aneh memang pertemanan ini. Jika bertemu pasti ada rebut, namun jika tidak bertemu akan terasa rindu. Anin juga merindukan sahabatnya itu, namun hidup harus tetap berjalan kan?

“Bagus dong. Isi dompet gue aman, hehe” Vania mendengus kesal pada Anin. Setelah itu sambungan telepon selesai karena Vania kedatangan seorang pembeli. Anin memaklumi itu dan mempersiapkan berkas lamarannya. Ia sudah membayangkan nantinya bekerja di perusahaan besar itu. Impiannya sejak kecil adalah bekerja di sebuah perusahaan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ingin menjadi dokter atau polisi, Anin lebih memilih bekerja di sebuah perusahaan. Bahkan ia sudah membayangkan cerita cintanya akan tumbuh di dunia kerja nanti.

“Kayaknya gue harus potong rambut deh biar lebih rapi. Ah, atau gue perawatan dulu ya” gadis itu memandang pantulan dirinya dalam cermin datar yang digantung di dinding kamar kosnya yang baru itu. Ia bergumam pada dirinya sendiri menatap tampilan dirinya.

“Tapi kayaknya gak bakal sempat deh. Ini kan udah mau malam” Anin melangkah menuju kursi belajarnya dan duduk dengan lesu. Sedari dulu, gadis itu memang selalu mengkhawatirkan penampilannya sendiri. Ia benar-benar takut akan wawancara besok. Namun ia mencoba tetap tenang agar tidak terlalu gugup. Ia sudah sering mendapatkan tekanan selama wawancara kepanitiaan atau organisasi di dalam dunia perkuliahan. Seharusnya untuk wawancara besok, ia sudah memiliki persiapan mental yang cukup.

Gadis itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lemari pakaiannya yang tidak terlalu besar. Ia mengambil perlengkapan pakaian untuk wawancara kerja besok pagi. Tadinya ia memiliki niat untuk memakai rok saja. Namun rasanya rok hitam miliknya terlalu pendek, terkesan tidak sopan untuk pergi wawancara.

Anin memilih memakai celana panjang berwarna hitam saja untuk wawancara besok dengan atasan kemeja berwarna putih. Setidaknya memakai celana panjang jauh lebih sopan menurutnya dibandingkan menggunakan rok hitam miliknya yang sudah tampak pendek, bahkan sudah di atas lutut. Gadis itu bahkan sudah lupa kapan rok itu dibelinya.

Kemeja dan celana panjang yang sudah diambil dari lemari tadi langsung disetrika oleh gadis itu. Sebenarnya ia biasa menyetrika di pagi hari sebelum berangkat. Namun ini adalah wawancara kerjanya, ia tidak ingin terlambat satu detikpun. Anin bahkan ingin sampai disana lima belas menit sebelum wawancara dimulai. Bukankah ketepatan waktu juga menjadi tolak ukur diterimanya dia dalam suatu pekerjaan?

***

“Van, doain gue! Ini gue lagi di jalan mau wawancara!” Anin bersuara sedikit keras agar Vania dapat mendengarkan suaranya dari seberang panggilan. Saat ini Anin sedang berada di stasiun dan sedang menunggu kereta. Akibat suasana yang ramai, Anin harus bersuara lebih keras daripada biasanya. Setelah melakukan panggilan suara dengan Vania, gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang dipakainya. Kemudian ia mengambil berkas lamarannya yang sudah dimasukkan ke dalam amplop cokelat dengan rapi. Keretanya sudah tiba, ia harus bergegas agar mendapatkan tempat duduk.

Gadis itu merasa senang karena ia mendapatkan tempat duduk. Apalagi tempat duduknya sangat strategis, berada di dekat pintu. Sehingga untuk keluar nanti, tidak perlu antri. Sepertinya hari ini semesta berpihak kepadanya. Tadi pagi, saat ia naik ojek ke stasiun, jalanan tidak macet seperti biasanya. Kemudian, ia tidak perlu menunggu kereta tiba dengan lama. Terakhir, ia mendapatkan tempat duduk di dalam kereta. Dengan begitu suasana hati Anin menjadi baik. Bahkan ia menjadi melupakan kegugupannya untuk wawancara nanti.

Anin mengeluarkan earphone dari saku jaketnya dan mengambil ponselnya juga dari tas kecil yang dipakainya sejak tadi. Suasana kereta yang cukup ramai membuatnya ingin menenangkan diri dengan musik yang santai. Sebelum itu, tidak lupa ia memeluk tas dan berkas lamarannya agar ia tidak lengah saat mendengarkan musik. Dalam hati ia berdoa supaya wawancara kerja nanti akan berjalan dengan lancar. Semoga perusahaan yang akan mewawancarainya nanti adalah jodohnya dalam pekerjaan Anin.