PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Wrong Love

Wrong Love

Penulis:Zamilasari

Tamat

Pengantar
Laura Watson. Walaupun berasal dari keluarga sederhana, tidak pernah meninggalkan pekerjaan sehingga dia sukses jadi wanita karier. Tinggal di penthahouse mewah, memiliki kendaraan sendiri. Selain itu parasnya juga cantik, Laura primadona di tempat kerjanya, siapa yang tidak kenal Laura pemilik body gitar spanyol. Laura berangan memiliki suami tampan dan kaya raya hingga hasil jerih payahnya tidak habis, dan bertambah terus. Hingga akhirnya dia bertemu dengan lelaki yang jadi idamannya. Lelaki itu sangat kaya, memiliki segala. Harta, uang dan kekuasaan. Laura tahu itu, hingga dia memutuskan untuk menggaet hati lelaki tersebut, dengan melakukan one night stand. Tapi takdirnya berkata lain, Laura memang melakukan one night stand, tapi tidak dengan lelaki kaya tersebut. Mengejutkan dirinya ketika sadar lelaki itu adalah Bara. Lelaki satu perusahaan dengannya, lebih menyesakan Bara adalah seorang Cleaning Service. Bagaimanakah sikap Laura saat sadar sudah tidur dengan Bara? Apakah Bara akan bertanggung jawab? Adakah cinta diantara mereka setelah melakukannya?
Buka▼
Bab

Curahan hujan sangat lebat, tidak ada seorangpun berani ke luar rumah. Bahkan yang ada di luar sekalipun mencari tempat berlindung, bukan karena air hujan saja yang deras, angin, kilat petir menjadi pelengkapnya.

Ditengah badai berlangsung sosok gadis berkepang dua tengah mematung sendirian di bawah hujan. Kemeja seragam putih sekolah dan rok loreng dibiarkan basah, seolah tidak perduli dengan keadaan, dia menatap lurus ke depan, tatapannya tidak beralih dari dua pasang anak manusia tengah berbuat hal tak senonoh di sebuah gubuk kecil yang sepi.

Laura watson melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang kekasih tengah bermesraan dengan sahabat karibnya--Lolita.

"Bagus! Kalian sangat kompak. Bagaimana bisa kalian melakukan ini padaku?" teriak Laura emosinya tak bisa dibendung lagi.

Petrick dan Lolita langsung menjauhkan tubuh mereka, setelah sesaat lalu mereka saling memeluk erat. Terperangah karena kaget hingga melupakan seragam mereka sedikitnya terbuka, karena pergumulan tadi.

"Kenapa kau bisa datang? Aku sudah menyuruh kamu tinggal di sana! Jadi jangan salahkan aku bila melihat perbuatan kami!" ujar Petrick lantang, seolah dia korbannya.

Sebelumnya Petrick meminta Laura menunggunya di halte bus setelah pulang sekolah. Tapi seperti yang sudah terjadi. Nyatanya Laura tidak mendengarkan permintaan Petrick.

Jika boleh jujur, sebenarnya itu bukan suatu kebetulan. Sebelumnya Laura mendengar gosip yang beredar di dalam kelas kalau Lolita dan Petrick ada hubungan.

Tentu saja Laura masih wanita Petrick langsung down mendengar gosip tersebut. Akhirnya dia mendapatkan kesempatan untuk membuntuti Petrick diam-diam.

Seperti yang telah terjadi, Laura masih tak percaya dengan kejadian ini.

"Teganya kalian! Kau ini sahabat ku! Kenapa tidak pikirkan perasaanku!" teriak Laura tak terkendali.

"Ck, sebelum kau marah pada kami. Alangkah baiknya lihat dirimu itu! Sudah berapa lama kamu hubungan sama Petrick? Sudah lama sekali bukan. Dari sekolah SMP kalian sudah pacaran. Tapi apa kemajuan hubungan kalian? Gak ada! Kamu tidak bisa memberikan apa yang diinginkan lelaki!" lolita angkat bicara. Begitu mudahnya menyalahkan Laura atas semua yang terjadi.

