PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Dengan Tanpa Mu

Dengan Tanpa Mu

Penulis:Serena Muna

Tamat

Pengantar
Risang hanya seorang pria biasa yang bekerja di sebuah minimarket namun ia disukai oleh seorang wanita dari kalangan menegah ke atas yang bernama Marissa. Wanita itu benar-benar mencintai Risang hingga nekat mengutarakan perasaannya pada orang yang ia sukai namun cintanya tak terbalas, Risang merasa bersalah pada Marissa karena ia masih belum dapat melupakan mantan kekasihnya namun takdir mempertemukannya dengan seorang wanita lain yang bernama Dinda, seorang istri pengusaha kaya raya yang juga jatuh cinta padanya hingga akhirnya mereka terlibat sebuah hubungan diam-diam. Saat rasa cinta di antara mereka berdua mulai tumbuh, seseorang dari masa lalu Risang kembali. Bagaimana akhir kisah mereka? Image source: unsplash.com Cover and Image by picsArt
Buka▼
Bab

Di sebuah taman yang tidak terlalu ramai oleh pengunjung nampak sepasang kekasih tengah duduk di sebuah kursi, si wanita tengah mengatakan sesuatu pada si pria. Ketika mengatakan hal tersebut raut wajah si wanita nampak begitu serius karena memang sudah sejak lama sekali ia ingin mengatakan ini pada pria yang ia cintai ini.

“Aku mencintaimu, Risang.”

Pria bernama Risang itu nampak terkejut dan tak menyangka kalau alasan wanita yang bernama Marissa ini mengajaknya bertemu adalah untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung padanya.

“Marissa aku ….”

“Aku tahu bahwa ini terdengar aneh ketika seorang wanita mengutarakan perasaannya terlebih dahulu, namun aku tak bisa menahan ini lebih lama lagi. Sudah cukup aku pernah kehilangan kesempatanku untuk mengatakan secara langsung padamu dulu bagaimana perasaanku hingga pada akhirnya justru kamu berakhir dengan Nadya.”

Risang terdiam mendengar ucapan Marissa barusan, ia tak tahu apa yang harus ia katakan pada wanita ini sementara Marissa sendiri merasa gelisah karena Risang sama sekali tak mengatakan apa pun padanya.

“Risang, kamu bisa katakan sesuatu padaku.”

“Aku tak tahu apa yang harus aku katakan padamu.”

“Apakah kamu masih mencintai Nadya?”

Risang kembali terdiam ketika mendengar pertanyaan dari Marissa barusan, sikap Risang dan bagaimana raut wajah pria itu membuat Marissa dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa sepertinya apa yang ia pikirkan benar.

“Sepertinya memang benar apa yang barusan aku katakan.”

“Marissa aku ….”

“Tidak apa, setidaknya aku sudah mengatakan ini padamu.”

Setelah mengatakan hal tersebut Marissa pergi meninggalkan Risang dan masuk ke dalam mobilnya, di dalam mobil tersebut ia menangis tersedu-sedu dan menenggelamkan kepalanya pada stir mobil. Ia menghentikan tangisnya ketika mendengar suara ketukan di kaca jendela mobilnya dan ketika ia menengok ke arah kaca mobil nampaklah sosok Risang di sana. Marissa menurunkan kaca jendela mobilnya dan bertanya kenapa Risang ke sini.

“Marissa tolong kamu jangan salah paham padaku.”

“Sudahlah Risang, aku baik-baik saja, aku hanya butuh waktu menerima semua ini.”

*****

Sementara di sisi lain nampak seorang wanita tengah duduk seorang diri di sebuah café menanti temannya datang, dengan bosan ia menggulirkan jarinya di ponselnya hingga akhirnya setelah lama sekali menunggu ia melihat temannya itu masuk ke dalam café namun dengan raut wajah yang berbeda dari biasanya.

“Marissa, apa yang terjadi padamu?”

“Aku… aku ….”

“Kamu jangan bilang tidak apa-apa, kamu jelas tidak apa-apa saat ini.”

Marissa nampak tak bisa menahan emosinya saat ini dan ia langsung menangis di depan temannya ini menumpahkan sesak yang ada di dadanya, hingga beberapa menit kemudian akhirnya ia berhasil menguasai dirinya kembali dan menghapus air mata yang tadi sempat tumpah membasahi pipinya.

“Maafkan aku.”

“Sudahlah, jangan minta maaf padaku, kamu sedang tidak baik-baik saja sekarang dan kenapa masih memaksakan diri untuk menemuiku? Kamu bisa memberitahuku untuk membatalkan pertemuan ini.”

“Aku tidak enak padamu, sudahlah lebih baik kita pesan sesuatu saja.”

Marissa memanggil pelayan ke meja mereka dan kemudian pelayan tersebut mencatat pesanan Marissa dan temannya ini sebelum akhirnya pelayan itu pergi dari meja mereka.

“Marissa ….”

“Dinda… aku ditolak.”

“Apa maksudmu?”

“Pria yang aku cintai, dia… masih mencintai mantan kekasihnya.”

