PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Ekuivalen

Ekuivalen

Penulis:Aksara Pink

Berlangsung

Pengantar
Mengadu nasib ke Ibu kota, nyatanya membuat sosok Maiza Zanki masuk ke dalam takdir kehidupan orang lain. Baru saja, ia menginjakkan kaki disana. Desas-desus dan pandangan sinis menyorot padanya. "Si Maira pulang!" "Dasar kupu-kupu malam." "Bunga raya udah kembali." "Amplopnya Om tua." "Si Kembang latar." Dan seterusnya. Namun, ia tak pantang menyerah. Ia terus melangkah maju dan menutup telinga rapat-rapat. "Aku hanyalah gadis desa. Tapi, aku adalah Maiza. Lagipula, ucapan mereka tidak mencerminkan tingkah lakuku. Akupun orang baru di sini," batin Maiza. Saat bekerja di rumah makan. Ia bertemu dengan Pria. Pria itu langsung mencekal lengan Maiza dan membawa Maiza pergi bersamanya, Maizapun berontak. Namun, Pria itu sama sekali tak melepaskan Maiza. Bagi Pria itu, Maiza adalah istrinya. "Kau istriku. Walaupun, ikut denganku." Apakah benar, Maiza itu istri Pria itu. Bukannya, Maiza—hanyalah gadis kampung. Lalu, mengapa, orang lain memanggilnya dengan nama Maira? Apa hubungan Maiza dengan Maira!
Buka▼
Bab

Terik matahari begitu menyengat. Udara panas kian menguar. Maklumlah siang-siang begini. Keadaan cafe juga makin ramai. Membuat bulir keringat turun tanpa permisi. Kuseka sedikit demi sedikit peluh yang mendera. Hari ini, kerja pertamaku setelah dua sampai tiga kali resign dari pekerjaan.

"Maiza Zanki, kerja yang benar. Tuh, bangku nomor tiga belum dilayani dari tadi." Ibu Citra--selaku pimpinan cafe ikut turun tangan juga. Cafe benar-benar meletup keramaiannya.

"Iya, Ibu. Bentar."

Segera kulangkahkan kaki menuju meja nomor tiga. Tiba-tiba hatiku mendadak cemas, seperti akan menemui sesuatu yang buruk.

"Permisi, Tuan. Anda mau pesan apa?" tanyaku ramah dan berusaha tenang. Padahal, degup jantung ini lagi maraton.

"Duduklah disini saja."

Pria berkacamata hitam itu mengangkat tangannya, isyarat memanggil karyawan yang lain. Membiarkanku begitu saja. Aku sedikit salah tingkah dengan ucapannya. Ingin segera pergi. Namun, lagi-lagi tangan ini dicekal erat oleh tangan kirinya.

Ketika karyawan dengan name tag 'Irfan' datang, berdiri tepat disampingku, ia sedikit mengerutkan keningnya. Gimana gak heran, disinikan aku juga karyawan.

"Ir, kayak biasanya ya?" ujar Pria misterius itu yang diangguki kepala oleh Irfan.

"Tuan, maafkan saya. Pekerjaan saya masih banyak. Mohon undur diri."

Aku menggigit bibir bawahku. Takut, panik dan bingung. Baru seminggu, aku berada di kota Jakarta ini. Keterpaksaan yang membuatku melangkahkan kaki hingga kesini.

"Kau istriku. Buat apa kau pergi. Bentar, jangan coba-coba untuk kabur lagi." Pria misterius itu lantas berdiri, langkahnya mendekati Ibu Citra. Hatiku amat was-was. Takut kejadian kemarin akan terulang kembali.

"Kau saya pecat!" titah Bos--Cantika, pemilik rumah makan yang baru sehari aku bekerja di sana.

"Maafkan saya, Bu. Apa salah saya, sehingga saya harus di PHK?"

"Pokoknya kamu saya pecat!"