"Tap-tapi ... Kedua orang tuaku akan marah, jika aku melakukan itu. Kata mereka tidak boleh berhubungan itu sebelum pernikahan," balas Laura dengan wajah polosnya.

"Dasar bodoh! Inilah mengapa aku memyukai sahabat kamu! Kau tidak lebih seperti bocah ingusan yang masih sembunyi di ketiak orang tua!"  Petrick terbahak seketika. Di ikuti Lolita  puas melihat wajah Laura yang kebingungan.

"Kalian jahat! Tidak akan pernah aku lupakan perbuatan kalian ini!"  Laura berbalik, hendak melangkah meninggalkan. Tetapi tangannya di tarik Lolita sehingga Laura terhempas ke genangan air.

Saat itu juga Lolita menjambak kepangan dua Laura. "Ah ... Sakit! Lepaskan aku Lolita!"

Seolah tidak ada rasa kemanusiaan, Lolita yang  sudah di anggap teman dekat, tega melukai perasaan Laura dan raganya.

Tidak cukup menjambak rambut panjang itu, Petrick membuka kancing kemeja seragam sekolah Laura, biadabnya tangan-tangan kasar itu menyentuh sesuatu yang kenyal dan berharga.

"Tolong! Jangan lalukan itu! Ku mohon!" jerit Laura, menangis, berteriak sepuasnya. Namun mereka tetap melakukan pelecehan itu.

"Hai! Apa yang kalian lakukan!" teriak lelaki yang terlihat lebih dewasa melihat semuanya.

Lolita dan Petrick bergegas melompat menjauhi Laura. Mereka kabur tanpa memperdulikan keadaan.

"Astaga! Anak-anak sekolah jaman sekarang?" Lelaki perawakan  tinggi besar tak henti berdecak.

"Bagaimana mereka bisa melakukan perbuatan keji seperti itu?".

Lelaki tersebut jongkok di depan Laura. Lalu membantu Laura berdiri.

"Hei, Nak. Mengapa temanmu melakukan itu pada kamu?" tanya si lelaki.

Laura menggeleng tanpa suara. Tubuhnya masih gemetar. Dia tidak mampu berkata.

"Baiklah paman tidak akan memaksa kamu untuk terbuka. Alangkah baiknya sekarang, kamu pulang, kebetulan paman bawa mobil. Paman antar kamu."

Laura masih terpaku di tempatnya, tangannya masih menyilang menutupi tubuhnya yang transparan.

"Oh, iya paman lupa." Lelaki tersebut menyampirkan jas abu-abunya di atas pundak Laura.

"Kamu pasti kaget. Gunakan jas paman, jangan sampai orang tua kamu melihat keadaan kamu yang kacau," jelas lelaki tersebut.

"Terima kasih Paman," balas Laura berusaha untuk tegar.

Lelaki tersebut mengusap puncak kepala Laura, seolah sudah lama saling kenal. Laura sendiri jadi merasa nyaman, tanpa pikir dia  masuk ke dalam mobil lelaki tersebut.

Laura masa kini.

Laura menarik napas panjang. Di tangannya ada segelas sampanye tengah ia nikmati bersama alunan lagu masa lalu. Lagu romantis dan merdu itu mengingatkan kejadian masa silam yang masih membekas sampai saat ini.

"Sudah bertahun lamanya, tapi kalian belum lenyap dibenakku. Mengapa perbuatan kalian tidak bisa aku lupakan. Haruskah aku balas dendam?" Di teguknya sampanye itu sedikit, sembari menatap pemandangan malam lewat kaca lebar. Saat ini dia berada di penthahouse. Hunian mewah bertingkat, hanya orang berduit bisa tinggal di tempat seperti itu.

