PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Menikahi Sang Sultan

Menikahi Sang Sultan

Penulis:YK89

Tamat

Pengantar
Mas Panji melemparkan tubuhku di atas ranjang tidur yang telah menjadi saksi bisu atas rasa dingin yang selalu menghampiriku tiap malam. Aku tak pernah melihat ia sekasar ini sebelumnya padaku. “Masih berani kamu menemui Andry?” Tanyanya dengan mata memerah. Aku hanya bisa terdiam merasakan berat tubuhnya yang saat ini menindihku tanpa sadar. Aku belum pernah sedekat ini melihat wajahnya, bahkan jarak bibir kami hanya sejengkal kelingkingku. Panji Gumilar Adinata, seorang laki-laki dewasa bergelimang harta yang masih betah melajang diusianya yang terbilang matang dan dewasa. Lelaki yang menjadi dewa penolongku disaat detik-detik pernikahanku dengan Tuan Ramli berlangsung yang justru menjeratku dalam jebakan kisah cinta yang rumit dan dramatis dengannya, sebuah kontrak perkawinan. Aku tak bisa memilih jalan lain selain mengikuti alur takdirku yang rumit ini. Amelia Diandra Safitri namaku. Aku seorang gadis muda yang harus mengorbankan kebahagiaanku dan melupakan kisah cintaku dengan kekasihku demi melunasi hutang-hutang keluargaku pada Tuan Ramli. Mampukah aku menjalani drama percintaan yang semu antara aku dan Mas Panji? Mampukah aku melupakan perasaanku pada Andry Wijaya, lelaki yang sudah bersamaku sejak aku duduk di bangku kuliah ini? Mampukah aku melalui tiga ratus enam puluh hari tanpa cinta bersama Mas Panji?
Buka▼
Bab

Kring!

Kring!

Aku menatap layar ponsel pintarku dengan penuh keengganan. Aku sudah bisa menduga jika ibu yang menelponku untuk sekian kali. Dan entah berapa kali aku harus menolak ide gilanya unuk menjadi seorang wanita panggilan kelas kakap agar bisa melunasi hutang-hutang keluargaku.

Aku berjalan menuju kamar kos dengan langkah yang gontai dan tak bersemangat.

“Kenapa kamu, Mel?”

Aku hanya memberikan senyuman hambar pada Rara, teman sekamarku.

“Capek!” Jawabku singkat.

Rara hanya mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan alasanku meski aku tahu ia tak sedang tak mempercayai jawabanku. Tapi ia tak akan mencari tahu alasan sebenarnya yang terjadi padaku saat ini hingga aku yang memulai untuk berbagi kisah.

Aku memejamkan mata membayangkan nasib buruk yang harus aku rasakan karena tumpukan hutang keluargaku saat ini. Aku tak pernah menyangka jika ayah memiliki hutang sebanyak ini pada siapa saja. Seingatku ayah tak pernah mengalami hutang sebanyak ini ketika ibu masih hidup. Kehidupanku berubah drastis setelah ayah menikah lagi dengan Tante Lauren, seorang janda beranak dua.

Entah apa yang ada di benak ayah saat itu hingga ia benar-benar jatuh cinta pada tante Lauren. Mungkin ayah merasa iba dengan dua anak yatim yang dimilikinya, satu bocah masih balita dan seorang bocah bayi saat itu. Tanpa menyelidiki lebih dulu, ayah memutuskan untuk menikahi Tante Lauren, seorang janda muda yang ditinggal mati oleh suaminya.

Ayah bukanlah seorang konglomerat tetapi juga bukan seorang yang miskin. Penghasilannya sebagai seorang pegawai swasta sebenarnya sudah cukup menghidupi kami bertiga, sayangnya ayahku terlahir sebagai sosok pekerja keras. Ia mendirikan sebuah rumah makan bersama ibu. Rumah makan yang ayah dirikan sangat ramai sehingga menambah pundi-pundi emas ayah. Aku mengira itulah alasan Tante Lauren mau minkah dengan ayahku yang justru membuat ayah menjadi jatuh bangkrut.

“Mel!”

“Mel!”

Sebuah bantal empuk mendarat tepat di wajahku. Aku tergagap karena lemparan bantal yang tepat mengenai wajahku.

“Dih, nih anak dari tadi dipanggil nggak bersuara sih?”

“Gimana, gimana?” Tanyaku tergagap.

“Aku dari tadi panggil-panggil namamu tapi kamu nggak respon sama sekali. Lagi mikirin apa sih kamu?”

“Hutang?”

Aku tersenyum hambar mendengarkan pertanyaan teman sekamarku yang receh. Rara Putri Wijayanto, teman sekamarku yang berasal dari kota yang berbeda denganku. Dia adalah sosok gadis yang ceria dan periang sehingga memancarkan aura positif di kamarku selama bersamanya.

Aku masih terdiam mengingat permasalahan yang saat ini sedang menimpa keluargaku.

“Heh!”

Sebuah pukulan kecil menyentuh lengan kananku.

“Ngelamun lagi?”

“Dih, ngelamunin apa sih kamu?”

Lagi-lagi aku hanya tersenyum hambar.

“Aku nggak mau ya hanya dapat jawaban senyuman hambar dari kamu. Aku butuh ceritamu!”