Wanita bernama Dinda ini akhirnya bisa memahami kenapa Marissa merasa sedih, wajar saja jika temannya ini sedih karena cintanya bertepuk sebelah tangan.

“Apakah pria yang kamu sukai masih sama seperti apa yang kamu ceritakan 2 tahun lalu?”

“Tentu saja, dia adalah pria yang aku ceritakan padamu 2 tahun lalu.”

“Bukankah setelahnya kamu sudah berkencan dengan beberapa pria lain?”

“Iya, aku memang sudah melakukannya. Namun… aku tidak menemukan kecocokan dengan mereka semua dan aku menjadi yakin bahwa hanya dia satu-satunya orang yang aku cintai.”

*****

Di tempat yang lain, Risang kembali ke rumah kontrakannya dan memikirkan apa yang barusan terjadi padanya, ia sama sekali tidak menyangka kalau Marissa yang mengajaknya bertemu di taman tadi untuk mengungkapkan perasaannya. Risang selama ini memang akrab dengan wanita itu, namun sampai saat ini Risang sama sekali tidak memiliki perasaan lebih pada Marissa selain ia menganggap Marissa layaknya adiknya sendiri.

“Kamu sudah kembali?”

Risang menoleh ke arah pintu, ia menemukan temannya tengah memperhatikannya dengan bersandar di pintu.

“Iya.”

“Wajahmu nampak lesu sekali.”

Risang sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya tersebut, sementara temannya itu berjalan menghampiri Risang dan bertanya apa yang terjadi pada Risang saat ini.

“Apakah aku bisa mempercayaimu?”

“Tentu saja, kita kan sudah berteman sejak masih SMA hingga saat ini, memangnya aku pernah mengkhianatimu apa?”

“Kamu merebut Mia dariku.”

“Kamu dan dia belum berpacaran saat itu dan aku kan waktu itu tidak tahu kalau kamu menyukai dia.”

“Aku bercanda, aku bahkan sudah melupakan itu.”

“Jadi ada apa?”

*****

Dinda baru saja tiba di rumah yang ia tinggali bersama dengan suami yang menikahinya 2 bulan lalu. Ketika Dinda tiba di rumah ia disambut oleh seorang wanita yang tengah duduk di sofa ruang tengah dan berlagak layaknya dia adalah pemilik rumah ini.

“Apa yang kamu lakukan di rumah ini?”

Wanita itu kemudian menoleh ke arah Dinda dan berjalan menghampiri Dinda dengan seringai jahatnya.

“Kenapa? Aku kan juga boleh datang ke rumah ini.”

“Siapa yang bilang kalau kamu boleh datang ke sini?”

“Ericko yang mengatakan itu padaku, dia tadi menelponku dan mengatakan kalau dia ingin aku ada di rumah ketika dia pulang.”

Dinda nampak jengkel sekali dengan jawaban yang diberikan oleh wanita ini, dan tidak lama kemudian suaminya datang dan bukannya memeluk dan mencium Dinda, justru suaminya malah bermesraan dengan wanita lain di depan mata kepalanya sendiri.

“Kamu lihat sendiri kan? Aku sama sekali tidak berdusta soal ini,” ujar wanita ini.

“Ada apa ini?” tanya Ericko yang tak mengerti apa yang terjadi di sini.

“Istrimu ini ingin mengusirku dari rumah ini padahal kamu sendiri yang mengizinkanku datang ke sini,” jawab wanita ini dengan nada sombongnya.

“Iya aku memang yang mengizinkan Sivia datang dan menungguku di rumah ini, jangan kamu coba usik dia, ingat perjanjian kita Dinda,” ujar Ericko tajam.

****

Dinda masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan bercampur aduk, ia memandang foto pernikahannya dengan Ericko yang terpasang di dinding, rasanya ia ingin melempar foto pernikahan itu dan membuangnya ke tempat sampah kalau mengingat apa yang terjadi sebelum pernikahan itu berlangsung.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”

“Apa itu?”

“Aku sudah punya pacar.”

“Pacar?”

“Iya, walaupun nanti kita sudah menikah, aku tetap tidak akan memutuskan hubunganku dengan dia, aku sama sekali tidak mencintaimu dan hanya mencintainya, jadi jangan coba-coba kamu merusak hubungan kami karena kalau sampai kamu berani melakukan itu, maka aku tidak akan segan memberikanmu pelajaran, mengerti?”

Dinda menggeram kesal, ia tak bisa tinggal di rumah ini dan harus segera keluar dari sini sebelum emosinya benar-benar meledak ketika melihat Ericko dan Sivia berduaan di rumah ini. Baru saja ia sampai di lantai bawah sudah nampak Ericko dan Sivia yang nyaris tanpa busana tengah melumat bibir satu sama lain dengan ganasnya di sofa.

“Kalau kalian ingin melakukan itu, maka lakukanlah di kamar, apakah kalian tak memiliki rasa malu?”

Setelah mengatakan itu, Dinda langsung masuk ke dalam mobilnya dan melajukan kendaraannya tak tentu arah, hingga ketika di perempatan jalan yang sepi secara tak terduga seorang pejalan kaki melintas dan tertabrak kendaraannya.

“Ya Tuhan, apa yang barusan terjadi?”