Laura sudah dewasa dan matang. Bahkan penampilannya berubah drastis dari sebelumnya. Laura di masa lalu seolah telah mati, dan berganti Laura yang tumbuh jadi wanita dewasa yang cantik, menawan, menjadi bahan pembicaraan karena dia primadona di tempat kerja.

Namun siapa sangka luka akibat penghianatan di masa lalu masih membekas sampai sekarang. Masa ini Laura sukses jadi wanita karier. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Bekerja sebagai tangan kanan atau personal assisten direktur utama di sebuah perusahaan pengembangan.

"Dia sangat diistimewakan oleh direktur. Aku tidak tahu pelet apa yang ia gunakan untuk menipu pimpinan kita."

Tiga staf perempuan tengah menikmati makan siang, dengan sedikit lauk, dan bahan gosip mereka siang ini.

"Aku berdoa, semoga Tuhan mengabulkan keinginanku. Tolong lihat perempuan itu jangan biarkan Pimpinan Simon terus percaya padanya," ujar salah satu dari mereka.

"Amin ... Aku berharap wanita sial itu mendapat karmanya. Dia terlalu serakah menjadi wanita. Semua pria tampan di sini jadi gila karenanya," sambung wanita ketiga.

"Astaga! Kalian berisik sekali! Tidak bisakah kalian berdoa yang baik-baik!"  Laura menunjukan sosoknya dihadapan tiga staf wanita itu.

Seketika bibir tiga wanita tersebut mengatup. Hening beberapa saat, tanpa membalas ketiganya pergi begitu saja, meninggalkan sisa makannya di atas meja.

"Hei! Kenapa kalian tidak membawa makan siang kalian! Yah! Kalian dengar itu! Sesama perempuan jangan berpikir jelek! Apa orang tua kalian tidak menyekolahkan kalian! Berhenti Hei!" teriak Laura tak memandang orang disekitar, begitu geramnya sampai melempar sendok dan garpu, tentu perhatian semuanya tertuju padanya.

Hah!

Helaan napas terdengar pendek. Laura kembali duduk lalu menyelesaikan makan siangnya dengan cepat.

Dua rekan kerjanya saling menatap satu sama lain. Melihat cara makan Laura yang cepat, namun tidak menimbulkan kesan jelek.

Mereka tidak berani membuka suara bila Laura seperti itu. Wanita itu memang cantik tapi sayang kadang sableng, dia selalu meledak-ledak. Terlepas dari itu semua, Laura tetap primadona di hati kaum Adam.

"Wanita cantik memang beda, keadaan marah pun masih cantik, makan segila apapun, tetap cantik. Apalah daya kita," bisik Azely di setujui oleh Mery.

Brak!

Laura meletakan sendok dan garpu setengah memukul meja.

"Aku sudah kenyang. Kalian belum menyelesaikan makan siangnya?" tanya Laura datar.

"Ka-kami, baru saja mau makan." Mery nyengir, walau nampak kaku.

"Baiklah aku mau duluan, selamat menikmati makan siangnya." Laura menggeser kursi, lalu berdiri, menunjukan senyum tipis sebentar, kemudian berlalu dari hadapan rekan kerjanya.

Mery dan Azely hanya menatap punggung Laura yang menjauh.

"Bu assisten memang mempesona. Kita berdua selalu dibuat kagum padanya," ucap Azely pelan.

"Aku ingin menjadi cantik seperti dia. Apa aku harus melakukan operasi  wajah ku?" sambung Mery  ditanggapi gelengan Azely.

Laura sendiri masuk ke toilet sebelum kembali ke tempat kerja. Sebentar dia menatap pantulan dirinya di depan kaca besar. Sedikit merapihkan riasannya menambahkan pewarna bibir dan bedak padat. Selesai melakukan itu dia masuk ke kamar kecil sehingga tidak ada yang tahu keberadaannya.

Sesaat setelah Laura masuk, dua staf wanita masuk. Mereka membahas gosip yang beredar, siapa lagi bahan gosip paling hangat di kalangan para wanita---si cantik Laura.