Aku menutupi wajahku dengan bantal yang sengaja ia lemparkan ke wajahku tadi.

“Kalau aku cerita ke kamu, emang kamu mau nolong?”

Ia mengangkat alis dan membenahi duduknya, “setidaknya kamu merasa jauh lebih enteng dan nggak melamun aja!”

Aku tersenyum mendengarkan jawabannya. Logis memang. Setidaknya perasaanku terasa jauh lebih ringan meski tak mungkin bisa mengurangi beban yang ada, kecuali jika ia memiliki jalan keluar yang tepat untukku.

Aku bangkit dari tidurku dan duduk di atas ranjang yang saat ini sedang menopang tubuh kami berdua dan menyandarkan punggungku di tembok yang panas karena terkena cahaya matahari yang cukup.

Aku menghela napas panjang dan mulai mengatur kata-kata. Tak lupa, emosiku pun juga mulai aku tata. Aku memandangi wajah Rara, kawanku, lekat-lekat.

“Keluargaku terlilit hutang,”ucapku.

Rara terkejut mendengarkan kalimatku yang menjadi pembuka atas percakapan kami selanjutnya. Aku pun menceritakan semua kisahku padanya. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai bentuk respon terbesarnya padaku.

Kring!

Kring!

Kring!

Sebuah dering telepon yang berbunyi berkali-kali dan berasal dari ponsel pintar Rara.ia pun mengangkat telepon itu dan bercakap-cakap seperlunya, lalu ditutupnya.

“Siapa?” Tanyaku penasaran.

“Om!”

Aku mengernyitkan dahiku sehingga membuat kedua alisku hampir bertautan. Nampaknya ia tahu pertanyaan yang muncul di hatiku.

“Omku! Bukan om-om hidung belang!”

“Oooohhhh…”jawabku.

***

“Randy! Bayar hutangmu segera!”

“Randy! Buka pintunya!”

Suara sekelompok lelaki dengan nada baritone yang menggelegar berteriak menyebut nama ayah tanpa henti.

“Randy!”

Aku hanya bisa melihat ayah membuka pintu dari kejauhan. Jujur aku merasa sangat takut saat ini. Ayah membuka pintu dengan tubuh gemetar. Aku melihat Tante Lauren dengan santainya dia duduk di kursi meja makan tanpa peduli nasib ayahku saat ini.

“Eh..Tuan Ramli!”

Aku terkejut melihat sekelompok lelaki bertubuh gempal dan berotot yang berdiri melingkari seorang lelaki tua yang kutaksir usianya sekitar tujuh puluh ke atas. Ia membuka topinya dan membuang asap cerutunya tepat di muka ayah.

Tanpa membalas sapaan ayah, tua renta yang bernama Tuan Ramli ini masuk ke dalam ruang tamu begitu saja tanpa sopan santun.

“Ehhh Tuan Ramli!” Ucap Tante Lauren menjijikkan.

Mereka pun saling berbincang dan mengacuhkan ayahku. Ayahku hanya bisa duduk bak kacung mereka berdua. Aku membawa masuk kedua adik tiriku yang maish belum mengerti apa-apa.

“Hei nona manis, tunggu dulu!”

Langkahku seketika terhenti setelah mendengar suara laki-laki itu memangilku meski tanpa nama.

“Duh, kenapa aku pakai acara keluar kamar sih?” Umpatku kesal.

Laki-laki tua renta itu berjalan setengah tertatih menhampiriku. Aku hanya bisa mendengus kesal dan memejamkan mata.

“Randy, rupanya kau memiliki anak gadis yang berparas rupawan!”

“I-iya, Tuan!”

“Kenapa kau tak pernah menunjukkan padaku?”

“I-ia maish duduk di bangku kuliah, Tuan!”

“Bah!” Ucapnya yang kemudian diiringi tawanya dan anak buahnya.

Lelaki tua itu pun mulai memperhatikan tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Entah apa yang ada dalam pikirannya ketika memperhatikan tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Boleh juga kamu!”

Aku melotot ke arahnya yang menunjukkan seolah-olah aku tak setuju dengan ekspresinya.

“Randy, aku punya penawaran padamu!”

“A-apa i-itu Tuan Ramli?”

Hatiku sudah merasa sangat tak enak dengan kalimat penawaran yang dilontarkan oleh si tua renta ini.

“Kau tak perlu membayar hutangmu padaku asal kau berikan anak gadismu ini padaku!”

Ayah terkejut mendengar penawaran gila tua renta ini dan berusaha menolak tawarannya. Adu pendapat pun mulai terjadi dan aku berpikir keras untuk bisa keluar dari perkawinan yang menjijikkan ini.

“Mas Randy…udah terima aja penawaran Tuan Ramli!” Rayu Tante Lauren.

Pertahanan ayah mulai goyah dan luluh dengan rayuan Tante Lauren. Aku sangat benci wanita ini. Dia adalah sosok wanita berhati iblis.

“Ayah…” Ucapku sambil berkaca-kaca.

Aku tahu saat ini ayah ada di persimpangan hati, menerima tawaranku atau menolaknya. Lima ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit. Jika saja ayah tak membiarkan Tante Lauren menghambur-hamburkan uang dan berhutang sana-sini demi gaya hidupnya yang sesat bersama teman-teman arisannya, mungkin ayah tak akan mengalami penderitaan seperti ini.