Lagi-lagi, aku di PHK. Saat kutanya, apa sebabnya. Pasti tidak dijawab. Hampir pupus nyaliku.

"Hei, Maira," ujar Pria misterius itu yang membuyarkan lamunanku. Seketika aku tergemap.

"Ayo pulang!" titahnya tiba-tiba menarik tanganku menuju mobil mewah didepan Cafe.

Aku berusaha berontak, namun tenagaku tak sekuat dirinya. Akhirnya aku menyerah, mencoba mengikutinya. Pandanganku menatap Ibu Citra dan karyawan lainnya, tak satupun dari mereka yang menghentikan langkahku. Ada apa dengan mereka?

Sesampainya didalam mobil. Dia langsung tancap gas dengan kecepatan tinggi. Tak membiarkanku bertanya sedikit pun.

"Tuan, aku butuh pekerjaan. Mengapa kau memaksaku seperti ini," tuturku sendu menghadapnya.

"Kamu itu istriku, Maira. Tak usah bekerja. Cukup diam dirumah, layani aku. Kau masih ingat dengan kontrak pernikahan kita'kan?" selidiknya tajam tanpa menoleh kearahku.

"Kontrak apa Tuan, aku tak paham. Maaf, tadi kau memanggilku Maira. Hei, aku bukan Maira, tapi aku Maiza, Tuan. Aku bukan istri anda."

"Bodo amat! Kamu itu istriku!" Pria itu menekan ucapannya. Aku semakin takut dan menundukkan kepalaku.

"Sudah lama kau tak pulang. Aku rindu layanan servis darimu."

Aku tercengang mendengarnya. Kenal saja baru kali ini. Main servis-servis segala. Emang, aku bengkel apa.

"Aku bukan bengkel, Tuan. Aku bukan Maira dan ... aku nggak kenal dengan Anda!"

Tiba-tiba mobil berhenti. Yang semakin membuatku gugup.

"Ini foto pernikahan kita," ujarnya sambil memperlihatkan foto pernikahan di telepon pintarnya.

Aku masih melongo. Wajah itu, sama persis dengan wajahku. Tapi, aku tak mengingat memori apapun. Beberapa kali aku menggelengkan kepala.

"Layani aku," ujarnya kemudian.

Wajahnya semakin mendekat. Tangan kirinya terulur ke bagian belakang tubuhku. Mendekat pada baju ini, meraih pengait kacamata yang kupakai. Ia mengunci semua pergerakanku. Aku hanya mampu sampai batas akhir di pintu mobil. Deru napasnya kian menguat. Aroma mint menelusuk indra penciumanku. Aku berusaha berontak. Namun, keadaan sangatlah sepi dipinggiran hutan yang rimbun.

"Aku hanya ingin merasakannya."

"Jangan Tuan. Aku bukan istrimu. Jangan!"

Tangan kanan Pria itu mulai meraba-raba dari pipiku. Pipiku terasa panas. Wajahnya hanya tinggal satu sentimeter dari wajahku. Tangisku kian sesenggukan. Apakah ini takdirku, siapa dia, darimana asalnyapun aku tak tau. Tangannya mulai menggapai kancing kemeja bagian atasku. Aku terus berontak.

"Aku bukan istrimu. Aku bukan bunga raya seperti kata orang-orang. Aku bukan bunga raya. Aku bukan bunga raya. Aku bukan bunga raya. Aku Maiza gadis kampung. Aku bukan Maira," teriakku histeris.

Tiba-tiba Pria itu memelukku. Aura singanya terasa luntur, berubah lembut bak kain sutra. Pelukannya begitu tenang dan nyaman. Ingatan masam mulai menguar. Sampai-sampai aku terbuai dengan aksinya.

"Alhamdulillah sudah sampai," batinku penuh syukur.

Setelah kurang lebih empat jam perjalanan. Akhirnya aku sampai di kota Jakarta dan mendapatkan kontrakan yang tak jauh dari tugu monas. Waktu telah menjelang sore. Aku ingin keluar dan berjalan-jalan menikmati udara bebas. Sekalian beli makanan untuk nanti malam. Untung-untung bisa cari pekerjaan. Kuderapkan kaki setapak demi setapak. Mencoba bersapa dengan tetangga sekitar. Ada yang membalas tatapan sinis dan senang. Aku maklum, namanya juga bertemu orang baru.

"Eh, Neng, udah nggak ke Bar lagi?"

Aku menghentikan langkah dan celingukan. Mencoba mencari tahu asal pertanyaan tadi. Pria itu berdiri tepat dibelakangku. Perawakannya mirip seperti Om-om hidung belang.

"Bar? Buat apa?" tanyaku keheranan. Iya, sih, aku gadis desa. Tapi, aku bukan seorang pelacur juga. Mottoku lebih baik mati berdiri daripada menjadi wanita tuna susila. Ih!

"Padahal, servis Eneng enak banget tau."

"Maaf, saya tidak kenal anda!" Segera kulangkahkan kaki meninggalkan Pria itu. Bisa-bisanya dia menganggapku sama layaknya dengan pelacur.

"Bunga raya aja, songong!"

Tanganku mengepal erat. Ingin kubogem itu mulut. Tapi, aku warga baru disini. Bukannya aku yang dibela warga, nanti malah aku yang salah. Sesampainya dirumah makan yang kuinginkan. Aku segera masuk dan memesan makanan untuk dibungkus. Aku pun mencoba mencari informasi, apakah rumah makan ini menerima karyawan baru.

"Iya, Mbak. Mbak datang besok pagi-pagi kesini. Jangan sampai telat."

Ucapan syukur kuucapkan berkali-kali. Atas langkah yang dipermudah oleh Ilahi. Setelah pesananku siap dan membayarnya. Aku segera meninggalkan rumah makan itu. Namun, telingaku mendengar desas-desus yang kurang mengenakkan dengan tatapan mereka padaku.

"Bunga raya ganti profesi."

"Amplopnya Om tua."

"Dasar, Bunga raya!"

"Si Kembang latar tobat."

"Kehabisan Om-om berduit." Dan seterusnya.

Telingaku amat panas. Apa maksud semua ini. Logikanya, aku orang baru di Jakarta. Sampai sekarangpun baru kali ini berada di Ibu kota. Tapi, sepertinya para warga disini amat mengenalku. Kukibaskan pikiran-pikiran negatif itu. Aku harus semangat. Karena, esok waktunya kerja.

Aku segera masuk ke kontrakan kecilku. Beristirahat sejenak dan persiapan sholat maghrib. Menyerahkan segala usahaku hingga dititik ini pada Ilahi Rabbi. Bersyukur atas nikmat yang kurasakan saat ini.

Selepas sholat maghrib. Ada suara pintu diketuk. Gegas kulepas mukena dan membuka pintu. Aroma minuman haram menguar memenuhi indra penciumanku.

"Maira, temani aku. Butuh uang berapa, aku berikan. Ikuti perintahku," ujar Pria hidung belang yang tadi sore bertemu denganku.

Ia berusaha menggapai tangan dan mendekapku. Aku berontak dan berteriak meminta pertolongan. Akhirnya aku dapat melepaskan diri dari Pria itu. Segera kututup pintu rapat-rapat. Napas masih tersengal-sengal. Dadaku naik turun, hampir saja kudiperkosa.

Aku terduduk dilantai. Pikiranku kosong. Hampir mahkotaku terenggut. Namun, aku masih selamat, bersyukur atas pertolongan-Nya. Entah Pria itu masih diteras atau sudah pergi. Nyaliku menciut, tangisku pecah. Susah sekali hidup di ibu kota.

"Ibu, aku rindu ... Ibu," gumamku tergugu dalam tangisan.